Tuesday, April 3, 2018

Bahasa Satire yang Gagal adalah Bahasa Nyinyir


Tapi memang ada benarnya, tak mudah membuat rangkaian bahasa satire dan tak mudah pula memahami satire. Bagi sebagian orang, pemaknaan yang mendalam akan lebih nyaman jika terekspresikan dalam bahasa satire. Selain memiliki makna ganda namun bisa menyembunyikan makna mendalam dengan sangat indah. Dan yang lebih penting, bisa mengeritik seseorang atau suatu pemikiran tanpa mereka sadari.

Bagi mereka yang senang membaca karya-karya Nietzsche, Kafka, Sartre, Syariati, dan Bukowski, pasti sangat akrab dengan gaya bahasa satire. Gaya bahasa yang menohok namun tetap indah dan memiliki kedalaman makna yang sangat dalam.

Namun jika sejak awal hanya berniat ingin membuat gaduh dan kegaduhan. Tak perlu bahasa mendalam apalagi lagi satire, akan lebih tepat jika menggunakan bahasa nyinyir. Seperti perpolitikan kita saat ini, di ruang-ruang sosial media seolah hanya mampu menghasilkan bahasa nyinyir. bahkan hampir di setiap perdebatan politik akan berakhir di sosial media dengan saling nyinyir.

Saya bersyukur punya banyak kawan dari berbagai kalangan dan ragam pemikiran. Dari yang paling kiri hingga paling kanan dan yang mengaku berada di tengah-tengah yang terkadang condong ke kanan atau ke kiri.

Diantara mereka ada yang berjilbab, tak berjilbab, bercadar, dan yang bebas sekali pun. Mereka semua orang-orang baik. Tak pernah melakukan korupsi, mencaci, mencibir, apalagi menghardik. Dan tak pernah menyinyir keyakinan seseorang atau minimal mereka tak pernah menuliskannya dalam bentuk puisi dan membacakannya di depan publik.

Jadi saya sudah bisa berdamai dengan perbedaan. Menghormati setiap keyakinan seseorang. Menyadari tak ada satu pun tempat di dunia ini yang hanya terisi satu bentuk pemikiran saja. Kecuali mereka yang suka memenjarakan pemikiran seseorang. Mereka akan memaksakan satu bentuk pemikiran pada semua orang.

Pasti ada pesan yang ingin disampaikan dibalik setiap bahasa, apalagi bahasa satire. Pesan yang hendak disampaikan pada seseorang atau golongan tertentu. Namun kesalahan dalam pilihan diksi dan pengalaman atas makna diksi yang tidak menyeluruh akan menjebak kita dalam keluasan makna. Akibatnya bukan hanya tidak tepat sasaran tapi hanya membuat kegaduhan semakin luas.

Puisi satire yang gagal akan berubah menjadi bahasa nyinyir. Jadi tak perlu heran jika puisi tersebut akan menuai nyinyiran dari semua kalangan. Apalagi di era revolusi teknologi kedua yang akan memudahkan setiap orang berbuat nyinyir kapan saja dan semaunya.

Mungkin karena hampir setiap orang tak ingin ketinggalan momen meskipun terkadang momennya sudah ketinggalan. Hampir setiap orang ingin cepat-cepat memposting sesuatu agar tidak ketinggalan momen. Tanpa pernah berpikir dampak kegaduhannya. Kecuali tujuan satu-satunya puisi itu hanya untuk berbuat kegaduhan.

Tapi mungkin benar kata Schopenhauer, “orang-orang buas saling memangsa satu sama lain, sedangkan orang-orang yang mengaku beradab saling menipu”.

 

Saturday, March 31, 2018

Film The LunchBox: Merayakan Kesendirian

Kami dari Rumi Institute mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Mas Budhy dan Mas Yudhi yang sudah berkenan berbagi makna-makna baru dalam kehidupan “Dabbawalla”, rantang makan siang. Bahwa dalam menjalani dan menyelami rutinitas seluruh aktifitas kehidupan pasti akan terhubungkan dengan “Dabbawalla”.

Jadi apa simbol rangtang dalam film ini?

Saya selalu bertanya-tanya mengapa Fernandes sangat susah tersenyum dan sangat dingin dalam menyapa orang-orang disekitarnya. Menjawab seadanya dan apa adanya. Hampir tak pernah menyelimuti dirinya dengan kebahagiaan. Tatapan sorot matanya yang tajam selalu membawanya ke dalam samudera keindahan derita kesunyian dan kesendirian.

Ternyata Fernandes telah lama kehilangan orang-orang yang dicintainya. Terkadang kehilangan bisa menenggelamkan kita dalam derita yang berlarut-larut. Khususnya suatu bentuk kehilangan yang akan menyebabkan kita kehilangan makna hidup.

Namun kesendirian dan kesunyian Fernandes tiba-tiba sirna ketika rantang Illa datang menyapa kesunyiannya. Illa selalu mengisi rantang itu dengan menu khusus untuk makan siang yang sebetulnya diperuntukkan untuk suaminya. Tapi si pembawa rantang tanpa sengaja menukarkan rantang itu ke orang lain, Fernandes.

Kesalahan tanpa sengaja yakni ketertukaran tanpa sengaja di dalam film ini menjadi simbol yang sangat kuat, “kereta yang salah bisa membawamu menuju stasiun yang benar”, pesan ini selalu muncul tiap kali film ini akan mencapai klimaks.

Illa memiliki derita yang sama dengan Fernandes. Illa pun sedang mengalami derita kesunyian, namun bukan karena kehilangan, justru oleh kehadiran. Kehadiran dirinya dalam keluarganya sudah tak ada bedanya dengan ketidakhadirannya. Kata, tutur, tawa, dan senyum untuk keluarganya seperti angin sepoi-sepoi yang selalu menyapa dengan kelembutan namun mendapat tanggapan yang sangat dingin.

Akhirnya Illa membiarkan rantang itu tertukar sebab “kereta yang salah bisa membawamu menuju stasiun yang benar”. Illa pun mendapat kehidupan baru dari rantang tertukar. Illa dan Fernandes akhirnya berkomunikasi melalui tulisan yang dioret-oret di atas sepucuk kertas yang diselipkan ke dalam rantang.

Jadi rantang adalah hati. Hati yang selalu diisi dengan keindahan, akan memberikan warna keindahan dan menyapa setiap orang dengan keindahannya. Mereka berdua dipertemukan dalam kesendirian melalui keindahan hati yang tulus dan polos.

Tapi memang benar, akhir film ini menitipkan sebuah pesan utama bagi ummat manusia yaitu merayakan kesendirian. Dari kesendirian menuju kesendirian yang lain. Proses yang sedang berlangsung diantara keduanya adalah proses memaknai kesendirian diri yang paling sendiri.

Jika kita gagal memaknai kesendirian kita yang paling sunyi berarti kita gagal memaknai kesejatian diri. Tiap-tiap dari kita adalah orang-orang yang sedang berada di atas kereta. Sebelum naik kereta kita sendiri dan saat turun pun, kita tetap sendiri dan menapaki jalan kesendirian diri kita yang paling sendiri. Dan setiap orang seharusnya sudah tahu di stasiun mana dia akan turun.

Kesendirian bukan tragedi, namun kegagalan dalam memaknai kesendirian adalah tragedi besar bagi ummat manusia moderen saat ini.

Kata Maulana Rumi:

Duhai jiwa!
Aku merindukanmu!
Kemanapun daku beranjak!
Seolah aku selalu membawa dirimu!
Walau hanya mengingatmu dan kesendirian.

Akhirnya, kami ucapkan terima kasih yang tak terhingga buat teman-teman semua yang sudah menyiapkan waktunya bersedia hadir di Rumi Institute tadi malam.

    

Tuesday, March 27, 2018

"Pengalaman Spiritual dalam Agama"

Sebenarnya apa esensi agama? Kita tidak akan menemukan jawaban yang sama atas pertanyaan ini, bahkan boleh jadi bagi setiap penganut agama akan memberikan jawaban yang berbeda, semuanya sangat bergantung kepada sejauh mana pengalaman kita terhadap agama.

Namun bagi para pesuluk atau para pejalan spiritual, esensi agama adalah pengalaman dan mengalami tentang aspek ke-Ilahiyah-an (transenden).

Berkenaan dengan pejalan, Ibn Arabi mengatakan, ada dua jenis pejalan, mereka yang diperjalankan oleh Tuhan dan mereka yang berjalan sendiri menuju Tuhan.

Ada pejalan yang sejak awal Tuhan telah menarik tangannya menuju diriNya dan ada pejalan yang bergerak sendiri menuju Tuhan.

Secara umum pengalaman ini terbagi menjadi dua bagian; pengalaman agama dan pengalaman spiritual.

Pengalaman spiritual sudah pasti menjadi bagian dari pengalaman agama, namun pengalaman agama belum tentu menjadi pengalaman spiritual.

Lalu apa yang dimaksud dengan pengalaman Spiritual?

Menurut Rudolf Otto, pengalaman spiritual adalah suatu pengalaman yang di dalam pengalaman itu terdapat aspek penyatuan dengan Tuhan.

Perjalanan spiritual adalah perjalanan di dalam diri. Proses perjalanan ini pada umumnya terbagi menjadi tiga bagian; Tahzib (proses pengoyakan diri), lalu Isyraq (emanasi), hinga sampai pada Wishal atau penyatuan dengan Tuhan.

lalu bagaimana kita bisa sampai kepada Ilahi melalui diri?

Man Arafa Nafsah, Arafa Rabbah. Siapa yang mengenal dirinya mengenal Tuhannya. Hadits ini senada dengan salah satu ayat Quran;

(وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ . . .
[Surat Al-Hashr 19]

(Al-Ĥashr):19 - Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri . . .

Lupa Tuhan berarti lupa terhadap diri, bukan lupa diri berarti lupa terhadap Tuhan. Mungkin logika kita selama ini mengatakan bahwa jika lupa terhadap diri berarti lupa terhadap Tuhan, namun logika Al-Quran justru sebaliknya, lupa Tuhan berarti lupa terhadap diri.

Pengalaman tentang penyatuan bagi para sufi, bukan pengalaman yang bisa dicapai dengan nalar, sebab pengalaman tentang penyatuan adalah suatu pengalaman dimana si penyimak telah sirna di dalam objek yang disimak.

Ada kalimat Ibn Arabi yang sangat menarik, "Tuhan tidak seperti sesuatu, dan sesuatu tidak seperti Tuhan, lalu bagaimana mungkin manusia yang juga bagian dari sesuatu mampu mengetahui Tuhan dimana Tuhan bukan sesuatu dan juga sesuatu bukan Tuhan?"

Kata Ibn Arabi, tak ada jalan lain kecuali meniadakan diri dimana pada saat itu tidak ada lagi yang bisa disebut sebagai sesuatu sebab telah sirna atau fana di dalam Dzat Ilahi.

(يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ)
[Surat Fatir 15]

Hai Manusia, kalian semua faqir menuju Allah. Dan Dialah Allah Yang MahaKaya lagi MahaTerpuji.

Dalam hal ini, Quran menegaskan bahwa wujud manusia adalah wujud faqir yaitu suatu keberadaan yang senantiasa bergantung pada Ilahi. Bahkan lebih dari itu, bukan wujud yang bergantung namun kebergantungan itu sendiri. Apa maksud kebergantungan itu sendiri ?

Maksudnya, wujud faqir tak memiliki independensi wujud sama sekali, satu-satunya yang dimiliki adalah kefaqiran eksistensi. Kita tak bisa mengatakan bahwa diri kita 'ada' dimana diri kita ini bergantung. Namun yang bisa kita katakan bahwa diri kita adalah kebergantungan itu sendiri, bukan 'ada' yang bergantung pada sesuatu yang menunjukkan suatu independensi eksistensi pada diri kita.

Terakhir saya menutup diskusi kita dengan mengutip syair indah dari Maulana Rumi;

"Ada sebentuk kehidupan yang bersemayam dalam dirimu, temukanlah kehidupan itu.
Temukan permata rahasia itu di pegunungan dalam ragamu.
Wahai engkau yang sedang berlalu-lalang, carilah dengan sekuat daya upaya.
Apapun yang sedang engkau cari, carilah di dalam dirimu, bukan di luar".

"Jika ada cahaya di dalam dirimu, kau akan tahu jalan pulang".

Monday, March 26, 2018

"Realpolitik; Serius Gak Serius"

Serius gak serius. Yah santai saja. Sebab kita semua merayakannya. Setiap orang merayakan kepentingannya.

Realpolitik tidak ditemukan di buku-buku politik, di bangku-bangku kuliah, apalagi di perpustakaan. Realpolitik adalah politik yang sebenar-benarnya politik. Saking benarnya sehingga tak pernah menguap di permukaan kecuali di sudut-sudut warung kopi.

Jadi mengapa kita mesti begitu serius dengan perubahan-perubahan politik yang terjadi!? Toh 'dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat' tak pernah terjadi, sebab di warung kopi maknanya berubah menjadi 'dari rakyat oleh rakyat untuk juragan'. Kita kan memaklumi jika setiap kelompok memperjuangkan kelompoknya masing-masing. Setiap kelompok akan berjuang dan membela juragannya.

Sebenarnya apa yang sedang terjadi? Realpolitik sekarang ini tidak butuh orang yang pintar-pintar amat untuk meraih kursi politik. Dalam kata lain, setiap orang berpotensi meraih kursi politik, siapa pun dia. Sudah tidak ada bedanya antara orang pintar dan orang yang tidak berpengetahuan dalam meraih kursi politik. Dan itu semua dilakukan atas nama demokrasi. Kita tak perlu sibuk dengan hasilnya yang penting prosesnya berjalan. 'Yo wes sakkarepmu', 'ero'-ero'nu, mau-maunu, terserah, bodoh amat.

Jadi tak perlu terlalu serius sebab semua orang sedang mengurus kepentingannya sendiri. Negara sibuk dengan sistemnya sendiri, petani sibuk dengan problemnya sendiri, dan orang-orang di warung kopi juga sibuk berdiskusi dengan dirinya sendiri. Dan inilah salah satu bagian dari realpolitik yakni bertemu secara langsung dalam mengatasi masalah, bukan perwakilan. Orang-orang berdiskusi menyelesaikan masalahnya sendiri di warung kopi, petani bertemu sesama petani, dan negara bertemu dengan jajaran para aparatur negara dalam menyelesaikan persoalannya.

Ketidakseriusan menjadi satu-satunya hal yang paling serius. Dan keseriusan  menjadi hal yang tidak serius. Sebab perubahan ke depan sudah tidak dapat diprediksi seperti apa bentuknya.

Realpolitik adalah petanda bahwa politik sudah mati sebab politik sudah berubah menjadi konspirasi.  Dan konspirasi adalah cara memainkan apa saja dalam meraih kemenangan. Dalam politik masih ada peluang berbicara tentang etika politik namun dalam konspirasi hanya berbicara tentang kemenangan sebab etika politik menjadi penghalang utama dalam melakukan konspirasi.

Tulisan ini terinspirasi dari juragan saya Mas Daniel dan Mas Anom sewaktu berdiskusi di CafeBook Baraya. Bogor.

Tuesday, March 20, 2018

Manakah yang Lebih Menakutkan antara Ke-sia-sia-an dan Kejahilan?


Emang apa untungnya berpikir dan menenggelamkan diri di dalam tafakkur selain ke-sia-sia-an? Tentu tafakkur tidak menggemukkan dan tidak menghilangkan lapar. Tafakkur hanya menyisakan derita. Meski demikian, ada hal yang perlu dipertimbangkan dalam esensi tafakkur atau berpikir sebab dalam tafakkur akan menyingkarkan kebodohan. Manusia yang memahami esensi tafakkur tidak akan terjebak dalam kejahilan.

Di sisi lain ada benarnya jika ada yang menganggap tafakkur adalah pekerjaan sia-sia, sebab tafakkur bukan pekerjaan. Tafakkur adalah keberanian untuk bertanya dan menggali pertanyaan, bukan keberanian dalam menyebarkan apa yang orang lain yakini dan pahami. Tafakkur memberikan kemerdekaan dalam memilih, sebab memilih tanpa bertanya dan tafakkur atasnya adalah kejahilan.

Ke-sia-sia-an bagi sebagian orang seperti memancing ikan atau melakukan hal yang tak berguna. Tapi kita tak pernah menganggap ke-sia-sia-an sebagai kejahilan. Jika ke-sia-sia-an adalah kejahilan berarti saat menggaruk wajah kita tanpa sengaja adalah bentuk kejahilan. Dan juga saat kita memandang lautan tanpa pemaknaan adalah kejahilan. Jika seperti ini pemaknaan kita atas kejahilan berarti kita benar-benar tak pernah tafakkur.

Namun yang manakah yang lebih menakutkan antara ke-sia-sia-an dan kejahilan?  Orang-orang jahil tak pernah bermaksud melakukan penipuan sebab melakukan penipuan membutuhkan pengetahuan, demikian pula, orang-orang jahil tak pernah bermaksud melakukan perbuatan yang salah. Namun saat mereka tidak senang kepada sesuatu, solusi yang ada di kepala mereka hanya menghancurkan orang-orang yang mereka anggap salah. Kekerasan dan kejahilan adalah dua hal yang tak terpisahkan.

Orang-orang jahil tak peduli benar dan salah atau maslahat dan tidak maslahat. Orang-orang jahil yang dimaksud disini tidak selamanya bermakna bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak mengenyam pendidikan, akan tetapi dapat juga diartikan sebagai orang-orang yang lemah dalam memahami kemaslahatan, kebenaran, dan hakikat, bahkan terkadang mereka adalah orang-orang tidak meletakkan posisinya dengan benar.

Bahkan boleh jadi orang-orang itu -di dalam dunia politik- mendapatkan tempat dan pengaruh yang luar biasa di tengah-tengah masyarakat, terutama dalam situasi demokrasi dimana uang menjadi segala-galanya dalam meraih kursi kemenangan. Dan kematangan berpikir seseorang tidak menjadi parameter utama. Tak heran jika ada tokoh intelektual yang menjual nilai intelektualitasnya demi kursi politik atau demi kekuasaan.

Jadi kita tidak sedang membicarakan orang-orang jahil yang lugu dengan seluruh kepolosannya, seperti tokoh Dostoyevsky. Dostoyevsky selalu menunjukkan kebodohannya namun kebodohan yang menyenangkan. Kejahilan yang menunjukkan kejujuran apa adanya, berani, bebas, dan merdeka. Bukan kejahilan seperti ini yang sedang kita bicarakan.
Di dunia ini memang sudah seperti itu adanya, ada yang jahil dan ada yang memiliki kesadaran. Zaman yang menyenangkan adalah zaman ketika orang-orang jahil sedikit dan orang-orang yang sadar mendominasi orang-orang jahil. Sedangkan zaman kejumudan adalah zaman ketika orang-orang jahil lebih banyak dan mampu mendominasi orang-orang yang memiliki kesadaran.

Akhir-akhir ini sudah teramat sering kita menyaksikan orang-orang yang sebelumnya kita sangka memiliki kesadaran, namun setelah beriringnya waktu dan kesempatan yang diraihnya, akhirnya menunjukkan bahwa orang itu benar-benar jahil. Bukan karena mereka tidak berpengetahuan atau tidak mengenyam pendidikan, akan tetapi mereka tidak memiliki kesadaran. Begitu mudah mereka mengingkari fakta atau begitu cepat mereka menilai tanpa meneliti terlebih dahulu.

Orang-orang jahil masa kini adalah jutsru didominasi oleh orang-orang yang berpengetahuan namun sudah tak memahami mana yang maslahat dan mana yang tidak maslahat, mana ruang nyata dan mana ruang virtual dan digital, mana ruang kebenaran dan mana ruang keselamatan, mana ruang kebenaran penafsiran dan ruang kebenaran absolut, mana ruang ‘ada’ dan ruang ‘diadakan’. Bukankah kejahilan lebih menakutkan daripada ke-sia-sia-an?!

Mungkin karena tafakkur tidak memberikan keuntungan sehingga dianggap sebagai ke-sia-sia-an. Umur pergi dan berlalu begitu saja tanpa menghasilkan apa-apa sebab kita sedang asyik bertafakkur. Walaupun satu sisi kita sangat memahami bahwa suatu peradaban tidak akan pernah maju jika tafakkur masih terpasung oleh egoisme kepentingan dan ideologi. Bukankah kejahilan lebih menakutkan daripada ke-sia-sia-an?!