Ketika kita merujuk pada Qur’an, kita akan menemukan
bahwa kesempurnaan manusia terletak pada pengetahuan dia tentang Tauhid, Ma’ad
dan wahyu atau kenabian. Hal ini menandakan bahwa kesempurnaan manusia
bergantung pada kualitas pandangan dunia tauhidnya. Dalam kata lain, manusia
yang memiliki pandangann dunia tauhid meyakini bahwa alam ini ada permulaanya yaitu
Allah swt, kemudian ada akhirnya yang disebut dengan ma’ad atau hari
kebangkitan, kemudian antara awal dan akhir terdapat ‘shiratul mustaqim’ dimana
shiratul mustaqim berkaitan dengan persoalan kenabian itu sendiri.
Kita ketahui bersama bahwa tidak ada eksistensi di
alam ini kecuali ketiga eksistensi tersebut. Dimana ketiga hal tersebut berkaitan
dengan ‘awal’ yaitu Tauhid, ‘akhir’
yaitu Ma’ad atau hari kebangkitan dan ‘diantara awal dan akhir’ terdapat
kenabiaan. Oleh karena itu ada tiga elemen utama dalam prinsip agama, dan
segala sesuatunya akan kembali kepada ketiga prinsip tersebut. Amirul Mukminin
Ali bin Abi Thalib kw menjelaskan ; ‘semoga Allah swt merahmati bagi mereka
yang mengetahui dari mana asalnya, sedang dimana dia, dan akan kemana dia’.
Untuk mengetahui ketiga prinsip diatas tidak
disyaratkan pada pria atau wanita. Artinya bahwa risalah Rasulullah tidak dikhususkan
pada pria dan juga tidak dikhususkan pada wanita. Dalam surah Yusuf ; 108 Allah
swt berfirman : “ katakanlah, Inilah jalanku, aku dan orang–orang yang
mengikutiku mengajak kamu kepada Allah swt dengan Hujjah yang nyata “. Ajakan
Rasulullah saw meliputi seluruh manusia. Tapi mungkin saja kita menemukan ada
ajakan tertentu yang dikhususkan kepada wanita dan ajakan tertentu yang
dikhususkan kepada pria, namun harus dipahami bahwa pengkhususan tersebut tidak
kembali kepada ruh manusia sebagai inti utama dari eksistensi manusia.
Hakekat Manusia Bukan Pria dan Wanita
Hakekat manusia dalam pandangan Islam berada pada ruh,
bukan pada jasad. Jasad dipahami hanya sebagai instrumen semata. Hubungan
tersebut dalam artian bahwa segala prilaku manusia berasal dari jiwa. Pada
hakekatnya yang melihat, mendengar, merasakan, dst adalah jiwa. Namun inti dari
jiwa adalah ruh sebagai hakekat yang abadi yang secara langsung berasal dari
Allah swt. Dalam surah Al-hijr;29 Allah swt berfirman; “ ... dan telah
meniupkan kedalam ruh (ciptaan)-Ku,“.
Yang menarik disini karena Al-qur’an juga menyebut
malaikat sebagai ruh. Hal ini menunjukkan bahwa pada diri malaikat pun tidak
terdapat pria dan wanita. Itulah sebabnya mengapa Al-qur’an menentang orang–orang
yang meyakini bahwa malaikat diciptakan dalam bentuk perempuan. Dalam surah
shaffat;150 Allah swt berfirman ; “ dan apakah kami menciptakan malaikat berupa
perempuan dan apakah mereka
menyaksikannya ? “ dan juga dalam surah zukhruf ; 19 Allah swt berfirman ; “
dan mereka menjadikan malaikat–malaikat yang mereka itu adalah hamba–hamba
Allah Yang Maha Pemurah sebagai orang–orang perempuan. Apakah mereka menyaksikan
penciptaan malaikat–malaikat itu ? kelak
akan ditulis persaksian mereka dan mereka akan dimintai pertanggung jawaban“.
Manusia dan malaikat memiliki dimensi yang sama yaitu ruh. Oleh karena itu apa yang
dicapai oleh malaikat pasti bisa dicapai oleh manusia sempurna. Bahkan pada
maqam insaniyah malaikat bersujud atasnya. Ibn Arabi mewasiatkan kepada kita
untuk tidak melihat diri kita hanya sebagai bahagian kecil diantara mahkluk
yang ada, akan tetapi menurut beliau eksistensi manusia berada pada seluruh
tingkatan alam aksistensi.
Jika demikian maka seluruh kesempurnaan manusia harus
dikaitkan dengan hakekat manusia yaitu pada ruh manusia, bukan pada jasadnya.
Allah swt tidak pernah membedakan antara pria dan wanita, bahkan dalam inti
manusia tidak ada pria dan wanita. Allah swt mengajak manusia untuk menuntut
ilmu baik itu pria maupun wanita, karena ilmu berkaitan dengan ruh manusia,
begitu juga dengan beribadah, suluk (berjalan menuju Allah swt) atau hal–hal
lain yang berkaitan dengan ruh manusia. Jika demikian halnya, lalu dari manakah
asal perbedaan pria dan wanita ?
Perbedaan pria dan wanita berasal dari jasad semata.
Hukum–hukum yang kita lihat dalam Islam pun - jika kita cermati secara sepintas
- terdapat perbedaan yang substansi,
sebenarnya perbedaan tersebut kembali kepada jasad atau kembali pada maslahat
sosial, bukan kembali kepada ruh sebagai inti hakekat manusia.
Allah swt berfirman ; “Berlomba–lombalah kalian menuju
Allah swt“. Sebuah perlombaan bisa terlaksana secara adil jika seluruh
pesertanya memiliki potensi yang sama untuk sampai pada tujuan yang dimaksud. Jika
secara substansi memang berbeda, maka pertandingan tersebut tidak adil untuk
dilaksanakan. Dalam diri manusia tidak ada sama sekali perbedaan, tidak ada
pria dan wanita dan karena itu keduanya bisa sampai kepada Allah swt.
Rahasia Perbedaan Pria dan Wanita
Dalam surah zukhruf ; 32 Allah swt berfirman ; “apakah
mereka yang membagi–bagi rahmat Tuhanmu ? Kami telah menentukan antara mereka
penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian
mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat
mempergunakan sebagian yang lain (dan juga saling bantu membantu). Dan rahmat
Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan“.
Al-qur’an menjelaskan bahwa kehidupan ini harus
berjalan dalam sebuah sistem yang harmoni dan sebaik - baiknya. Jika tidak ada interaksi
antara satu eksistensi dengan eksistensi lainnya maka tentunya tidak akan
tercipta harmonisasi diantara entitas–entitas yang ada, bahkan tidak akan
tercipta perbedaan strata sosial dan karenanya tidak akan terjadi harmoni
antara satu dengan lainnya.
Allah swt menciptakan manusia dengan potensi dan
kondisi yang berbeda–beda. Jika segala sesuatu diciptakan dengan kondisi dan
potensi dalam level yang sama maka sistem eksistensi tidak akan berjalan. Pekerjaan
yang beragam menunjukkan adanya potensi yang beragam, dan karenanya diharuskan
adanya perbedaan.
Begitu juga dengan perbedaan–perbedaan lainnya seperti
perbedaan strata sosial, perbedaan potensi, perbedaan kecendrungan, dst. Namun
harus dipahami bahwa perbedaan tersebut tidak menjadi tolak ukur keunggulan
atau keutamaan seseorang. Perbedaan tersebut hanya sebagai instrumen dalam
aktivitas kerja. Demikian halnya dengan perbedaan antara pria dan wanita,
perbedaan tersebut hanya instrumen semata bukan tolak ukur keunggulan spiritual
kedekatan kepada Allah swt. Jika seseorang dapat menggunakan potensi yang dia
miliki dengan baik sehingga mengantarkan dirinya kepada nilai–nilai ketaqwaan
maka dirinya akan menggapai kesempurnaan yang hakiki melalui potensi tersebut.
Kaum Pria Pengayom Bagi Kaum Wanita
Dalam surah annisa;34 Allah swt berfirman ; “pria adalah
pengayom bagi kaum wanita, oleh karena Allah swt telah melebihkan sebagian
mereka (pria) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (pria) telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka“. Ayat ini ingin menjelaskan bahwa kaum
prialah yang seyogyanya mengatur persoalan dalam rumah tangga karena yang
menjamin kehidupan dalam rumah tangga adalah pria. Kaum prialah yang mencari
nafkah diluar rumah, oleh karena itu kaum pria pun yang memiliki andil yang
besar dalam persoalan rumah tangga.
Namun hal ini tidak berarti bahwa wanita adalah
tawanan bagi kaum pria. Kemudian ayat ini juga tidak menunjukkan keutamaan
seorang pria terhadap wanita, dikarenakan pada level ini tidak serta merta
menunjukkan kesempurnaan dan kedekatan kepada Allah swt. Ayat ini hanya
menunjukkan tugas yang harus dijalani oleh kaum pria dalam keluarga. Ayat
diatas membahas sebuah prinsip umum dalam keluarga.
Dalam keluarga, seorang anak – baik itu pria maupun
wanita – harus menaati perintah ibu dan ayahnya. Jika seorang Ibu melarang
anaknya demi kebaikan, maka seorang anak wajib untuk menaatinya. Meskipun anak
tersebut seorang pria dan bahkan telah mendapatkan gelar doktoral. Seorang anak
tidak berhak untuk mengatakan bahwa karena saya telah mendapat gelar Doktoral
oleh karena itu saya tidak perlu lagi menaati perintah Ibu. Dalam keluarga
posisi otoritas bisa saja berubah. Baik itu pria terhadap wanita maupun wanita
terhadap pria.
Panutan Baik dan Buruk dalam Qur’an
Manusia yang baik tentunya menjadi suri tauladan bagi
seluruh ummat manusia. Jika dia seorang pria maka tidak hanya menjadi panutan
bagi pria akan tetapi juga wanita, begitupun sebaliknya jika dia seorang wanita
maka bukan hanya menjadi panutan bagi wanita akan tetapi juga pria. Al-qur’an
menceritakan 4 tokoh perempuan, dua diantaranya sebagai contoh perempuan baik
dan dua lagi sebagai contoh perempuan buruk.
Dalam surah attahrim ; 10 Allah swt berfirman ; “Allah
swt menjadikan istri Nuh dan istri Luth sebagai perumpamaan bagi orang–orang
kafir“. Istri Nuh dan istri Luth adalah dua contoh perempuan buruk yang
dikisahkan dalam Qur’an. Dan dua perempuan lainnya adalah istri Fir’aun dan Sayyidah Maryam as sebagai contoh perempuan
baik.
Jika kita cermati ayat diatas, Qur’an tidak
menyebutkan perumpamaan bagi “perempuan“ kafir, akan tetapi Qur’an menyebutkan
perumpamaan bagi “orang–orang“ kafir. Hal ini mempertegas bahwa baik dan buruk
sebagai sifat manusia tidak berasal dari unsur ke-pria-an atau ke-wanita-an,
namun berasal dari jiwa atau ruh manusia. Jika kebaikan maka pasti berasal dari
ruh karena ruh-lah yang berhubungan langsung dengan Allah swt, dan jika
keburukan datangnya dari bagian jiwa kita, dikarenakan ada bagian fakultas jiwa
kita yang cendrung kepada unsur hewaniyah. Sebagaimana firman Allah swt dalam
surah Annisa ; 79 ; “segala kebaikan
yang kamu peroleh, maka hal itu berasal dari Allah swt. Dan segala keburukan yang
kamu peroleh berasal dari (kesalahan) dirimu sendiri “. Kesimpulannya
bahwa Islam mengajak ruh manusia, bukan mengajak pria dan wanita disebabkan
kedua hal tersebut hanya instrumen semata dan bukan inti dari hakekat manusia.
Oleh karena itu tolak ukur kesempurnaan dan keutamaan manusia harus didasarkan pada
seberapa jauh kaitannya dengan ruh manusia.