Saya
salah seorang dari mereka yang meyakini bahwa proposisi filsafat tidak perlu
dibandingkan dengan proposisi politik dan sains. Persoalan dan metodologi yang
digunakan dalam mengurai persoalan diantara ketiga bidang studi tersebut
berbeda dan tidak sama. Proposisi filsafat dan proposisi politik, serta
proposisi sains tidak berada dalam satu atap dan tidak berada dalam satu payung
sehingga tak bijak membandingkan diantara ketiganya dan saling mengkontraskan
diantara ketiga pemahaman tersebut.
Filsafat
adalah ruang independensi dalam melihat suatu persoalan. Filsafat tidak
berbicara tentang keuntungan, tidak berbicara tentang maslahat, dan tidak
berbicara tentang tujuan dari segala pembicaraan. Namun sangat dimungkinkan
dominasi pemikiran ideologi dalam diri seseorang yang akan mengarahkan secara
otomatis arah gerak pemikiran filsafatnya.
Para
pemikir, filosof, penyair, dan sufi, sudah semestinya tidak mengikuti
keinginan-keinginan politik dan sosial. Bukan berarti mereka tidak peduli
terhadap realitas sosial dan tidak peduli terhadap apa yang sedang terjadi.
Namun ada ilustrasi dan contoh yang sangat menarik, coba perhatikan gagasan
Maulana Rumi atau Hafez. Keagungan dan kemuliaan Rumi dan Hafez pada bait-bait
syairnya dan di dalam bait-bait syair merekalah akan terlihat relasi-relasi
sosial dan budaya yang begitu agung. Tapi sejak awal Maulana Rumi dan Hafez
tidak berbicara dalam konteks realitas sosial.
Sebaiknya
kita tidak mencampuradukkan antara pemikiran dan kecendrungan personal seseorang
terhadap fenomena sosial dan politik yang terjadi. Kaidah-kaidah berpikir tidak
sama dengan bentuk personal kehidupan seseorang. Jika kita mencoba
mencampuradukkan persoalan ini akibatnya pemikiranlah yang akan mengikuti kecendrungan
masyarakat dan mengikuti kecendrungan mayoritas. Jika para pemikir, penyair,
dan filosof meninggalkan pekerjaan berpikir, dan hanya mencari kecendrungan
atas apa yang baik sebagaimana yang dipahami oleh kaum mayoritas, maka pada
saat itu mereka tidak lagi mencari kebaikan-kebaikan dan bahkan pondasi
kebaikan-kebaikan telah mereka rubuhkan terlebih dahulu. Jika ini terjadi,
seketika pemikir tersebut menjadi manusia yang paling awam. Sebab dirinya tidak
lagi berkhidmat kepada kebaikan-kebaikan akan tetapi menjadi pelayan
kepentingan-kepentingan orang lain.
Sebaiknya
kita menganalisa kembali ketika Karl Marx mengatakan, ‘para filosof selama ini
hanya menafsirkan dunia, namun sekarang ini sudah saatnya mengubah dunia’.
Sebagian menafsirkan perkataan Marx dengan menyimpulkan, pikiran sudah cukup,
sudah saatnya beraksi. Namun yang paling mengkhawatirkan dan orang-orang lupa
bahwa melakukan aksi atau amal tanpa berpikir terlebih dahulu adalah satu
bentuk kekonyolan tersendiri. Mungkin ada yang menjawab, ‘maksud dari kalimat
Marx, suatu pemikiran seharusnya memberikan dampak praktis terhadap realitas
eksternal, bukan pemikiran yang hanya berada dalam konteks pemikiran semata’.
Di sini
perlu ditegaskan bahwa kita tidak sedang membicarakan penafian atas aspek
praktis, bahkan tak perlu mengkhwatirkan hal tersebut yakni tidak perlu
merancang sejak awal seperti apa konsekwensi atau aspek praktis dari sebuah
pemikiran. Oleh karena pemikiran itu sendiri yang akan mengarahkan dan
menjelaskan konsekwensinya seperti apa aspek praktis dari pemikiran tersebut.
Kondisi
ini akan nampak berbeda jika sejak awal, arah dan tujuan telah ditentukan,
kemudian berdasarkan arah dan tujuan tersebut, pemikiran mulai disusun secara
sistematis. Lalu kemudian mereka akan mengatakan, pemikiran adalah kesesuaian
antara teori dengan praktek atau tujuan. Namun jika mencoba menganalisa secara
mendalam, orang tersebut sebenarnya tidak sedang melakukan aktivitas pemikiran,
tapi sedang mengambil peran sebagai seorang ideolog.
Tugas
pemikir adalah memikirkan persoalan-persoalan secara global dan universal.
Pemikir sejak awal tidak pernah menuntut apa yang diperoleh dan apa yang
menguntungkan dirinya. Dan juga tak pernah menentukan akan kemanakah arahnya. Pemikir
datang bukan untuk menjadi pelayan atas komunitas manapun. Pemikir datang hanya
untuk menciptakan kekhawatiran dan kecemasan agar kejumudan luluh dan kemuliaan
fatamorgana sirna.