Sering
kita mendengar hadis ini bahwa ulama adalah pewaris para nabi, namun kita tidak
pernah memahami maksud sebenarnya dari istilah pewaris tersebut. Maksud dari
pewaris para nabi adalah mereka yang memahami apa yang dibawa para nabi baik
dalam pengetahuan maupun dalam akidah. Selain dari hal itu mereka pun menyadari sifat apa saja yang
dimiliki oleh para nabi serta apa yang dilakukan para nabi dalam amal-amal perbuatannya.
Berdasarkan hal ini, pewaris nabi adalah mereka yang telah makrifat atas
ajaran-ajaran para nabi dan sifat-sifat nabi yang menjelma dalam dirinya serta
meniru amal perbuatan para nabi. Jadi perlu dipahami istilah ‘pewaris’ ini
disyaratkan adanya hubungan dengan ‘yang mewariskan’. Namun meskipun maqam-maqam
tersebut dapat diraih dan diperoleh dengan usaha akan tetapi tidak seperti
dengan ilmu-ilmu indrawi karena ilmu-ilmu indrawi terbuka bagi semua orang.
Jika maqam tersebut ingin diraih manusia mesti menjadi pewaris nabi dan menjadi
‘pewaris’ manusia mesti terhubung dengan ‘yang mewariskan’.
Disini
dapat kita memahami perbedaan antara ilmu warisan dan ilmu perolehan.
Dalam ilmu perolehan manusia berusaha mempersiapkan usahanya sendiri, bukan
melalui relasi pada seseorang. Namun dalam ilmu warisan penyiapannya dengan
relasi spiritual dengan seseorang. Karena itu ilmu warisan lebih banyak
kaitannya dengan hubungan spiritual antara yang diwariskan dengan yang
mewariskan. Berdasarkan hal ini jika seseorang menginginkan dirinya sebagai
pewaris nabi, dirinya mesti terhubung dengan Rasulullah dan keterhubungan ini
jalan satu-satunya melalui dengan proses tazkiyah atau proses mensucikan qalbu.
Perbedaan
lainnya antara ilmu warisan dengan ilmu perolehan, dalam ilmu perolehan yang
diraih di bangku-bangku madrasah, mungkin saja setelah memperolehnya manusia
lupa akan ilmu tersebut, namun dalam ilmu warisan pengetahuan tersebut akan
terus dingat dan bahkan akan menyertainya di hari kiamat kelak dan dengan ilmu
tersebut akan mendapatkan syafaat. Oleh karena itu mereka yang tidak memperoleh
ilmu warisan tentu tidak dapat menjadi pewaris dan pastinya tidak termasuk ke
dalam ‘ulama adalah pewaris para nabi’.
Derajat
Pewaris Para Nabi
Sebagaimana
dipahami bahwa para nabi memiliki derajat yang berbeda-beda maka pewaris para
nabi pun dengan mengikuti nabi-nabi yang ada memiliki derajat yang
berbeda-beda. Hal ini dijelaskan dalam surah al-baqarah : 253 ‘rasul-rasul
itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang lain’ dan juga
dalam surah isra : 55 ‘dan sesungguhnya telah Kami lebihkan sebagian
nabi-nabi itu atas sebagian yang lain’.
Siapa
saja yang hubungannya dengan para nabi lebih kuat, tentu akan memiliki saham
yang lebih banyak. Dalam persoalan ilmu warisan ini tidak ada kaitannya dengan
sebelum dan setelah dalam konteks ruang dan waktu. Karena meskipun Abu Lahab
berada di Hijaz dan masih ada ikatan darah dengan Rasulullah saw namun tak
memperoleh pengetahuan warisan apa pun dari Rasulullah saw. Justru yang jauh
seperti Bilal dari Habsyah dan Salman dari Persia yang mampu memperoleh
pengetahuan dari Rasulullah saw. Dalam persoalan spiritual penekanannya lebih
banyak pada persoalan tazkiyatunnafs dimana dengan tazkiyahnya dan suluknya
akan menghubungkan dirinya dengan Rasulullah saw sehingga dirinya layak untuk
memperoleh warisan pengetahuan dari Rasulullah saw.
Mendapatkan
warisan pengetahuan dari nabi tidak ada kaitannya dengan hubungan nasab dan
juga golongan. Manusia adalah anak dari pikiran-pikiran dan akidahnya. Manusia
Ilahiyah adalah anak dari realitas kehambaan dirinya kepada Allah swt. Relasi
antara tauhid dan kehambaan ini akan menghasilkan dasar warisan.
Disisi
lain perlu juga dipahami bahwa para nabi disebut sebagai pendidik dan pengajar
manusia. Berkenaan dengan Rasulullah saw, Allah swt dalam surah al-baqarah :
151 berfirman, ‘... dan mengajarkan kepadamu kitab dan hikmah’. Dalam
Quran menggunakan istilah mu’allim dan makna dari mu’allim bukan
hanya mengajar tapi juga mendidik. Dalam kata lain, ilmu tidak bisa ditransfer
hanya dengan kata-kata. Maksudnya selama seseorang belum yakin atas dirinya
serta mengamalkannya maka dirinya tak kan mungkin menjadi mu’alim bagi
yang lain. Perkataan yang tak muncul dari hati, tak kan diterima pula oleh
hati. Oleh karena perkataan hati sesuai dengan hati pendengarnya dan juga
diletakkan pada tempat yang sesuai.
Para
nabi berbicara dari jiwa dan perkataannya seperti perkataan manusia yang
mengalami secara langsung sehingga memberikan efek. Karena boleh jadi ada orang
yang memberikan pelajaran dan pilihan diksi yang digunakannya indah namun tidak
memberikan efek pada yang lain. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Imam
Sodiq, ‘seorang alim yang tidak mengamalkan ilmunya, maka pesan-pesannya tergelincir
dan tidak tertanam di hati’. Namun para petuah agama yang tekun dengan amal
dapat mempengaruhi para pendengarnya karena pembicaraannya berasal dari
rintihan jiwanya. Selama manusia tidak merasakan derita tersebut maka
perkataannya sangat sulit untuk memberikan pengaruh pada yang lain. Mengapa
para nabi senantiasa bersyukur kepada Allah swt dikarenakan para nabi
senantiasa melihat dan menyaksikan nikmat-nikmat Ilahi secara terus menerus.
Para nabi menyaksikan bagaimana nikmat itu berasal dari Allah swt hingga sampai
pada dirinya dan pada makhluk-makhluk lainnya. Pengalaman para nabi inilah yang
kemudian terbahasakan dalam bahasa yang indah dan memiliki tingkat balaghah
yang tinggi dan tentunya dapat mempengaruhi yang lain.
Manusia
di dunia ini ibarat bumi yang kering yang senantiasa membutuhkan siraman air
sehingga dahaganya dapat terpenuhi. Manusia yang dahaga membutuhkan hubungan
dengan Tuhan sehingga pancaran emanasi turun dari realitas eksistensinya dan
manusia meneguknya dan mencerapnya secara perlahan-lahan sehingga dirinya
senantiasa mengalami perkembangan dan penyempurnaan. Manusia pesuluk yang tidak
menyaksikan dan merasakan secara langsung hakekat tersebut tentu umur dan
kehidupun yang dijalaninya tak memberikan hasil. Menarik salah satu perkataan
dari Syekh Isyraq, ‘sebagian umurku aku jalani dalam petualangan, namun sangat
disayangkan tak serang pun yang saya
temui yang ahli syuhud. Kegaiban itu apakah disaksikan atau manusia beriman
padanya. Yang populer dalam tatanan masyarakat dan dalam pusat-pusat ilmu ialah
tentang ilmu hushuli yang diperoleh dengan argumentasi namun sangat jarang ilmu
syuhudi yang diperoleh dengan tazkiyah dan dibawah naungan
pengetahuan-pengetahuan Ilahi’.
Dalam
Quran setelah menjelaskan sifat-sifat yang sama diantara para nabi, selanjutnya
menyampaikan kepada kita semua bahwa para nabi adalah orang-orang yang telah
sampai pada tujuan sehingga mereka juga mengambil peran sebagai imam-imam bagi
kalian. Oleh karenanya mereka yang di dunia ini tidak mengetahui kenabian,
setelah proses kematian mereka akan mengenal pengetahuan tersebut dengan pahit.
Karena itu sebaiknya sebelum kita dipaksa untuk bangkit dan sadar, kita
sadarkan diri kita.
Inilah
salah satu fungsinya mengapa kita mesti mengenal sirah para nabi dan
orang-orang soleh karena mengenal mereka dapat menenangkan hati kita. Karena
itu Allah swt berfirman kepada Rasulullah saw, kami nukilkan kisah-kisah para
nabi terdahulu untuk mengukuhkan hatimu. Dalam surah arr’ad : 28 Allah swt
berfirman, ‘Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram’.
Selain hal ini, Allah swt juga mengingatkan dan mengajarkan kepada manusia
untuk mengingat sirah para nabi agar hati pun menjadi tentram dan teguh. Dalam
surah hud : 120 Allah swt berfirman, ‘Dan
Kami menceritakan kepadamu setiap kisah dari kisah-kisah para rasul,
kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam kisah-kisah ini
telah datang kepadamu kebenaran serta nasihat dan peringatan bagi orang-orang
yang beriman’. Hal ini menunjukkan bahwa mengingat sirah para nabi
akan membuat kita menjadi tentram dan
teguh, oleh karena mereka adalah manifestasi-manifestasi Ilahi sehingga
mengingat para nabi sekaligus mengingat Allah swt. Dalam surah ali imran : 137
Allah swt berfirman, ‘Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunah-sunah
Allah; karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana
akibat orang-orang yang mendustakan (para rasul)’. Lagi-lagi Allah swt
mengajarkan kepada kita untuk senantiasa mengingat ummat terdahulu dan memetik
pelajaran dari mereka. Tentu faedah dalam memetik hikmah dari para nabi agar dapat
melihat akibat dari orang-orang buruk sehingga kita tidak ikut melakukan apa
yang telah mereka lakukan dengan mendustakan para nabi dan rasul.