Persoalan gerak termasuk salah satu tema filsafat
yang terbilang kuno karena telah dibahas sejak masa yunani kuno. Perdebatan
mengenai gerak telah dimulai oleh Heraclitus yang meyakini akan keberadaan
gerak, juga Parmenidus bersama muridnya Zeno yang mengingkari akan keberadaan
gerak. Heraclitus meyakini segala sesuatu sedang bergerak dan pertentangan
diantara entitas-entitas yang ada merupakan sumber gerak. Berbeda dengan
Heraclitus, Parmenidus dan Zeno mengingkari keberadaan gerak. Bagi Parmenidus
salah satu dari karekteristik keberadaan adalah diam.
Persoalan mengenai perubahan dan tetap, sejak dahulu
menjadi sebuah persoalan yang ambigu bagi kalangan filsuf. Meskipun perubahan
senantiasa kita saksikan pada realitas alam ini dan bahkan juga di dalam diri
kita sendiri, namun tidak mudah menjelaskan hakekat dari gerak. Karena itu ada
filsuf yang mengingkari gerak seperti Parmenidus dan Zeno dan ada juga yang
meyakini bahwa segala entitas di alam ini senantiasa berubah seperti
Heraclitus. Aristoteles meyakini realitas keduanya yaitu meyakini pada tetap
dan berubah.
Aristoteles meyakini bahwa perubahan meniscayakan
pada tetap dan berubah. Maksudnya jika dikatakan bahwa A berubah menjadi B
tentunya akan melazimkan perbedaan diantara keduanya, dikarenakan A telah
berubah menjadi B dan selain itu pula, mesti ada yang tetap yang menunjukkan
keidentikan dan aspek yang sama diantara keduanya sehingga dapat dikatakan
bahwa A berubah menjadi B. Jika tak ada lagi yang tetap diantara keduanya atau
dalam kata lain berubah secara totalitas maka tak dapat lagi dikatakan bahwa A
berubah menjadi B.[1]
Perubahan dalam filsafat merupakan kelaziman dari
keluarnya sesuatu dari potensi menuju aktual, baik perubahan ini dalam zat (substansi)
atau pun juga perubahan ini berasal dari sifat-sifat zatnya (aksiden).[2]
Perubahan dalam zat adalah perubahan yang terjadi pada substansinya seperti
perubahan dari tanah kepada tumbuhan, sedangkan perubahan sifat-sifat zatnya
adalah perubahan aksiden seperti perubahan pada warna buah apel dari hijau
menuju warna merah.
Perubahan yang terjadi pada sesuatu, dihasilkan dari
dua bentuk jenis perubahan yaitu perubahan secara spontanitas (daf’iī)
atau perubahan secara gradual (tadrījī). Perubahan secara gradual
disebut dengan gerak sedangkan perubahan secara spontanitas disebut dengan
‘penciptaan dan peniadaan’ (kaun wa fasād).[3]
Hal ini terlihat bahwa tidak semua perubahan tersebut didefinisikan sebagai
gerak. Hanya perubahan secara gradual yang disebut dengan gerak.
Filsafat Paripatetik sejak Aristoteles hingga Ibn
Sina membahas dan meletakkan persoalan gerak dalam ranah aksidental. Maksudnya
gerak hanya terjadi pada empat kategori aksidental yaitu kuantitas, kualitas, posisi,
dan ruang.[4]
Filsafat Paripatetik seperti Ibn Sina meletakkan persoalan gerak sebagai
karekteristik dari tabiat materi dan oleh karenanya membahas persoalan tersebut
dalam bab physics (al-thabi’iyyāt).[5]
Suhrawardi dalam kitabnya Muthārahāt menjelaskan
bahwa meskipun gerak bukan bagian dari kategori substansi namun gerak tidak
sebagaimana yang dijelaskan oleh filsuf paripatetik yang meyakini bahwa gerak
terjadi pada empat kategori aksiden, bahkan lebih dari itu Suhrawardi
memasukkan gerak sebagai bagian dari aksiden itu sendiri. Menurut Suhrawardi
gerak sejatinya adalah aksiden. Gerak merupakan suatu kondisi yang senantiasa
terjadi pada materi. Maksudnya terkadang suatu benda itu diam lalu kemudian bergerak.
Artinya kondisi sebelumnya diam lalu kemudian kondisi selanjutnya bergerak yang
menunjukkan bahwa ada kondisi yang mengaksiden padanya. Oleh karenanya
disifatkan pada benda tersebut suatu sifat aksiden yang disebut dengan gerak.
Dengan demikian gerak mesti dimasukkan sebagai salah satu kategori dari
aksiden.[6]
Sebagaimana yang terlihat, dalam filsafat
Paripatetik dan bahkan Suhrawardi menjelaskan fenomena gerak sebagai fenomena
materi. Fenomena perubahan dalam pengertian gerak sangat mudah disaksikan di
sekitar kita. Karena itu fenomena gerak adalah merupakan sebuah fenomena yang
badihi. Paling tidak, perpindahan dari satu tempat pada tempat yang lain
sebagai sebuah fenomena gerak adalah suatu hal yang badihi. Karena itu pula tak
heran jika persoalan gerak dibahas dalam filsafat dan juga dibahas dalam fisika
sebagaimana filsafat paripatetik memasukkannya ke dalam ranah physics.
Gerak yang dibahas dalam ranah sains dan dalam
filsafat tentu berbeda. Saintis membahas gerak dalam pengertian sebuah fenomena
tertentu bagi sebuah benda tertentu. Misalnya apakah benda X tersebut bergerak
dan bagaimanakah bentuk geraknya. Namun selain wilayah ini, sains tidak lagi
mampu untuk menelusuri lebih jauh dan tak lagi menjadi objek pembahasannya.[7]
Filsafat membahas gerak sebagai sebuah pembahasan
yang bersifat universal. Dalam kata lain persoalan gerak yang paling penting
adalah apakah gerak ada pada realitas eksternal atau tidak. Filsafat tidak membahas satu spesifik dari
benda tertentu. Karena itu bagi filsuf, gerak dibahas dalam ranah ontologi.
Maksudnya pembahasannya adalah wujud gerak dan hal ini diluar dari wilayah
Sains. Menurut Jawadi Amuli, hal ini yang membedakan antara Mulla Sadra dan
filsafat Paripatetik seperti Aristoteles dan Ibn Sina dimana filsafat Paripatetik
membahas gerak sebagai fenomena-fenomena tabiat materi, sedangkan Mulla Sadra
membahasnya dalam filsafat Ilahiyah dikarenakan membahas gerak dalam ranah
ontologi.[8]
Perbedaan wilayah pembahasan gerak dalam filsafat
dan dalam sains, sebenarnya kembali kepada penekanan metodologi yang digunakan
dalam masing-masing bidang studi tersebut. Sains menekankan pendekatan indrawi
dan eksperimentasi, sedangkan filsafat menggunakan metode akal dan argumentasi.[9]
Murtadha Muthahhari mengatakan:
Filsafat membahas
tabiat materi dari sisi perubahan-perubahan dan transformasi-transformasi
dimana meletakkan tabiat materi sebagai laboratorium potensi dan aktual. Nanti
akan kita saksikan, meskipun ‘potensi’ dan ‘aktual’ adalah konsep yang benar
dan nyata, namun tak satu pun dari konsep ‘potensi’ dan ‘aktual’ termasuk dari
konsep indrawi.[10]
Mulla Sadra memberikan pehaman yang baru mengenai
gerak. Sebelum kehadiran Mulla Sadra, sebagaimana diungkapkan sebelumnya, gerak
hanya berkaitan dengan empat kategori pada aksidental dan bahkan Suhrawardi
menggolongkan gerak sebagai bagian dari kategori aksiden.
Mulla Sadra selain meyakini bahwa gerak terjadi pada
aksidental, juga meyakini bahwa terjadi pada substansi. Bahkan salah satu
bagian penting dari filsafat Hikmah Muta’aliyah adalah membuktikan keberadaan
gerak substansi.[11] Dalam
filsafat Paripatetik seperti Ibn Sina, sulit menerima bahwa gerak juga terjadi
pada substansi. Dalil utama yang diutarakan oleh Ibn Sina, gerak melazimkan
adanya objek yang bergerak, mesti ada sesuatu yang bergerak sehingga dapat
dikatakan bahwa objek A bergerak menuju B. Namun jika substansi dari sesuatu
itu sendiri disaat bergerak juga mengalami perubahan maka pada saat itu tak ada
lagi objek bagi gerak. Padahal dalam gerak meniscayakan keberadaan objek yang
bergerak.[12]
Beragam argumentasi dalam membuktikan gerak
substansi yang dipaparkan oleh Mulla Sadra ingin membuktikan bahwa eksistensi
materi senantiasa bergerak. Eksistensi materi adalah eksistensi gradual yang
setiap saat senantiasa baru.[13]
Oleh karena itu dalam pandangan Sadra, seluruh alam materi senantiasa bergerak,
baik itu dalam bentuk aksiden maupun dalam bentuk substansi.
Menurut Abdullah Jawadi Amuli, pengingkaran Zeno
terhadap gerak dikarenakan formula argumentasi yang diberikan oleh Aristoteles
mengenai gerak. Kritik Zeno sebenarnya berkaitan dengan eksistensi gerak sedangkan
argumentasi gerak oleh Aristoteles berkenaan dengan fenomena gerak. Oleh karena
itu kehadiran Mulla Sadra menyingkap tabir tersebut dengan membuktikan bahwa
pada substansinya pun terjadi gerak.
Oleh karena itu menurut Abdullah Jawadi Amuli keunggulan argumentasi
gerak bukan dari warisan filsuf besar seperti Aristoteles dan filsuf-filsuf
lainnya yang sepemikiran dengan Aristoteles. Namun keunggulan argumentasi gerak
ini adalah hasil dari usaha keras dan penyucian diri Mulla Sadra dan para
penerusnya dan bahkan menjadi bagian dari karekteristik filsafat Islam.[14]
Berkenaan dengan definisi gerak. Plato dan Aristoteles
tidak sama dalam mendefinisikan gerak. Menurut Plato gerak adalah keluarnya
sesuatu dari kesamaan dan keseragaman.[15]
Maksudnya terkadang pada suatu objek memiliki dua kondisi yang berbeda yaitu
antara kondisi sebelumnya dan kondisi setelahnya. Karena itu menurut Plato
gerak adalah keluarnya sesuatu dari satu kondisi yang sama menuju suatu kondisi
yang berbeda atau dalam kata lain dari satu kondisi menuju kondisi lainnya. Namun
definisi Plato mengenai gerak tersebut meliputi kedua bentuk perubahan, baik
perubahan dalam makna perubahan secara spontan (kaun wa fasād) maupun
perubahan dalam makna perubahan secara gradual atau gerak.[16]
Definisi gerak menurut Aristoteles adalah
kesempurnaan pertama bagi suatu potensial dari sisi sebagaimana sesuatu
tersebut adalah potensial.[17]
Hal yang penting dalam definisi Aristoteles berkenaan dengan dua hal yaitu
kesempurnaan pertama dan aspek potensi sebagaimana potensi. Maksud dari
kesempurnaan pertama disini adalah bentuk spesis (shūrah nau’iyah) bagi
suatu benda materi dan kesempurnaan yang akan diraih selanjutnya pada batasan
yang dimungkinkan disebut dengan kesempurnaan kedua. Kemudian dalam meraih
kesempurnaan kedua bagi benda tersebut tentu dari aspek potensi sebagaimana
potensi yang dimilikinya. Karena itu gerak termasuk kesempurnaan bagi objek
yang bergerak karena dengan gerak inilah akan mengantarkannya kepada
kesempurnaan yang kedua.[18]
Dalam pandangan Mulla Sadra gerak didefinisikan
dengan hudūts al-tadrījī atau keluarnya sesuatu dari potensi menuju
aktual secara gradual atau perlahan-lahan.[19]
Dalam definisi ini dapat dipahami bahwa gerak adalah meninggalkan secara
perlahan-lahan sesuatu dari potensi dan sampainya kepada aktualitas dan kesempurnaan
eksistensi.
Dalam definisi yang diutarakan oleh Mulla Sadra, Jawadi
Amuli mengatakan ada beberapa hal yang mesti dipahami untuk memahami dengan
baik mengenai konsep gerak. Salah satunya adalah memahami makna gradual yaitu
melewati atau mengarungi jarak eksistensi antara potensi dan aktual dalam
satuan waktu. Oleh karena jika aktualitas terjadi secara spontanitas dari
sesuatu yang potensialitas maka perubahan ini tak disebut dengan gerak. Karena
makna gerak dapat diaplikasikan pada sesuatu yang dapat dibagi secara imajinasi
(waħmī) dan pembagian mental (ziħnī), juga bagian-bagian yang
diasumsikan satu sama lain tak berkumpul, bahkan masing-masing setelah melewati
menyusul yang lainnya dan sebelum menemukan eksistensi setelahnya.[20]
Jawadi Amuli melanjutkan bahwa jika gerak dapat
dibagi secara imajinasi atau mental maka gerak secara esensi memiliki ketunggalan
yang tersambung dan kontinuitas. Oleh karena bagian-bagian yang diasumsikan
tersebut tak dapat berkumpul menunjukkan bahwa hal tersebut senantiasa dalam
kondisi mengalir (sayyāl) dan senantiasa proses melewati. Apalagi jika
dapat diterapkan pada satuan waktu maka hal tersebut tentu bersifat gradual
karena hanya waktu saja yang dapat menjadi tolak ukur atas sesuatu yang
bersifat gradual, bukan sesuatu yang diam. Kemudian Jawadi Amuli menyimpulkan
bahwa tanpa waktu dan gradual, pemahaman gerak tak dapat ditafsirkan dengan
benar. Meskipun konsep waktu berbeda dengan konsep gerak namun hakekat kedua
hal tersebut pada realitas eksternal adalah satu.[21]
Dalam sistem pemikiran tasawwuf, gerak senantiasa dimaknai
dengan gerak cinta. Gerak cinta ini berasal dari salah satu hadits Qudsi
Rasulullah saw, Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi, Aku cinta untuk
dikenal, maka Aku mencipta makhluk agar Aku dikenal.[22]
Ibn Arabi menjelaskan bahwa apapun jenis gerak yang terjadi di alam ini
berdasarkan pada gerak cinta. Segala perubahan dan segala kemenjadian
senantiasa dalam lingkaran gerak cinta, baik itu perubahan dalam busar turun,
maupun perubahan dalam busar naik.[23]
Sebagaimana dipahami, dalam pandangan dunia irfan,
realitas alam dijelaskan dengan dua busar, busar naik dan busar turun. Hakekat
realitas dimulai dari maqam ghaibul ghuyub atau maqam zat dimana pada
maqam ini tak ada determinasi dalam bentuk apapun.[24]
Setelah maqam ghaibul ghuyub adalah maqam ahadiyah atau ta’ayyun
awwal dimana maqam ini adalah maqam yang sangat dekat dengan maqam zat.[25]
Pada ta’ayyun awwal terkandung
segala hakekat yang ada pada level setelahnya secara peleburan (indimājī)
dan oleh karenanya ta’ayyun awwal juga disebut dengan haqīqah
al-haqāiq.[26]
Cinta pada maqam ta’ayyun awwal merupakan
hakekat dari zat dan bahkan cinta pada maqam tersebut adalah zat itu sendiri.[27]
Keidentikan realitas cinta pada maqam ta’ayyun awwal menjadi sumber dan
asal muasal akan keberadaan prinsip gerak cinta karena pada maqam ta’ayyun
awwal terkandung secara peleburan segala hakekat yang ada tingkatan
setelahnya atau pada manifestasi-manifestasi selanjutnya.
Ibn Arabi meyakini bahwa gerak alam dari ketiadaan
dimana sebelumnya diam dalam ketiadaan tersebut lalu kemudian keluar pada alam
eksistensi. Karena itu menurut Ibn Arabi perkara tersebut bahwa gerak dari
diam.[28]
Disini Ibn Arabi memperlawankan gerak dengan diam. Namun mesti dipahami bahwa
diam dalam terminologi Ibn Arabi memiliki konteks penetapan (tsubūt)
yaitu disebut dengan wujud ilmiyah karena hal tersebut berada dalam zat
Ilahiyah. Dalam hal ini wujud ilmiyah diperhadapkan wujud eksternal (wujud
khārijī).[29]
Penafsir Ibn Arabi, Yazdān Panāh memahami bahwa
gerak akan terlihat dengan jelas pada ta’ayyun tsānī atau wahidiyah.
Pada ta’ayyun awwal belum ada keragaman. Keragaman terpahami pertama
kali pada ta’ayyun tsāni karena ta’ayyun tsānī merupakan
perantara antara ta’ayyun awwal dengan alam realitas eksternal. Melalui ta’ayyun
tsānī inilah muncul nama-nama Ilahi (asma Ilahi). Karena itu
persoalan gerak bisa dijelaskan pada ta’ayyun tsānī yaitu pada empat
hakekat asma yang disebut dengan aimmah al-asma yaitu hayāt, qudrah,
iradah, dan ‘ilmu. Keempat asma tersebut berakar pada ta’ayyun
awwal. Yazdān Panāh melanjutkan penjelasannya bahwa para ahli makrifat
meyakini kesempurnaan zat itu sendiri adalah batin dari hayāt dan
kesadaran (syu’ur) dari kesempurnaan tersebut adalah batin dari ‘ilmu
dan gerak cinta merupakan batin dari iradah dan pada akhirnya tawajjuh
jaballī merupakan batin dari qudrah.[30]
Gerak dalam ranah filsafat berbeda dengan gerak
dalam ranah tasawwuf sebagaimana terlihat pada pembahasan sebelumnya. Letak perbedaan
ini berada dalam bangunan ontologi diantara keduanya yaitu penafsiran terhadap hakekat
realitas eksternal. Irfan bersandar pada gagasan wahdatul wujud dan filsafat
bersandar pada keragaman wujud. Dalam memahami realitas, irfan menggunakan
qalbunya dalam menyingkap realitas dan dalam filsafat menggunakan argumentasi
akal dalam menyingkap realitas.[31]
Penelitian desertasi ini mencoba untuk menganalisa
dan membandingkan gerak dalam ranah filsafat dan gerak dalam ranah irfan.
Khususnya perbandingan gerak dalam pengertian gerak substansi dalam filsafat
Sadra dengan gerak dalam pengertian gerak cinta dalam pandangan irfan. Penelitian
ini penting guna melihat ruang lingkup masing-masing dari gerak yang dimaksud.
Hal penting lainnya dalam penelitian ini yaitu
mencoba untuk menganalisa mengenai perubahan yang berlangsung secara terus
menerus. Keyakinan terhadap gerak substansi meniscayakan segala sesuatunya
bergerak di dalam dirinya, sebab bukan hanya aksidennya saja yang bergerak,
bahkan substansinya pun bergerak.
Urafa juga meyakini adanya perubahan secara terus
menerus. Salah satu kaidah dalam urafa yaitu ‘entitas-entitas tak pernah tetap
dalam dua masa’.[32] Bagi
urafa segala entitas-entitas mumkin senantiasa mengalami perubahan dan
senantiasa baru dan baru. Apa yang ada pada saat sebelumnya, sirna secara
keseluruhan dan pada saat setelahnya mendapatkan kehidupan yang baru. Proses
seperti ini bagi urafa disebut dengan tajaddud amtsal.[33]
[1]
Abdurrasul ‘Ubudiyyat, al-Nizām
al-Falsafī liMadrasah al-Hikmah
al-Muta’aliyah, (Beirut: Samt va Muassas-e Āmuzesy-e va Pezuhesy-e Imam Khomeini. 2010), P. 16.
[2]
Muhammad Husain Thabataba’i, Bidayah al-Hikmah, (Qom: Muassasah
al-Nasyr), P. 120.
[3]
Muhammad Husain Thabataba’i, Bidayah al-Hikmah, (Qom: Muassasah
al-Nasyr), Hal. 120.
[4]
Hasan Moallimī . . . (va Jam’-e
Newisandegān), Tārīkh-e Falsafeh Islāmī,
(Qom: Markaz-e Jahānī
‘Ulūm-e Islāmī. 1385), Hal. 296.
[5]
Ibn Sina, al-Syifā
(al-Thabi’iyyāt),
(Qom: Maktabah Ayatullah Mar’asyī.
1404 H), Jil. 1, Hal. 81. Pernyataan Ibn Sina sebagai berikut, لقد ختمنا الكلام
فى المبادئ العامة للأمور الطبيعية. فحرى بنا أن ننتقل إلى الكلام فى العوارض العامة
لها، و لا أعم لها من الحركة و السكون. و السكون كما سنبين من حاله عدم الحركة، فحرى
بنا أن نقدم الكلام فى الحركة
[6]
Suhrawardi, Majmū’ah
Mushannifāt Syekh Isyrāq, (Tehran: Muassas-eyye Muthāle’āt-e va Tahqīqāt-e Farhanggī. 1375 HS), Jil. 1, Hal. 278.
[7]
Abdullah Jawādi Āmūlī, SarCesymeh-ye
Andisyeh, (Qom: Esra’. 1382 HS), Jil. 3, Hal. 563.
[8]
Abdullah Jawādi Āmūlī, SarCesymeh-ye
Andisyeh, Jil. 3, Hal. 563.
[9]
‘Alī Rabbānī Golpāygānī, Aydhāh
al-Hikmah, (Qom: Intesyārāt-e Isyrāq. 1374 HS), Jil. 2, Hal. 219.
[10]
Murtadha Muthahhari, Majmmueh Ātsār, (Qom: ), Jil. 6. Hal. 726.
[11]
Hasan Moallimī . . . (va
Jam’-e Newisandegān), Tārīkh-e Falsafeh Islāmī,
(Qom: Markaz-e Jahānī
‘Ulūm-e Islāmī. 1385), Hal. 296.
[12]
Ibn Sina, al-Syifā
(al-Thabi’iyyāt),
(Qom: Maktabah Ayatullah Mar’asyī.
1404 H), Jil. 1, Hal. 124.
[13]
Shadruddin Syirāzī, al-Hikmah al-Muta’āliyah fi al-Asfār al-Arba’ah, (Beirut: Dār Ihyā al-Turāts.
1981), Jil. 7, Hal. 290
[14]
Abdullah Jawādi Āmūlī, SarCesymeh-ye
Andisyeh, (Qom: Esra’. 1382 HS), Jil. 3, Hal. 558.
[15]
Shadruddin Syirāzī, al-Hikmah al-Muta’āliyah fi al-Asfār al-Arba’ah, (Beirut: Dār Ihyā al-Turāts.
1981), Jil. 3, Hal. 24.
[16]
Hasan Moallimī . . . (va Jam’-e
Newisandegān), Tārīkh-e Falsafeh Islāmī,
(Qom: Markaz-e Jahānī
‘Ulūm-e Islāmī. 1385), Hal. 296.
[17]
Shadruddin Syirāzī, al-Hikmah al-Muta’āliyah fi al-Asfār al-Arba’ah, Jil. 3, Hal. 24.
[18]
Hasan Moallimī . . . (va
Jam’-e Newisandegān), Tārīkh-e Falsafeh Islāmī,
(Qom: Markaz-e Jahānī
‘Ulūm-e Islāmī. 1385), Hal. 312-313.
[19]
Shadruddin Syirāzī, al-Hikmah al-Muta’āliyah fi al-Asfār al-Arba’ah, Jil. 3, Hal. 22.
[20]
Abdullah Jawādi Āmūlī, SarCesymeh-ye
Andisyeh, (Qom: Esra’. 1382 HS), Jil. 3, Hal. 561.
[21]
Abdullah Jawādi Āmūlī, SarCesymeh-ye
Andisyeh, Jil. 3, Hal. 561.
[22]
Ghulam Husain Ridhā Nizhād, Syarh-e Kabīr bar Fushūs al-Hikam Ibn Arabi, (Tehran:
al-Zahra. 1380 HS), Jil. 2, Hal. 1133.
[23]
Muhyiddin Ibn Arabi, Fushūs
al-Hikam, (Qom: Intisyārāt-e al-Zahra. 1370 HS), Hal. 203.
[24]
Shadruddin Qūnawī, Risālah al-Nushūs, Hal. 6
[25]
Muhammad ibn Hamzah Fannārī, Mishbāh al-Uns, (Tehran: Intisyārāt-e Maulā.
1373 HS), Hal. 158.
[26]
Muhammad Husain Fādhil Tūni, Majmu’ah Rasāil-e ‘Irfānī wa
Falsafī, (Qom: Mathbū’āt-e Dīnī. 1382 HS), Hal. 118.
[27]
Muhammad ibn Hamzah Fannārī, Mishbāh al-Uns, (Tehran: Intisyārāt-e Maulā.
1373 HS), Hal. 356.
[28]
Muhyiddin Ibn Arabi, Fushūs
al-Hikam, (Qom: Intisyārāt-e al-Zahra. 1370 HS), Hal. 203.
[29]
Hasan Hasanzadeh Āmulī, Mumiddul
Ħimam dar Syarh-e Fushūs al-Hikam, (Tehran: Sāzmān-e Cāp va Intisyārāt-e
Vezārat-e Farhang va Irsyād-e Islamī. 1378 HS), Hal. 555.
[30]
Yadullah Yazdān Panāh, Mabānī wa Ushūl ‘Irfan Nazarī, (Qom: Muassas-e
Āmūzesy-e wa Pezuhesy-e Imam Khomeini. 1389), Hal. 423.
[31]
Murtadha Muthahhari, Majmu’eh
Ātsār, (Qom: Shadra. 1358 HS), Jil. 23, Hal. 29.
[32]
Jalaluddin Ħamāiī, Du Risaleh dar
Falsafeh Islāmī, (Tehran: Pezuhesygāh-e ‘Ulūm-e Insānī va Muthale’āt-e Farhanggī. 1375 HS), Hal. 6.
[33]
Jalaluddin Ħamāiī, Du Risaleh dar
Falsafeh Islāmī, (Tehran: Pezuhesygāh-e ‘Ulūm-e Insānī va Muthale’āt-e Farhanggī. 1375 HS), Hal. 5.