BATAS-BATAS
PENGETAHUAN SUBJEKTIF:
TASAWUF
SPEKULATIF dan TASAWUF SYARIAH al-GHAZALI
Oleh Muhammad Nur Jabir (Dir Rumi Institute)
Muqaddimah
Setiap agama memiliki dua dimensi, lahir dan
batin. Para cendikiawan muslim menyebut kedua hal tersebut dengan istilah
syariat dan tarekat. Syariat dan tarekat merupakan satu hakikat dalam dua
dimensi. Kedua dimensi tersebut tidak bertentangan bahkan menjadi satu kesatuan
yang tak terpisahkan. Dimensi paling luar disebut dengan syariat dan dimensi
batin disebut dengan tarekat. Adapun pencapaian utama dari tarekat adalah
hakikat atau makrifat.
Dalam
sejarah pemikiran Islam, syariat dan tarekat tidak selamanya beriringan secara
harmoni sebagai suatu bangunan yang utuh. Kedua hal tersebut terkadang
dipertentangkan, bahkan seolah terlihat sebagai dua jalan yang berbeda dan
berlawanan. Hallaj, Suhrawardi, dan Syekh Siti Jenar diantara beberapa tokoh
sufi yang menjadi tumbal sejarah pertentangan syariat dan tarekat.
Memisahkan
syariat dan tarekat serta menafikan kedua dimensi lahir-batin akan memberikan
dampak negatif terhadap perkembangan dunia Islam. Imam Ghazali salah satu tokoh
sufi yang menaruh perhatian besar terhadap persoalan ini. Bahkan bisa
dikatakan, pergulatan hidup dan perubahan pemikiran Imam Ghazali yang begitu cepat,
berakar dari pergulatan dalam menempatkan posisi syariat. Bagi Imam Ghazali,
syariat terkait erat dengan segala dimensi pengetahuan Islam, baik itu kalam
(teologi), filsafat, dan tasawuf.
Imam
Ghazali salah satu diantara pemikir muslim yang mengambil peran penting agar
ummat muslim tidak jatuh ke dua titik ekstrim: syariat tanpa sentuhan batin
(tasawuf) atau batin tanpa syariat. Syariat dan tarekat merupakan dua pondasi
utama dalam ajaran Islam. Ia memadukan kedua hal tersebut yakni syariat dan
tasawwuf dengan jalan kezuhudan dan kehambaan.
Zuhud dan kezuhudan adalah salah satu bagian
dari tradisi klasik tasawuf dan memiliki dasar di dalam doktrin Islam. Abunashr
Sarraj, Abulqasim Qusyairi, dan Hajwiri adalah diantara tokoh-tokoh sufi besar
yang mendasari ajarannya dengan dasar kezuhudan. Dan Imam Ghazali termasuk
salah satu tokohnya.
Keterikatan yang erat antara syariat dan
tarekat, salah satunya dapat terlihat dari hubungan antara niat dan amal. Hal
yang paling penting dalam ibadah adalah niat yang ada dibalik suatu ibadah.
Bagi para sufi, ibadah yang dilakukan dengan keikhlasan yang tinggi, semestinya
tidak didasarkan apakah memperoleh pahala atau tidak, namun semata-mata karena
cinta pada Ilahi. Jalan untuk meraih cinta Ilahi adalah dengan menjaga syariat
semaksimal mungkin namun dengan syarat, syariat mesti dimaknai sebagai jalan
untuk meraih hakikat. Dan inilah yang dimaksud sebagai tarekat.
Imam Ghazali meyakini, jalan untuk sampai
kepada hakikat adalah melalui jalan syariat. Oleh sebab itu, pusat perhatian
utama Imam Ghazali adalah pada ranah fiqih dan syariat, sebab dengan menjaga
syariat dengan jalan tarekat, maka akan mengantarkan seseorang kepada tasawuf.
Imam Ghazali adalah seorang Sufi Faqih. Kata Imam Ghazali, “manusia sempurna
(al-Kāmil) adalah seseorang yang cahaya makrifatnya tak pernah padam. Oleh
karena manusia sempurna dengan
kesempurnaan pandangannya, tidak pernah membiarkan dirinya meninggalkan batas-batas
syariat”[1].
Imam Ghazali
menempatkan syariat sebagai jalan untuk sampai ke singgasanaNya karena syariat
mengatur seluruh sendi-sendi kehidupan manusia. Dalam kata lain, saat seseorang
melangkah setiap saat dalam bingkai syariat, maka seolah orang tersebut
senantiasa dalam naungan inayah Ilahi. Bahkan perlahan-lahan orang tersebut
akan merasakan setiap keputusan yang diambil berasal dari Ilahi, tidak lagi
berasal dari dirinya.
Berkenaan hal tersebut, Imam Ghazali
memberikan suatu pengakuan atas apa yang sedang ia rasakan, “saya tak lagi
bergerak dengan ikhtiyarku sendiri, DIA lah yang membuat diriku bergerak . . .
kebenaran telah nampak sebagaimana kebenaran, Tuhan telah memberikan taufik
pada diriku untuk mengikutinya, Tuhan telah menunjukkan padaku kebatilan
sebagaimana kebatilan”[2].
Menurut
para sufi, termasuk Imam Ghazali, meyakini hati sebagai hakikat manusia. Oleh
sebab itu, kebahagiaan dan keselamatan manusia sangat bergantung pada
keselamatan dan kebahagiaan hati. Jiwa manusia akan meluas pada pemilik hati
yang bersih dan suci. Kemeluasan jiwa akan menjadi wadah dalam menerima cahaya
pengetahuan Ilahi. Perilaku manusia akan berubah berdasarkan inayah Ilahi yang
datang pada hatinya. Namun perlu diketahui, pembersihan jiwa hanya dapat
dilakukan dalam bingkai syariat. Artinya Imam Ghazali meyakini, hati dan
syariat adalah dua hakikat, seperti dua cermin yang saling berhadapan, saling
memantulkan.[3]
Tasawuf
Imam Ghazali adalah jalan sufi yang sangat menekankan jalan syariat. Hal
tersebut terlihat dengan sangat jelas dalam karyanya Ihya Ulumuddin dan Kimiyatussa’adah.
Kedua kitab tersebut, memang tidak hanya berisi tentang ajaran tasawuf,
persoalan ahklak dan ajaran-ajaran doktrin agama pun terlihat dengan sangat
jelas di dalam kedua kitab tersebut.
Berkat kecerdasan yang dimilikinya, Imam
Ghazali tidak punya pembimbing khusus dalam menapaki jalan spiritual. Jalan
sufistik dan suluk yang dijalani, ia temukan sendiri diantara tumpukan
kitab-kitab dan petuah-petuah para sufi belumnya. Hal ini yang membedakan Imam
Ghazali dari sufi-sufi lainnya yang pada umumnya yang berada dibawah bimbingan
seorang Mursyid seperti Maulana Jalaluddin Rumi yang diasuh secara khusus oleh
Syams Tabrizi.
Kata Imam Ghazali, “mencari ilmu lebih mudah
daripada beramal. Oleh karena itu, langkah pertama yang saya lakukan adalah
menimbah pengetahuan sufistik terlebih dahulu. Kitab yang menunjang pengetahuan
saya dalam persoalan ini diantaranya adalah kitab Qūt al-Qulūb karya Abu Thalib Makki,
kitab-kitab dari Harits Muhasibi, kitab Junaid, Syibli, Bayazid Basthami,
beserta petuah-petuah dari guru mereka”[4].
Ada dua jenis sufi dalam tradisi tasawuf, Sufi
Abid dan Sufi ‘Asyiq (arif). Seorang Sufi yang senantiasa menjalani dan
menjelaskan segala aktivitas sufistiknya dalam bingkai syariat adalah seorang
Sufi Abid. Imam Ghazali adalah Sufi Abid. Hampir dalam seluruh karya-karyanya,
kehambaan dan kezuhudan menjadi satu kesatuan yang utuh.
Berbeda dengan Sufi Abid, Sufi ‘Asyiq atau
yang bisa disebut dengan arif, gelora yang senantiasa bergejolak di dalam
dirinya adalah cinta, wajd, sema, dan jazbah. Maulana Rumi
adalah salah satu sufi yang dikenal dengan Sufi ‘Asyiq yang senantiasa berjalan
dengan jalan cinta.
Adapun Sufi ‘Asyiq memiliki dua wajah dalam
menjelaskan puncak perjalanannya; wahdatussyuhud dan wahdatulwujud. Gagasan
wahdatussyuhud meyakini, puncak perjalanan sampai pada suatu maqam dimana tak
ada lagi yang disaksikan kecuali Tuhan. Adapun wahdatulwujud adalah suatu maqam
dimana seorang sufi meyakini, yang ada hanya Tuhan, selain Tuhan adalah
ketiadaan.
Imam Ghazali adalah salah satu sufi yang memadukan
antara ajaran sufisme dengan doktrin agama. Ia menghiasi ajaran tasawuf dengan
syariat Islam; Quran dan Hadits. Apalagi didukung atas keyakinannya bahwa hati
lebih unggul daripada akal adalah salah satu faktor yang menyebabkan diakhir
perjalannya, ia meninggalkan kalam (teologi) dan filsafat.
Siapa pun dia, selama orang tersebut memakai
baju sufi, cinta menjadi kendaraan terbaik untuk sampai ke Hadirat Ilahi. Imam
Ghazali pun demikian halnya, alam semesta dimaknai sebagai cerminan keindahan
jiwa. Memandang keindahan jiwa seseorang, tidak termasuk hal yang dilarang, asalkan
rasa dalam pandangan tersebut, tak ubahnya memandang keindahan bunga dan taman.[5] Jalan
tercepat sampai ke cinta sejati adalah melalui jalan cinta metafor. Dari alam
lahir menuju alam batin.
Imam Ghazali meyakini dua relasi cinta atau mahabbah:
manusia terhadap Tuhan dan Tuhan terhadap manusia. Bagi sebagian sufi, cinta
seorang hamba kepada Ilahi bersifat azali yaitu telah ada dan aktual sejak
di alam perjanjian (alastu). Adapun Imam Ghazali meyakini cinta tersebut
bersifat qadim. Cinta Ilahi akan hadir dalam diri seorang hamba ketika
hati benar-benar bebas dari kelalalian kepada Ilahi. Saat hati bersih dari
lalai, keindahan Ilahi akan terpancar di dalam hati dan menjadi seorang
pecinta. Berdasarkan hal ini, cinta adalah hasil dari makrifat dan makrifat
perkara fitrawi[6].
Imam Ghazali menentang kaum mutakallim
(teolog) yang mengingkari cinta seorang hamba kepada Ilahi. Kata para
mutakallim, ada perbedaan yang mencolok antara Tuhan dan makhluk, oleh
karenanya, cinta seorang hamba kepada Ilahi tidak akan berlaku. Jika ada kata mahabbah
di dalam Qur’an, tak ada makna lain kecuali ketaatan. Imam Ghazali
berpandangan sebaliknya, cinta menjadi satu-satunya jalan untuk sampai kepada Ilahi,
kesempurnaan, dan kebahagiaan.[7]
Hanya Tuhan yang paling layak dicintai dan paling
layak sebagai objek cinta. Manusia tak seharusnya cinta pada selain Tuhan
kecuali dalam rangkaian cinta pada Ilahi. Cinta adalah harta karun yang tidak
semua orang mampu mendapatkannya. Puncak cinta adalah kefanaan. Kecintaan yang
begitu mendalam pada Kekasih bahkan mampu membuat lupa pada namanya sendiri.
Pada tahapan ini, seorang salik (pecinta) telah sirna atau fana di dalam
Kekasih dan lupa atas dirinya sendiri. Menurut Imam Ghazali, fenomena ini
adalah jalan pertama tasawuf.[8]
Dasar-Dasar Pengetahuan Sufistik
Sebelum menjelaskan pandangan Imam Ghazali,
terkait dengan beberapa pengetahuan sufistik dalam persoalan tasawuf, penting
kiranya untuk melihat bagaimana Imam Ghazali menempatkan posisi akal.
Menurut
Imam Ghazali dalam kitab al-Munqidz, esensi wujud manusia adalah hati.
Kondisi fitrah manusia pada awalnya seperti lembaran putih yang kosong dari
segala bentuk pengetahuan, termasuk pengetahuan Ilahi. Tahapan selanjutnya
Tuhan menciptakan inderawi pada manusia. Tahapan inderawi adalah tahapan yang
sama antara manusia dan hewan. Kira-kira setelah tujuh tahun kemudian, manusia
diberikan aspek ‘pembeda’, anak-anak mulai memahami kaidah-kaidah keniscayaan.
Setelah tahapan ini adalah tahapan akal dan tahapan paling puncak adalah
manusia akan diberikan ‘penglihatan kenabian’ pada orang-orang tertentu[9].
Nampak
dari pembahasan sebelumnya, tahapan-tahapan yang manusia lewati hingga sampai
kepada akal bahwa, setiap tahapan menunjukkan suatu proses dari perubahan
manusia. Dalam kitabnya Ihya Ulumuddin menjelaskan hal yang sama terkait
dengan persoalan akal. Menurut Imam Ghazali, tingkatan pertama akal adalah potensi
dalam memahami sesuatu yang dengan potensi tersebut memisahkan dirinya dari
hewan. Tingkatan kedua akal adalah pengetahuan yang lebih banyak terlihat pada
usia anak-anak, khususnya dalam membedakan sesuatu, seperti saat seorang anak
memahami bilangan angka dua lebih besar dari satu atau contoh lainnya, tidak
mungkin melihat orang itu pada dua tempat dan waktu yang berbeda pada saat
bersamaan. Tahapan ketiga akal adalah pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh
dari pengalaman-pengalaman atau dari beragam kondisi atau keadaan. Adapun tingkatan
keempat akal adalah kekuatan dalam memahami akhir atau akibat dari setiap
perbuatan dan berkat akal tersebut mampu menundukkan syahwat serta kecendrungan
kepada kenikmatan dunia.[10]
Tingkatan
pertama akal dan kedua adalah pemberian Ilahi namun pada tingkatan ketiga dan
keempat, selain pemberian Ilahi namun mesti disertai dengan usaha manusia dalam
meraihnya. Khususnya yang terkait dengan akal dalam tingkatan akhir, hati
menjadi wadah dalam menerima akal tersebut. Oleh sebab itu, terdapat tingkatan
akal yang hanya dikhususkan kepada para Nabi dan Wali. Dan dari sini dapat
dipahami juga bahwa, persoalan ‘penyingkapan batin’ tidak hanya dikhusus untuk
para Nabi. Meski demikian, para Nabi diberikan pengetahuan khusus dari Tuhan
dan pengetahuan tersebut melampaui keempat tingkatan akal yang telah dijelaskan
sebelumnya. Pengetahuan yang dikhususkan buat para Nabi disebut dengan wahyu.
Empat
tingkatan akal menurut Imam Ghazali sangat dekat pemaknaannya dengan empat
tingkatan akal menurut Ibn Sina; akal potesi, akal bilmalakah, akal
aktual, dan akal qudsi. Penjelasan yang diuraikan oleh Imam Ghazali pun sangat
dekat dengan penjelasan Ibn Sina. Kedekatan ini menunjukkan bahwa Ibn Sina
punya pengaruh yang cukup dalam terhadap pemikiran Imam Ghazali.
1. Mukasyafah
Istilah mukasyafah adalah salah satu istilah
kunci dalam pemikiran Imam Ghazali. Hal tersebut dijelaskan dalam muqaddimah Ihya
Ulumuddin bahwa tujuan dari penulisan kitab tersebut untuk menghidupkan
ilmu akhirat. Bagi Imam Ghazali ilmu akherat terbagi menjadi
dua bagian; al-Mu’amilah (taklif; keyakinan, perbuatan, dan meninggalkan
perbuatan) dan mukasyafah[11].
Prinsip-prinsip llmu mu’amilah diperoleh
dari Quran dan hadits. Adapun Quran dan hadits merupakan hasil dari derajat
makrifat kenabian Rasulullah saw atau derajat mukasyafah Rasulullah saw. Oleh
sebab itu dapat dikatakan, ilmu mu’amilah adalah jalan untuk sampai
kepada ilmu mukasyafah. Persoalan ini sekaligus menegaskan bahwa mukasyafah
atau penyaksian batin tidak mungkin diraih tanpa melalui jalan syariat,
sehingga persoalan ini menjadi bagian yang sangat penting karena terkait dengan
proses penyempurnaan jiwa. Seorang sufi bisa sampai mukasyafah karena
mensucikan jiwanya melalui proses tazkiyatunnafs dan tazkiyatunnafs dilakukan
melalui bimbingan syariat.
Tujuan
inti mukasyafah untuk meraih pengetahuan Ilahi di dunia ini dan juga makrifat
dan kebahagiaan di dunia lain. Kebahagiaan di dunia lain sangat bergantung
kepada makrifat pada Ilahi di dunia ini. Namun mesti dipahami, maksud Imam
Ghazali tentang makrifat Ilahi adalah bukan pengetahuan yang diraih dengan
jalan taklid sebagaimana orang-orang awam atau melalui jadal seperti para
mutakallim. Namun makrifat Ilahi merupakan hasil dari cahaya yang Tuhan berikan
kepada seseorang di dalam hatinya berkat usaha yang begitu kuat dalam
mensucikan batinnya dari keburukan-keburukan[12].
Selain makna tersebut, Imam Ghazali juga
memaknai mukasyafah sebagai ‘tirai yang telah tersibak’. Mukasyafah bermakna
menyaksikan sesuatu dibalik tirai sehingga keragu-raguan sirna di dalam diri.
Adapun ilmu mu’amilah adalah pengetahuan untuk mempersiapkan cermin hati
dalam menyingkap hakikat-hakikat dan terutama pengetahuan tentang Tuhan.
Terlihat dengan sangat jelas, istilah
mukasyafah yang digunakan oleh Imam Ghazali berakar dari ajaran tasawuf. Imam
Ghazali dalam kitab al-Munqidz menjelaskan persoalan sufi dengan
menggunakan istilah tasawuf. Menurut Imam Ghazali, Sufi adalah seseorang yang
menganggap dirinya sebagai ahli mukasyafah. Mukasyafah dan musyahadah adalah
titik awal perjalanan seorang sufi[13].
Sebelum sampai pada masa Imam Ghazali,
penggunaan istilah mukasyafah sudah terlihat dengan sangat jelas dari sufi-sufi
sebelumnya. Sufi sebelumnya umumnya memaknai mukasyafah sebagai salah satu
derajat khusus dari derajat yakin. Namun penyajian dalam menjelaskan istilah
mukasyafah tidak sama diantara para sufi. Sufi sebelumnya mengaitkan istilah
mukasyafah dengan tajalli; tajalli sifat atau dzat.
2. Dzauq
Imam Ghazali dalam penggunaan istilah dzauq,
tidak hanya dijelaskan dalam ranah sufistik, istilah tersebut digunakan juga
dalam ranah filsafat seperti dalam karyanya ‘Tahāfut al-Falāsifah’,
khususnya dalam menjelaskan soal filosofi kebahagiaan. Dzauq adalah suatu
bentuk pengalaman batin di dalam diri. Dan oleh karena kebahagiaan adalah suatu
perkara kenikmatan akal, dan kenikmatan adalah bagian dari pengalaman, maka
filosofi kebahagiaan dikaitkan dengan dzauq sebab dzauq adalah perkara yang
dialami di dalam diri manusia.
Dalam
kitab Ihya Ulumuddin, Imam Ghazali menjelaskan bahwa dzauq adalah
pengetahuan internal dan personal. Pengetahuan tersebut menyatu di dalam diri
dan juga tak terpisahkan di dalam diri seseorang. Suatu kondisi atau keadaan (hāl).
Bisa juga dikatakan sebagai pengetahuan kehadiran (al-‘Ilm al-Hudhurī)
dan tak butuh argumentasi. Pengetahuan seseorang biasanya diawali dengan mengetahui
secara umum, lalu setelah mencicipinya, pengetahuan seseorang atas objek tersebut
akan semakin mendalam. Oleh sebab itu, kedua pengetahuan tersebut berbeda.
Pengetahuan pertama (pengetahuan general) seperti kulit sedangkan yang kedua
adalah inti. Pengetahuan yang pertama adalah pengetahuan lahir sedangkan yang
kedua adalah batin. Pengetahuan batin tidak bertentangan dengan pengetahuan
lahir, tapi batin dimaknai sebagai penyempurna dari lahir. Demikian halnya
dengan lmu, iman, dan tashdiq. Misalnya manusia telah tahu sebelumnya tentang
cinta, sakit, dan kematian, namun ketika ketiga fenomena tersebut terjadi di
dalam diri, pengetahuan kita atas ketiga fenomena tersebut semakin sempurna.[14]
Pengetahuan
dzauq adalah pengetahuan yang hanya bisa diraih dengan pengalaman. Oleh sebab
itu, dzauq dari aspek pengalaman tak mungkin ditransfer pada orang lain sebab
analoginya seperti seseorang yang berusaha keras menjelaskan rasa sakit
tertentu pada orang lain yang tak pernah mengalami rasa sakit tersebut. Sebesar
apa pun usaha seseorang dalam menjelaskannya, tetap saja orang lain tidak akan
mengerti karena orang tersebut tak pernah mengalaminya.
Imam
Ghazali dalam kitab Misykāt
al-Anwār, menjelaskan relasi iman, ilmu, dan dzauq berdasarkan surah 58 (al-Mujadila);11
“. . . niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu
dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat . . .”.
Menurutnya, ilmu lebih tinggi dari iman, dan dzauq lebih tinggi dari ilmu. Dzauq
adalah ranah intuisi, ilmu ranah argumentasi, dan iman adalah taqlid kepada seseorang
yang memiliki ilmu dzauq.[15]
Dzauq
dalam pemikiran Imam Ghazali memiliki derajat yang tinggi terkait dengan
pengetahuan manusia. Kemudian pada tahapan selanjutnya, dzauq dihubungkan
dengan pengetahuan kenabian. Dzauq dipahami sebagai salah satu tahapan
pengetahuan dari kenabian dan selain Nabi tidak mungkin sampai kepada dzauq
kenabian tersebut. Namun di sisi lain, jalan terbaik untuk mencicipi makrifat
kenabiaan adalah melalui jalan dzauq. Seharusnya keyakinan seseorang atas
kenabiaan tidak mencukupkan dirinya kepada apa yang didengarkan, tetapi mampu
juga merasakan dibalik sesuatu didengarkan.
3.
Musyahadah
Imam Ghazali di kitab Ihya Ulumuddin menjelaskan
ada tiga derajat keimanan. Derajat pertama adalah iman orang awam yaitu keimanan
yang diraih dengan jalan taklid. Derajat iman yang kedua adalah iman kaum
mutakallimin (kaum teolog) yaitu bentuk keimanan yang disertai dengan
argumentasi, keimanan derajat kedua ini dekat dengan derajat keimanan orang
awam. Adapun derajat iman yang paling puncak adalah derajat iman kaum arifin.[16]
Imam Ghazali mengaitkan persoalan musyahadah
dengan tingkatan iman yang paling tinggi yaitu iman orang-orang arif. Keimanan
puncak ini disaksikan (musyahadah) dengan cahaya keyakinan. Makrifat yang
dihasilkan dari keimanan melalui musyahadah adalah hakiki sekaligus
yaqini. Perbedaan keimanan anatara keimanan kedua dan ketiga adalah keimanan
argumentatif dan keimanan musyahadah.
Keimanan argumentatif adalah bentuk keimanan
yang mencoba memahami keberadaan Tuhan melalui perantara lain dan perantara
tersebut adalah argumentasi. Adapun keimanan musyahadah yang diyakini
oleh orang-orang arif adalah keimanan yang mengetahui segala sesuatu melalui
Tuhan melalui cahaya mukasyafah yang dimilikinya, bahkan mengetahui Tuhan
melalui Tuhan. Imam Ghazali menyebut keimanan argumentatif dengan sebutan “al-Ulama
al-Rāsikhun” yaitu ulama yang mendalam ilmunya melalui dalil argumentasi. Adapun
keimanan musyahadah disebut dengan “al-Shādiqūn” yaitu keimanan
yang menyaksikan segala sesuatu dengan cahaya batinnya. Imam Ghazali mengaitkan
“al-Shādiqūn” dengan ayat 41:53 “Tidak cukupkah bahwa sesungguhnya
Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu”. Demikian halnya dengan “al-Ulama
al-Rāsikhun” masih tetap dengan ayat yang sama dengan penggalan ”kami
akan perlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segala wilayah bumi dan pada
diri mereka sendiri”.[17]
Wajah Sufi Imam Ghazali di Misykāt al-Anwār
Kitab Misykāt al-Anwār adalah karya
terakhir Imam Ghazali. Kitab tersebut ditulis saat dia telah berada dalam
puncak kematangan jiwa. Perubahan jiwa revolusioner Imam Ghazali dapat
ditemukan dalam kitab ini. Untuk pertamakalinya dalam dunia Islam persoalan
metafisika cahaya menjadi karya terpisah dalam bentuk sebuah buku.
Kitab
tersebut menjelaskan tentang esensi cahaya kaitannya dengan hakikat Ilahi
sebagaimana dalam surah annur 24:35 “Allah adalah cahaya langit dan
bumi”. Makna cahaya dalam kitab tersebut dijelaskan dengan pendekatan
sufistik. Ia menegaskan pendekatan sufistiknya dalam menjelaskan ayat tersebut
melalui salah satu hadits dari Rasulullah saw, “sesungguhnya bagi Allah ada
tujuh puluh hijab; hijab cahaya dan hijab kegelapan”.[18]
Imam
Ghazali sebagaimana sufi lainnya meyakini Tuhan sebagai haqīqatul haqāiq
(hakikat dari segala hakikat). Tuhan adalah hakikat cahaya, bahkan cahaya itu
sendiri. Hakikat cahaya, selain menyinari dirinya, juga memberikan cahaya pada
yang lain. Oleh sebab itu, jika di dalam diri sesuatu atau di dalam zat dirinya
tidak ada cahaya, hakikatnya sesuatu tersebut tidak bisa di sebut dengan
cahaya. Jika disematkan panggilan cahaya pada sesuatu tersebut, penyematan
tersebut sekedar metafor semata (bil majāz).
Hal
yang menarik yang dilakukan oleh Imam Ghazali adalah saat menyamakan cahaya dengan
wujud dalam kitab tersebut. Ia meyakini bahwa hakikat cahaya sama dengan
hakikat wujud. Sifat cahaya sama dengan sifat wujud, menerangi dirinya dan yang
lain. Cahaya dan wujud hanya bisa disematkan kepada Ilahi sebab Dialah pemilik
cahaya dan wujud. Oleh karena itu, jika kita menyematkan wujud pada wujud lain
selain Tuhan, maka penyematan tersebut juga bersifat metafor semata. Setelah
menjelaskan persoalan tersebut lebih jauh, Imam Ghazali sampai kepada
kesimpulan bahwa, “tak wujud kecuali Allah dan segalanya sirna kecuali
wajahNya”.[19]
Pernyataan
“tak ada wujud selain Allah” adalah doktrin utama dalam ajaran sufi, khususnya
dalam gagasan Ibn Arabi. Dalam pemikiran Ibn Arabi keyakinan tersebut dikenal
dengan sebutan wahdatul wujud. Wahdatul wujud adalah suatu doktrin yang
meyakini bahwa wujud hanya disematkan kepada Tuhan dan selain Tuhan adalah
ketiadaan. Doktrin wahdatul wujud sekaligus menjadi pembeda dari pandangan
lainnya; filsafat atau kalam.
Hal
menarik lainnya yang menjadi perhatian Imam Ghazali dalam kitab Misykat adalah
hadits yang menyatakan bahwa “Adam diciptakan berdasarkan atas bentuknya”.
Hadits tersebut menjadi salah satu ruang perdebatan antara mutakallim dengan
sufi. Inti perdebatannya pada kata ‘bentuknya’ bahwa dhamir pada kata tersebut
akan dikembalikan kemana? Apakah kembali ke Adam atau kembali ke Tuhan? Imam
Ghazali mengikuti jalan urafa dengan mengembalikan dhamir tersebut
kepada namaNya al-Rahman.[20]
Hadits
tersebut adalah salah satu hadits yang sangat populer di kalangan sufi,
khususnya dalam menjelaskan hakikat insan kamil atau manusia sempurna sebagai
manifestasi yang paling sempurna dari asma Ilahi. Pembahasan insan kamil
adalah bagian yang paling penting di dalam ajaran tasawuf dan menjadi
pembahasan pembeda dengan pembahasan lainnya seperti dalam pembahasan filsafat
atau kalam. Seluruh isi kitab Fushus al-Hikam Ibn Arabi menjelaskan
tentang hakikat insan kamil dari beragam perspektif melalui hakikat kenabian.
Meskipun kitab Misykāt al-Anwār tidak begitu
mendapatkan sambutan hangat sebagaimana kitab Ihya Ulumuddin, namun para
sufi memberikan perhatian khusus terhadap kitab Misykāt karena kedalaman
dan kematangan pengetahuan sufistik Imam Ghazali terlihat dengan sangat jelas
dalam kitab tersebut.
Relasi Syariat dan Tasawuf
Jika kita menelusuri kitab-kitab klasik
sufistik, sangat mudah memahami betapa sufi-sufi sebelumnya menaruh perhatian
penuh terhadap syariat. Bahkan memperhatikan secara detail batas-batas syariat
seperti persoalan mustahab dan makruh. Imam Ghazali dalam kitab al-Munqidz juga
menjelaskan demikian, jika seluruh pemikir dan filosof serta ulama saling
membantu untuk berbuat sesuatu yang lebih baik dari akhlak sufistik, yakin saja
bahwa mereka tak mungkin bisa melakukan hal tersebut karena di dalam akhlak
sufistik, seluruh gerak dan diam, baik itu dari sisi lahir dan batin berasal
dari cahaya kenabiaan. Tak ada lagi yang mampu memberikan cahaya di alam ini
terkecuali dari Misykat cahaya kenabiaan.[21]
Imam
Ghazali, Ibn Arabi, Maulana Rumi dan sufi-sufi lainnya sebagaimana terlihat
dari ucapan-ucapan mereka senantiasa mendudukkan penyaksian (mukasyafah dan
musyahadah) mereka dengan syariat. Bahkan mereka menjadikan syariat
sebagai salah satu timbangan dalam menilai apakah penyaksian mereka adalah
penyaksian yang benar atau dusta.
Seorang
sufi pasti menyadari, pengalaman mukasyafah tidak hanya terbatas pada
penyaksian Ilahiyah tapi bisa saja terjadi pada diri seseorang mengalami
penyaksian syaithaniyah. Ibn Arabi dalam kitab Futuhāt al-Makiyah membuka
satu bab khusus dengan judul “fi makrifah al-khawātir al-syaithāniyah”.[22]
Oleh karena itu, para sufi menyadari betapa penting peranan syariat dalam memberikan arah setiap
pengalaman-pengalaman batin mereka.
Bagaimana
pun bentuk penyaksian batin, yang pasti, pengalaman tersebut pasti terjadi di
dalam batin seseorang. Pengalaman sufistik sangat subjektif dan juga personal.
Jadi pertanyaan utama yang semestinya menjadi perhatian utama dalam pengalaman
batin tersebut adalah apakah ada timbangan untuk menilai suatu pengalaman?
Bagaimana kita bisa memahami bahwa pengalaman tersebut adalah pengalaman benar
atau salah, khususnya dalam membedakan mukasyafah Ilahiyah dan mukasyafah
syaithaniyah?
Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan tersebut,
para sufi memposisikan syariat sebagai salah satu timbangan dalam menilai suatu
pengalaman batin. Bahkan mereka berusaha semaksimal mungkin agar tidak terjadi
pertentangan antara syariat dengan penyaksian-penyaksian yang terjadi di dalam
batin.
Bagi para sufi, termasuk Imam Ghazali,
sebagaimana terlihat dalam pembahasan sebelumnya, peran syariat tidak hanya
dalam memberikan timbangan benar dan salah, namun juga menjadi dasar dalam
perjalanan suluk. Syariat adalah kendaraan untuk sampai kepada hakikat atau
makrifat. Para sufi menyandarkan persoalan ini berdasarkan ayat 15: 99 “dan
sembahlah Tuhanmu hingga datang kepadamu yaqin”. Bagi para sufi, maksud
dari yaqin disini adalah maqam yaqin yakni seseorang telah sampai kepada
keyaqinan tertentu. Suatu bentuk keyakinan yang di dalamnya tidak ada lagi
ruang keragu-raguan.[23]
Tasawuf Spekulatif (Irfan Teori)
Sebelum menjelaskan lebih jauh, ada baiknya
melihat terlebih dahulu persamaan dan perbedaan antara istilah irfan dan
tasawuf. Mungkin ada yang membedakan kedua istilah tersebut berdasarkan mazhab
dan mungkin juga ada yang membagi dalam terma lain, irfan dibangun berdasarkan
terma-terma filosofis sedangkan tasawuf non filosofis.
Meskipun kita menemukan beragam teori
pemilahan irfan dan tasawuf, tapi sebenarnya tidak ada perbedaan spesifik
antara irfan dan tasawuf. Irfan adalah tasawuf dan tasawuf adalah irfan itu sendiri.
Perbedaan ini muncul, jika kita mencoba melihat sudut pandang yang berbeda di
dalam diri seorang sufi. Maksudnya jika yang kita saksikan pada seorang sufi
adalah sistem alam pemikirannya maka pada hakekatnya kita sedang menyaksikan
aspek irfani dari sufi tersebut, namun jika yang kita saksikan pada seorang
sufi aspek sosialnya, seperti bagaimana perilaku kesehariannya, cara
berpakaian, dan tingkah laku, maka yang sedang kita saksikan pada sufi tersebut
adalah aspek tasawufnya.
Jadi pada diri seorang sufi terdapat dua aspek
sekaligus, pertama adalah sisi irfannya dan yang kedua adalah sisi tasawufnya.
Sisi irfan menjelaskan aspek pandangan dunia seorang sufi, menjelaskan tentang
bagaimana pemikiran dia tentang wahdatul wujud, konsep tajalli dan tentang
manusia yaitu insan kamil. Sisi tasawuf menjelaskan aspek sair suluknya yang
terbingkai dalam prilaku kesehariannya. Pembahasan kita kali ini menjelaskan
tentang irfan teori yaitu menjelaskan aspek pemikiran dari seorang sufi. Oleh
karena itu kata yang tepat yang kita gunakan saat ini adalah irfan.
Dari hal diatas kita bisa melihat pembagian
besar dalam irfan, yaitu irfan teori dan irfan amali (tasawuf). Irfan teori
adalah sebuah penafsiran akan eksistensi, dalam hal ini wahdatul wujud beserta
konsekwensinya yang diperoleh melalui syuhud dan mukasyafah. Sedangkan irfan
amali (tasawuf) menjelaskan proses yang harus dijalani manusia sehingga sampai
pada puncak tauhid (wahdatul wujud). Dalam irfan amali seorang sufi senantiasa
berusaha menjalani ‘takhallaqu bi akhlaqillah’ [berakhlak dengan
akhlak-akhlak Ilahiyah]. Segala perbuatannya dijalani dalam ruang lingkup
syariah dan melalui syariah (lahir) tersebut masuk kedalam inti hakikat
(batin).
Tapi disini harus dipahami, terminologi akhlak
yang dipahami oleh seorang sufi tidak sama dengan makna akhlak yang dipahami
pada umumnya. Akhlak yang biasanya dipahami oleh awam bermakna memperindah diri
dengan sifat-sifat hasanah, seperti bagaimana seseorang memperindah diri dengan
sifat malu, sifat dermawan, rendah diri, dan sifat-sifat positif lainnya.
Sedangkan akhlak dalam terminologi irfan tidak bermakna memperindah diri, akan
tetapi bermakna perjalanan ruhaniah dari satu titik terendah menuju titik yang
paling puncak yaitu wahdatul wujud. Akhlak dalam irfan adalah gerak dari satu
stasiun menuju stasiun lainnya, dari gerak kesadaran, menuju taubat hingga
sampai pada puncak tauhid yaitu wahdatul wujud. Akhlak dalam irfan bersifat
dinamis, sedangkan selainnya bersifat statis.
Secara garis besar pembahasan irfan membahas
dua tema penting dan sekaligus menjadi poros seluruh pembahasan irfan. Kedua
persoalan tersebut adalah tauhid dan muwahhid. Yang dimaksud dengan tauhid oleh
kaum sufi adalah wahdatul wujud. Para Sufi meyakini bahwa wujud hanya layak
disematkan kepada Al-Haqq. Selain Al-Haqq hanyalah nama-nama-Nya dan
manifestasi-Nya saja yang secara esensi nama-nama tersebut tidak memiliki wujud
yang independen. Konsekwensi dari prinsip wahdatul wujud ini meniscayakan
penafian wujud selain Al-Haqq.
Relasi antara Al-Haqq dan selain Al-Haqq dalam
irfan diselesaikan dengan prinsip tajalli. Tajalli hanyalah bayangan diri-Nya
dalam berbagai ragam bentuk. Keanekaragaman ini bergantung pada bentuk-bentuk
cermin yang ada. Cermin menampakkan wajah-Nya tapi bergantung pada potensi dan
bentuk yang ada pada cermin. Yang menarik dalam terminologi tersebut karena
kita bisa menemukan banyak teks dalam Quran dan hadits yang menggunakan
terminologi bayangan, misalnya dengan istilah tanda. Bahkan penamaan di dalam
surah pun dijelaskan dengan istilah ayat (tanda). Oleh karena itu dalam
pandangan dunia irfan, segala sesuatu selain Al-Haqq adalah tanda-tanda tentang
diri-Nya (kemana pun kamu menghadap, di situlah wajah Allah. 2;115).
Pembahasan kedua dalam irfan menjelaskan
tentang konsep insan kamil (muwahhid adalah seseorang yang mampu menampung ke
dalam dirinya hakekat wahdatul wujud). Insan kamil dalam irfan merupakan
penampakan Al-Haqq yang paling sempurna. Cermin yang paling sempurna diantara
cermin yang ada adalah insan kamil. Konsep ini sejalan dengan hadits ‘khalaqa
adam ‘ala shuratih’ Tuhan menciptakan manusia sesuai dengan bentuk-Nya,
atau dalam hadits lain dijelaskan ‘laulak lama khalaqtul aflak’ (jika
bukan engkau wahai Muhammad, tidak Aku ciptakan langit dan bumi). Berdasarkan
hal ini insan kamil merupakan batin atau ruh alam semesta, sedangkan alam
semesta adalah badan atau tubuh insan kamil.
Hirarki Ontologi dalam Irfan
Di dalam filsafat dijelaskan bahwa alam ini
adalah akibat dari Tuhan dan Tuhan adalah sebab sedangkan alam ini sebagai
akibatnya. Filsafat dalam menjelaskan hirarki alam eksistensi dengan menggunakan
prinsip kausalitas dan dalam prinsip kausalitas akan meniscayakan adanya
pluralitas wujud, paling minimal ada dua wujud. Wujud sebab yakni Tuhan dan
wujud akibat yaitu selain Tuhan.
Tapi dalam Irfan, hirarki ontologi dijelaskan
dengan pendekatan asmaulhusna bahwa, selain Tuhan hanyalah penampakan
dari nama-namaNya. Oleh karena itu, dalam pembahasan Irfan, wujud tidak
bergradasi namun yang bergradasi adalah nama-nama Tuhan. Dalam irfan segala
persoalan diselesaikan dengan pendekatan asmaulhusna.
Sebagaimana yang telah kami ungkapkan
sebelumnya bahwa hirarki ontologi dalam irfan memiliki ciri khas tersendiri.
Berikut ini adalah hirarki ontologi dalam irfan;
Zat Al-Haqq (Maqam Ghaib al-Ghuyub)
Ibn Arabi meyakini bahwa zat Al-Haqq adalah
maqam yang tak tersentuh. Tidak satu pun yang bisa sampai kepada maqam zat. Hal
ini ditegaskan dalam do’a Rasulullah saw ; “ma ‘araftuka haqqa ma’rifatik wa
ma’abadtuka haqqa ‘ibadatik” (aku tidak mengetahui diri-Mu sebagaimana
hakekat diri-Mu dan aku tidak mungkin menyembah-Mu sebagaimana hakekat
penyembahan). Artinya baik akal maupun hati tidak mungkin sampai dalam menyaksikan diri-Nya.
Oleh karena itu maqam zat adalah maqam
penafian atas segala identias diri-Nya. Dia adalah tanpa nama, tanpa definisi,
dan tanpa ikatan. Oleh karena itu dalam irfan maqam zat bukan objek pembahasan.
Hakekat Al-Haqq yang tersembunyi tidak akan
diketahui tanpa dijelaskan oleh diri-Nya sendiri. Kuntu kanzan makhfiya fa
ahbabtu anu’raf, fakhalaqtul khalq likai u’raf ; Aku adalah perbendaharaan
yang tersembunyi maka aku cinta untuk dikenal, maka aku mencipta agar aku
dikenal. Menurut Ibn Arabi, maksud Cinta di hadits tersebut adalah maqam zat
Al-Haqq. Ketika zat ingin menyaksikan kesempurnaannya sendiri dalam maqam zatnya, maka untuk menyaksikan kesempurnaan
tersebut bisa melalui dua cara. Cara pertama adalah tanpa perantara apapun dan
yang kedua adalah melalui perantara sesuatu dan sebaik-baiknya perantara adalah
cermin karena cerminlah yang mampu menunjukkan segala hakekat yang ada
sebagaimana adanya.
Menyaksikan keindahan diri melalui cermin jauh
lebih indah dari pada menyaksikan diri tanpa cermin, dan karena indah dan
keindahan adalah merupakan hakekat diri-Nya maka terciptalah cermin tersebut.
Cermin dalam istilah irfan adalah tajalli. Oleh karena itu tajalli pertama
disebut dengan maqam Ahadiyah yang sangat identik dengan Al-Haqq. Para Sufi
menyebut Ahadiyah ini dengan Hakekah Muhammadiyah.
Ahadiyah (Ta’ayyun Awwal)
Ahadiyah adalah tajalli pertama Al-Haqq. Dalam
Ahadiyah, dikarenakan keidentikannya dengan Al-Haqq maka segala nama-nama (asmaulhusna)
belum terpisah antara satu nama dengan nama lainnya, baik secara konsep maupun
secara hakekat. Selanjutnya berdasarkan Faidh Aqdas (curahan tersuci) Ilahi
maka Ahadiyah bertajalli yang disebut dengan Wahidiyah (ta’ayyun tsani).
Wahidiyah (Ta’ayyun Tsani)
Dalam ta’ayyun tsani walaupun nama-nama
Al-Haqq satu sama lain belum terpilah-pilah secara hakiki, akan tetapi secara
konsep nama-nama tersebut sudah bisa terpilah-pilah. Kemudian berdasarkan Faidh
Muqaddas (curahan suci) maka masing-masing dari nama tersebut meminta dirinya
untuk memiliki ‘wujud ilmi’ berdasarkan kapasitas dari masing-masing nama
tersebut. Kemudian seluruh nama-nama tersebut terinci secara detail dalam a’yanusstabitah
(identitas-identitas permanen).
Dalam pandangan Irfan, segala yang ada di alam
ini telah terinci sebelumnya di a’yanusstabitah. Mulai dari alam akal,
alam imajinasi, dan alam materi segalanya telah terinci sebelumnya di a’yanusstabitah.
Namun mesti dipahami dengan baik sebelumya bahwa Ahadiyah dan Wahidiyah masih
dalam wilayah Uluhiyyah atau wilayah ilmu Al-Haqq. Namun setelahnya yaitu alam
akal, alam imajinasi dan alam materi, sudah disebut dengan alam konkrit atau
nyata.
Insan Kamil
Satu pembahasan yang tak kalah penting dalam
pembahasan irfan selain pembahasan wahdatul wujud adalah pembahasan insan
kamil. Insan kamil dalam terminologi syariat disebut dengan Khalifatullah.
Insan kamil merupakan hakekat yang berada dalam seluruh hirarki tajalli. Mulai
dari alam materi hingga sampai menembus maqam Ahadiyah. Tapi disini harus
dipahami bahwa insan kamil memiliki maqam yang berbeda-beda walaupun mereka
berasal dari cahaya yang satu. Insan kamil atau khalifatullah adalah seseorang
yang memiliki keidentikan dengan diriNya. Di dalam dirinya telah mengaktual
nama-nama Ilahi.
[1] Ghazali, Abu Hamid, Misykāt al-Anwār (Majmuah Rasāil al-Imam
al-Ghazali), hal 283,
Darul Kitab, Beirut.
[2] Ghazali, Abu Hamid, al-Munqidz
min al-Dhalal (Majmuah Rasāil al-Imam al-Ghazali), hal 561, Darul
Kitab, Beirut.
[3] Ghazali, Abu Hamid, Ihya Ulumuddin,
Vol II, Hal 305, Darul Kitab, Beirut.
[4] Ghazali, Abu Hamid, al-Munqidz min
al-Dhalal (Majmuah Rasāil al-Imam al-Ghazali), hal 552, Darul Kitab,
Beirut
[6] Ghazali,
Abu Hamid, Kimiya-e Sa’adat. Hal 47-48.
[7] Ghazali,
Abu Hamid, Kimiya-e Sa’adat. Hal 983.
[8] Ghazali,
Abu Hamid, Kimiya-e Sa’adat. Hal 250.
[9] Ghazali,
Abu Hamid, al-Munqidz min al-Dhalal (Majmuah Rasāil al-Imam
al-Ghazali), hal 556-557, Darul Kitab, Beirut
[11] Ghazali,
Abu Hamid, Ihya Ulumuddin, Vol I, Hal 25.
[12] Ghazali,
Abu Hamid, Ihya Ulumuddin, Vol I, Hal 34, Darul Kitab, Beirut.
[13] Ghazali,
Abu Hamid, al-Munqidz min al-Dhalal (Majmuah Rasāil al-Imam
al-Ghazali), hal 540, Darul Kitab, Beirut
[15] Ghazali,
Abu Hamid, Ihya Ulumuddin, Vol I, Hal 286.
[17] Ghazali, Abu Hamid, Misykāt al-Anwār
(Majmuah Rasāil al-Imam al-Ghazali), hal 279, Darul Kitab, Beirut.
[18] Ghazali, Abu Hamid, Misykāt al-Anwār
(Majmuah Rasāil al-Imam al-Ghazali), hal 269.
[19] Ghazali, Abu Hamid, Misykāt al-Anwār
(Majmuah Rasāil al-Imam al-Ghazali), hal 276.
[21] Ghazali,
Abu Hamid, al-Munqidz min al-Dhalal (Majmuah Rasāil al-Imam al-Ghazali), hal 554-555, Darul Kitab, Beirut
[22]
Ibn Arabi, Muhyiddin, al-Futūhāt al-Makiyah (arba’
mujalladāt), Vol 1, Hal 281, Dar al-Shadir, Beirut.
[23] Ibn
Arabi, Muhyiddin, al-Futūhāt al-Makiyah (arba’ mujalladāt), Vol 2, Hal 205, Dar al-Shadir, Beirut.