Tuesday, October 30, 2018

Mengapa Mesti Ada ‘Polisi-Tidur’?



Tentu ada alasan dan tujuan yang jelas mengapa mesti ada polisi-tidur. Pertanyaan-pertanyaan tentang polisi-tidur dalam tulisan ini tidak diperuntukkan untuk posisi polisi-tidur yang menjadi satu-satunya alasan terbaik dalam mengontrol laju kecepatan kendaraan, seperti di tempat-tempat lalu lalang anak-anak bermain, di  sekolah-sekolah, dan tempat-tempat peribadatan.

Namun saya yakin, kita pernah berada di atas jalan di mana dalam beberapa radius meter ke depan selalu dipertemukan dengan polisi-tidur. Setiap orang terpaksa dan dipaksa untuk melewatinya. Dan setiap orang mesti menurunkan kecepatan kendaraannya.

Jadi mungkin pertanyaan ini hadir di dalam benak setiap orang. Mengapa kita terpaksa melewati polisi-tidur dan mengapa orang-orang terpaksa membuat polisi-tidur? Bukankah lebih baik jika jalan-jalan itu dibangun tanpa dihiasi polisi-tidur? Sebenarnya apa hubungan polisi-tidur dengan kemanusiaan kita hari ini?

Mengapa kesadaran kita mesti terjaga dengan keterpaksaan? Apakah keterpaksaan menjadi pengendali kemanusiaan kita hari ini? Apakah mesti terpaksa sehingga menjadi orang baik? dan apakah kebaikan adalah sebuah keterpaksaan?

Saya menyangka kemanusiaan kita sedang dikutuk oleh polisi-tidur sebab saya merasa selama ini saya mengendarai kendaraan dengan baik dan mengikuti nalar etika berkendaraan. Bunyi suara kendaraanku tidak keras sehingga tidak memekik telinga-telinga yang mendengarkannya. Apalagi saya mengendarai kendaraanku dalam laju kecepatan yang relatif normal. Lalu mengapa saya mesti dipaksa dan terpaksa melewati polisi-tidur?

Namun di sisi lain kita tak mungkin mengingkari bahwa tidak semua orang peduli dengan nalar etika berkendaraan. Ada orang tertentu yang main klakson seenaknya. Sengaja membesarkan suara kendaraannya dan melaju kendaraannya secepat mungkin. Mereka tak peduli dengan polusi suara yang mengganggu orang-orang yang berpapasan dengannya.

Memang ironi jika logika pembuatan polisi-tidur diperuntukkan bagi mereka yang acuh terhadap nalar etika berkendaraan sebab berdampak secara langsung terhadap orang-orang yang taat terhadap etika berkendaraan. Dalam kata lain, semua orang dipaksa untuk memperlambat laju kendaraannya karena ada sebagian orang yang tidak taat mengikuti nalar etika berkendaraan.

Tak salah jika saya mengatakan polisi-tidur sebagai kutukan bagi kemanusiaan kita. Kehadirannya adalah suatu keterpaksaan yang memaksa kita menurunkan ego laju kecepatan kendaraan. Polisi-tidur adalah simbol ketidaksadaran yang mampu memaksa kesadaran egoisme kita. Tapi apa penyebabnya?
Boleh jadi karena kendaraan kita sudah jauh melaju meninggalkan moralitas kemanusiaan yang kita miliki. Petuah-petuah dan nasehat-nasehat sudah kehilangan maknanya sebab mampu dikalahkan oleh keterpaksaan. 

Keterpaksaan telah menjadi tuan rumah kemanusiaan kita hari ini. Kita terpaksa menjadi apa yang orang-orang katakan terhadap diri kita. Kita terpaksa bermedia sosial. Kita terpaksa memiliki rutinitas. Terpaksa berpolitik dan terpaksa berbicara. Dan pada akhirnya keterpaksaan menjadi rutinitas keseharian kita.

Kesadaran telah lama sirna di dalam kehidupan keseharian kita. Sebab pilihan-pilihan kita adalah keterpaksaan. Kita terpaksa memilih sebab pilihan-pilihan kita sudah diatur sedemikian rupa sehingga kita benar-benar seolah-olah nampak memilih. Tak heran jika saat ini sangat mudah ditemukan orang-orang yang mendadak soleh sebab lingkungan telah memaksa dirinya agar benar-benar nampak soleh.

Memang terlihat mengkhawatirkan sebab ternyata keterpaksaan tidak hanya menyangkut polisi-tidur tapi telah merambah ke dalam corak berpikir kita. Keterpaksaan menjadi suatu bangunan pengetahuan tapi tanpa kita sadari. Mungkin karena sudah sejak lama menggerogoti kesadaran pengetahuan kita.

Bukankah belakangan ini kita sering menyaksikan orang-orang yang terpaksa gila sehingga terpaksa melukai? orang-orang yang terpaksa sakit karena terjerat kasus korupsi, orang-orang yang terpaksa berjilbab karena harus menjalani persidangan. Dan orang-orang yang terpaksa hidup dan terpaksa menjalani kehidupan bagaimana pun adanya.

Tapi sampai kapan harus seperti ini? Sampai kapan kita terjerat oleh keterpaksaan? Saya pikir semua orang mesti menjawabnya karena pengendalinya adalah diri kita sendiri. Dan menurut saya, jawabannya sangat sederhana yaitu kita mesti kembali ke dalam esensi kemanusiaan kita yang paling sejati sebab hanya di sana akan ditemukan kesadaran yang paling fitrawi.  



Cinta ala Nietzche atau Rumi, Pilih Mana?


Bagi mereka yang akrab dengan tulisan-tulisan Nietzche dalam berbagai karyanya, biasanya akan menyimpulkan, Nietzche sangat tidak suka dengan cinta. Ia menentangnya dan boleh jadi ada yang menyimpulkan kalau Nietzsche sangat benci dengan cinta.
Namun ada hal yang perlu kita pertanyakan, cinta yang mana yang tidak disukai oleh Nietzsche dan cinta seperti apakah itu?

Kalau kita bertanya lebih dalam, kita akan tahu sebenarnya Nietzsche tidak menentang segala bentuk cinta. Ia menentang jenis cinta ‘keawaman’ dan tentu cinta yang bersifat politik. Tapi memang benar, segala bentuk cinta dalam pandangan Nietzsche adalah kegelapan. Karena menurutnya, cinta tak kan pernah paham tentang kasih sayang kecuali kebergantungan dan kemelekatan. Suatu gelora yang mengisi dan selanjutnya merenggut eksistensi manusia. 

Cinta yang hanya mampu merenggut manusia hanya akan membuat sang pecinta tak kan mampu melihat yang lain kecuali cinta itu sendiri. Bagi Nietzsche, cinta seperti ini adalah kebodohan karena seseorang tak mampu lagi melihat kekasihnya. Jadi apa guna cinta jika kekasih tak terlihat dan tak bisa disaksikan?

Cinta dalam politik pun demikian halnya, bahwa cinta adalah penyatuan dengan orang-orang faqir, orang-orang yang lemah, dan pinggiran. Sebuah masyarakat yang mencoba menyebarkan cinta agar seluruh lapisan masyarakat menjadi satu warna, bagi Nietzsche adalah satu bentuk kezaliman. Karena orang-orang akan menerima segala bentuk penderitaan atas dasar cinta.

Kata Nietzsche, “siapa saja yang membuatmu ketakutan, lenyapkanlah cintamu padanya”. Artinya memiliki cinta, sama saja meninggalkan nalar dan membuat seseorang tergila-gila dan menjadi gila. Oleh sebab itu cinta adalah sumber kegilaan agar sampai kepada kewarasan. Cinta adalah kewarasan yang berangkat dari kegilaan.
Namun bagi Nietzsche, cinta lebih agung dari kebergantungan dan kemelekatan. Cinta berakar dari syahwat dan gelora. Begitulah seharusnya hubungan yang sejati dan terjadi secara alamiah dengan alam. Cinta seperti ini akan menghasilkan berbagai ragam warna. Sudah seharusnya kita memaknai hakikat sebagai sesuatu yang kita rasakan dan kita saksikan. Dan syahwat merupakan dasar utama dalam menjalin hubungan dengan tabiat (nature).

Adapun aspek lain dan merupakan hal yang paling penting dalam persoalan cinta, Bagi Nietzsche, adalah keinginan untuk berkuasa. ‘Will to power’ pada hakikatnya bukan untuk kekuasaan itu sendiri namun agar bisa menyempurna sebagai binatang yang memiliki nalar. Kemudian dari sana akan melahirkan manusia baru yakni manusia yang lebih kuat karena mendasarkan cintanya pada tabiat dan syahwat.

Cinta dalam pandangan Nietzsche adalah cinta yang didasari atas syahwat. Orang-orang yang mengejar cinta karena cinta itu sendiri dapat dikatakan sebagai pelarian diri, bukan jalan menuju diri sendiri. Oleh sebab itu, cinta mesti didasari dengan syahwat.

Apakah cinta yang dimaksud sebagai gelora yang hadir saat seseorang sedang mengalami jatuh cinta, tak lebih dari urusan syahwat dan tabiat semata? Pengalaman seseorang dalam menjalani cinta lebih layak menjawab pertanyaan tersebut. Misalnya pengalaman Rumi tentang cinta jutsru menjauh dari soal syahwat. Cinta sejati justru tidak mungkin diraih dengan syahwat, kata Rumi.

Cinta Rumi bukan cinta biasa, bahkan bukan perkara yang mudah dilukiskan. Cinta yang begitu transenden. Unsur cinta yang paling utama justru terletak pada kegergantungan dan kemelekatan. Sebab itu cinta seperti ini tak kan terwakilkan oleh kata-kata.

Kata Rumi:
Apa pun yang aku tafsirkan tentang cinta,
Aku malu dengan tafsiranku,
saat sampai di singgasana cinta,
Meskipun bahasa sebagai penjelas,
Namun cinta tanpa bahasa akan lebih jelas,
Langkah pena begitu laju dalam melukiskan sesuatu,
Namun saat sampai pada kata cinta,
Pena pun patah dan terhenti.

Maulana Rumi menempatkan cinta sebagai karekteristik dari sifat Ilahiyah. Tak satu pun manusia yang mampu memahami hakikatnya. Hanya dengan jatuh cinta, manusia mampu memahami rasanya. Namun tetap saja tak mungkin diekspresikan. Meski demikian, cinta mampu dikenali melalui karekteristik-karekteristiknya.

Hakikat cinta bukan insaniyah tapi Ilahiyah, bahkan penciptaan alam semesta didasarkan pada cinta. Jika tak ada cinta maka alam semesta pun tak kan mungkin ada. Cinta mengalir di seluruh alam semesta. Bahkan menurut Rumi, nilai seseorang bisa diukur pada apa yang dicintainya.

Berbeda dengan Nietzsche, Rumi justru menempatkan cinta pada kebergantungan dan kemelekatan. Kata Rumi:

Cinta adalah lidah api,
Akan membakar segalanya kecuali Kekasih.

Cinta adalah api di mana api tersebut justru berasal dari Kekasih. Berkat Kekasih sehingga pecinta memiliki api di dalam dirinya yang terus bergelora setiap saat dan memurnikan serta mensucikan cinta yang hadir di dalam dirinya. Jika cinta seperti ini yang hadir di dalam diri seseorang maka seluruh pandangannya telah menjadi milik Kekasih sehingga tak mampu lagi melihat yang lain kecuali sang Kekasih.

Kata Rumi, ketenggelaman seseorang di dalam cinta Kekasih akan membantu dirinya bebas dari ke-aku-an sebab ke-aku-an dirinya menemukan kehidupan baru yakni kehidupan yang semakin transenden. Suatu bentuk kehidupan yang sudah tidak ditemukan lagi tanda-tanda keangkuhan, egoisme, peperangan, dan kebencian.

Tapi Rumi juga mengingatkan pada kita, bahwa cinta seperti ini hanya bisa terjadi jika objek cinta kita adalah Ilahi, bukan pada makhluk yang memiliki keterbatasan seperti manusia. Jika cinta adalah Ilahi sekaligus Kekasih maka tak ada jalan lain selain jalan kefanaan untuk menemukan cinta seperti ini. Oleh sebab itu, Rumi mengingatkan kita melalui salah satu syairnya yang indah:

Mengapa sejak awal cinta itu luka?
Agar memutuskan segala yang ada di luar.

Sebab satu-satunya yang diinginkan cinta hanya Kekasih, bukan yang lain yang ada di luar sana.


Wednesday, October 24, 2018

Maqam Ridha, Maqam Taslim, dan Maqam Tauhid

A. Maqam Ridha

Adapun maqam ridha yang terkait dengan pencapaian maqam bagi seorang pesuluk adalah manusia berusaha semaksimal mungkin agar sampai pada satu tahap, bukan hanya memahami bahwa Tuhan telah ridha kepada dirinya, bahkan, sang pesuluk pun telah ridha pada Qadha dan Qadar Ilahi. Oleh sebab itu Ridha terbagi menjadi dua bagian;

1. Manusia berusaha semaksimal mungkin agar Tuhan ridha kepada dirinya yakni manusia berusaha semaksimal mungkin untuk menjalakan segala perintahnya dan menjauhi larangannya.

2. Manusia berusaha sedemikian rupa sehingga ridha terhadap Qadha dan Qadar Ilahi. Maksudnya, dia telah menerima apa pun yang Tuhan lakukan dan ridha atas perbuatan Tuhan.

Adapun pembagian pertama bisa dicapai dan diraih oleh setiap orang namun pada bagian kedua hanya bisa diraih oleh orang tertentu saja yang terus berusaha dalam perjalanan suluknya.

Kesadaran ini tercermin di dalam diri Rasulullah saw. Beliau tak pernah mengucapkan ‘jika seandainya’ terhadap apa yang telah terjadi. Oleh karena apa pun yang beliau lakukan sesuai dengan Qadha dan Qadar Ilahi.

Allah swt dalam surah al-Hadid : 23 menjelaskan hakikat Zuhud sebagai tangga agar manusia bisa sampai kepada maqam ridha, “tidak sedih atas apa yang hilang dari dirinya dan tidak bahagia atas apa yang datang pada dirinya”. Seseorang yang telah mencapai maqam ridha, urusan dunia tidak lagi mempengaruhi hatinya. Manusia telah ridha terhadap kedua kondisi tersebut yakni ridha terhadap perbuatan Tuhan. Keridhaan ini adalah hasil dari mahabbah dan mahabbah diperoleh dari makrifat.

Dalam surah al-Bayyinat:8 Allah swt berfirman, “. . . Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadaNya. Yang demikian itu adalah balasan bagi orang yang takut kepada Tuhannya”. Takut kepada Ilahi diperoleh dari makrifat sebagaimana dijelaskan dalam surah Fathir:28, “. . .Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah Ulama . . .”.

B. Maqam Taslim

Seorang pesuluk yang telah sampai kepada maqam ridha, masih menyisakan beberapa maqam selanjutnya. Dalam kata lain, maqam ridha adalah maqam yang masih berada di pertengahan jalan. Oleh karena pada maqam ridha masih terlihat ‘identitas’ seorang pesuluk. Sebab pada maqam ridha, pesuluk akan mengatakan, “saya menerima apa yang telah Tuhan tentukan”.

Apa yang telah dilakukan oleh Tuhan sesuai dengan keinginanku dan aku lakukan keinginanku sesuai dengan ketentuan Ilahi”.

Jika kita perhatikan dengan seksama, masih terlihat ‘keinginan’ dalam diri pesuluk dan hal ini tidak sesuai dalam mengarungi perjalanan selanjutnya yaitu perjalan meraih kesempurnaan. Sebab itu mesti berjalan ke tahapan berikutnya meraih maqam selanjutnya yang disebut dengan maqam taslim.

Dalam hal ini maqam taslim tentu berbeda dengan maqam tawakkal dan maqam ridha.  Pada maqam  tawakkal, pesuluk melihat dirinya memiliki satu persoalan, namun oleh karena dirinya tak mampu menyelesaikan persoalan itu dengan baik, maka dari itu, ia mencari seorang wakil dan mewakilkan kepadanya dalam persoalan tersebut. Dan oleh karena tak ada yang lebih baik dalam menyelesaikan suatu perbuatan kecuali Allah swt maka Allah swt adalah sebaik-baiknya wakil. Dan inilah alasannya mengapa kita mesti bertawakkal kepada Allah swt.

Adapun maqam ridha lebih tinggi dari maqam tawakkal sebab pada maqam tawakkal manusia menjadikan ‘keinginan dirinya’ sebagai hal yang esensi sehingga ia berharap kepada Tuhan agar Tuhan berbuat sesuai dengan keinginannya. Namun pada maqam ridha, ‘keinginan Tuhan’ adalah hal yang esensi sedangkan ‘keinginan hamba’ adalah cabang darinya.

Selanjutnya pada maqam taslim, seorang pesuluk tak lagi memiliki keinginan. Hati seorang pesuluk pada maqam ini telah ia serahkan sepenuhnya kepada Ilahi. Jika hati belum ia serahkan, tentu masih akan ada keinginan di dalam dirinya.

Akan tetapi hati yang telah diserahkan sepenuhnya kepada Ilahi,  orang itu tak lagi memiliki kehendak atau ikhtiyar. Dalam surah annisa:65 Allah swt berfirman, “. . . dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. Yakni semestinya manusia mengucapkan salam tidak hanya di mulut semata akan tetapi menjadi sebuah keyakinan bahwa manusia tak memiliki apa pun.

C. Maqam Tauhid

Meskipun maqam taslim lebih tinggi dari maqam tawakkal dan ridha akan tetapi bukan akhir dari perjalanan suluk. Karena seseorang yang masih menyerahkan dirinya kepada Ilahi berarti menunjukkan bahwa ia menganggap dirinya masih ada dan masih mengakui pemilik atas dirinya.

Sebab itu maqam yang lebih tinggi dari maqam taslim yaitu meyakini bahwa ia bukan pemilik atas dirinya sehingga tak ada sesuatu yang mesti dia serahkan kepada Ilahi. Pada saat itu pesuluk akan memahami dengan baik bahwa segala sesuatu bukan lagi milik dirinya. hidup dan mati serta keuntungan dan kerugian bahkan kebangkitan bukan lagi milliki dirinya.

Dalam surah Yunus:31 Allah swt berfirman, “. . . Siapakah pemilik pendengaran dan penglihatan? . . .”. Dalam ayat ini, pendengaran dan penglihatan diangkat sebagai salah satu contoh, sebab seluruh fakultas yang ada di dalam diri kita tentu milik Ilahi. Bahkan eksistensi atau keberadaan pun bukan milik kita.

Jika kesadaran manusia telah sampai pada derajat ini, selanjutnya ia harus berjalan dan beralih kepada maqam berikutnya.

Tak ada seorang pun yang mampu mengklaim bahwa tubuh dan anggota tubuhnya adalah milik dirinya. Sebab tak ada seorang pun yang mampu menjamin keberadaan dirinya, misalnya mungkin saja saat dia sedang mengambil keputusan, kekuatan yang ada pada dirinya sirna. Contoh yang lain, misalnya gelas yang ada ditangannya yang terisi air, mungkin saja sebelum diminum, nyawanya direnggut.

Maqam tauhid akan memberikan kesadaran kepada pesuluk bahwa segala sesuatu milik Ilahi dan eksistensi segala sesuatu milik Ilahi. Meskipun maqam taslim adalah maqam kesempurnaan akan tetapi bukan maqam puncak kesempurnaan.

Pada saat itu manusia mesti taubat dari maqam taslimnya untuk sampai kepada puncak kesempurnaan. Alquran dalam surah Muhammad:19 menjelaskan, “maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan”. 

Sunday, October 21, 2018

Akankah kondisi negara menjadi lebih baik jika diserahkan pada orang-orang ahli?

Saat pemilu tiba dan tiba waktunya memberikan suara kepada kandidat, harus disadari bahwa dalam demokrasi, tak ada perbedaan antara suara seorang ilmuan dan orang awam. Memang terlihat paradoks, tapi bukan suatu kesalahan. Meskipun seorang ilmuan, lebih paham tentang kondisi negara daripada orang awam.

Kalau disadari, demokrasi sudah bukan lagi esensi kita saat ini. Demokrasi adalah produk masa lalu tapi seolah kita sudah tak punya kuasa mengubahnya. Demokrasi yang ada saat ini tak lebih hanya sebuah sistem kekuasaan dimana semua orang dilibatkan secara massif untuk mendapatkannya.

Akhir-akhir ini, sudah banyak ilmuan yang meragukan esensi demokrasi. Arah demokrasi hampir tak mungkin diprediksi. Bahkan hasil dari demokrasi bagi sebagian orang, amat menakutkan. Terpilihnya Trump dan melonjaknya fenomena populisme dianggap sebagai puncak dari kegagalan demokrasi.

Salah satu teori yang ditawarkan untuk mengganti sistem demokrasi adalah epistokrasi. Sistem politik ala epistokrasi adalah suatu sistem kekuasaan yang bersandar kepada para ilmuan dan pemikir. Arah epistokrasi amat jauh berbeda dengan arah demokrasi.

Epistokrasi berlandaskan kepada pengetahuan. Mereka mengatakan, dalam menggunakan hak suara dalam kontes pemilihan untuk menentukan arah kebijakan politik, sangat bergantung kepada, sejauh mana anda mengetahui apa yang sedang anda lakukan. Apakah anda benar-benar memahami dengan baik, pilihan yang anda pilih?

Sementara dalam demokrasi, pengetahuan itu tidak begitu penting. Itu sebabnya, satu-satunya kriteria keikutsertaan dalam pemilu ala demokrasi adalah usia. Jenjang pendidikan bukan kriteria utama dalam memberikan hak suara.

Plato adalah tokoh yang pertama kali memberikan kritik atas gagasan demokrasi. Bagi Plato, demokrasi bermakna pelimpahan kekuasaan kepada orang-orang awam.

Namun hal tersebut tidak berarti bahwa pada saat yang sama, para pendukung demokrasi merelakan dirinya dikontrol oleh orang-orang awam. Tak seorang pun yang rela yang secara sadar meyakini bahwa keawaman dan kebodohan adalah suatu bentuk keagungan.

Di sisi lain, harus diakui bahwa dalam demokrasi, tidak dibedakan antara ilmuan dan orang awam. Kecerdasan dan kekuatan dalam menganalisa persoalan yang pelik, dalam sistem demokrasi, tidak menjadi hal yang sangat penting dan utama.

Sebab itu, patut untuk kita renungkan, beberapa pertanyaan penting yang diajukan oleh epistokrasi atas gagasan demokrasi, Mengapa hak perlakuan istimewa tidak bersandar pada pengetahuan? Apa yang menjadi kriteria utama dalam memberikan hak suara kepada semua orang? Bukankah akan lebih baik jika semua orang bersandar kepada pengetahuan daripada mengulang-ulang terus kesalahan? Jika kita mampu memprediksi kegagalan-kegagalan demokrasi, mengapa kita tidak menghindarinya sejak awal? Apalagi para pengusung demokrasi sendiri tak mampu menjawab, siapa yang akan bertanggungjawab dari kegagalan berdemokrasi?

Saturday, October 20, 2018

Pemikir dalam Penjara Ideologi


            Saya salah seorang dari mereka yang meyakini bahwa proposisi filsafat tidak perlu dibandingkan dengan proposisi politik dan sains. Persoalan dan metodologi yang digunakan dalam mengurai persoalan diantara ketiga bidang studi tersebut berbeda dan tidak sama. Proposisi filsafat dan proposisi politik, serta proposisi sains tidak berada dalam satu atap dan tidak berada dalam satu payung sehingga tak bijak membandingkan diantara ketiganya dan saling mengkontraskan diantara ketiga pemahaman tersebut.

            Filsafat adalah ruang independensi dalam melihat suatu persoalan. Filsafat tidak berbicara tentang keuntungan, tidak berbicara tentang maslahat, dan tidak berbicara tentang tujuan dari segala pembicaraan. Namun sangat dimungkinkan dominasi pemikiran ideologi dalam diri seseorang yang akan mengarahkan secara otomatis arah gerak pemikiran filsafatnya.

            Para pemikir, filosof, penyair, dan sufi, sudah semestinya tidak mengikuti keinginan-keinginan politik dan sosial. Bukan berarti mereka tidak peduli terhadap realitas sosial dan tidak peduli terhadap apa yang sedang terjadi. Namun ada ilustrasi dan contoh yang sangat menarik, coba perhatikan gagasan Maulana Rumi atau Hafez. Keagungan dan kemuliaan Rumi dan Hafez pada bait-bait syairnya dan di dalam bait-bait syair merekalah akan terlihat relasi-relasi sosial dan budaya yang begitu agung. Tapi sejak awal Maulana Rumi dan Hafez tidak berbicara dalam konteks realitas sosial.

            Sebaiknya kita tidak mencampuradukkan antara pemikiran dan kecendrungan personal seseorang terhadap fenomena sosial dan politik yang terjadi. Kaidah-kaidah berpikir tidak sama dengan bentuk personal kehidupan seseorang. Jika kita mencoba mencampuradukkan persoalan ini akibatnya pemikiranlah yang akan mengikuti kecendrungan masyarakat dan mengikuti kecendrungan mayoritas. Jika para pemikir, penyair, dan filosof meninggalkan pekerjaan berpikir, dan hanya mencari kecendrungan atas apa yang baik sebagaimana yang dipahami oleh kaum mayoritas, maka pada saat itu mereka tidak lagi mencari kebaikan-kebaikan dan bahkan pondasi kebaikan-kebaikan telah mereka rubuhkan terlebih dahulu. Jika ini terjadi, seketika pemikir tersebut menjadi manusia yang paling awam. Sebab dirinya tidak lagi berkhidmat kepada kebaikan-kebaikan akan tetapi menjadi pelayan kepentingan-kepentingan orang lain.

            Sebaiknya kita menganalisa kembali ketika Karl Marx mengatakan, ‘para filosof selama ini hanya menafsirkan dunia, namun sekarang ini sudah saatnya mengubah dunia’. Sebagian menafsirkan perkataan Marx dengan menyimpulkan, pikiran sudah cukup, sudah saatnya beraksi. Namun yang paling mengkhawatirkan dan orang-orang lupa bahwa melakukan aksi atau amal tanpa berpikir terlebih dahulu adalah satu bentuk kekonyolan tersendiri. Mungkin ada yang menjawab, ‘maksud dari kalimat Marx, suatu pemikiran seharusnya memberikan dampak praktis terhadap realitas eksternal, bukan pemikiran yang hanya berada dalam konteks pemikiran semata’.

            Di sini perlu ditegaskan bahwa kita tidak sedang membicarakan penafian atas aspek praktis, bahkan tak perlu mengkhwatirkan hal tersebut yakni tidak perlu merancang sejak awal seperti apa konsekwensi atau aspek praktis dari sebuah pemikiran. Oleh karena pemikiran itu sendiri yang akan mengarahkan dan menjelaskan konsekwensinya seperti apa aspek praktis dari pemikiran tersebut.

            Kondisi ini akan nampak berbeda jika sejak awal, arah dan tujuan telah ditentukan, kemudian berdasarkan arah dan tujuan tersebut, pemikiran mulai disusun secara sistematis. Lalu kemudian mereka akan mengatakan, pemikiran adalah kesesuaian antara teori dengan praktek atau tujuan. Namun jika mencoba menganalisa secara mendalam, orang tersebut sebenarnya tidak sedang melakukan aktivitas pemikiran, tapi sedang mengambil peran sebagai seorang ideolog.

            Tugas pemikir adalah memikirkan persoalan-persoalan secara global dan universal. Pemikir sejak awal tidak pernah menuntut apa yang diperoleh dan apa yang menguntungkan dirinya. Dan juga tak pernah menentukan akan kemanakah arahnya. Pemikir datang bukan untuk menjadi pelayan atas komunitas manapun. Pemikir datang hanya untuk menciptakan kekhawatiran dan kecemasan agar kejumudan luluh dan kemuliaan fatamorgana sirna.