Sebenarnya apa esensi agama? Kita tidak akan menemukan jawaban yang sama atas pertanyaan ini, bahkan boleh jadi bagi setiap penganut agama akan memberikan jawaban yang berbeda, semuanya sangat bergantung kepada sejauh mana pengalaman kita terhadap agama.
Namun bagi para pesuluk atau para pejalan spiritual, esensi agama adalah pengalaman dan mengalami tentang aspek ke-Ilahiyah-an (transenden).
Berkenaan dengan pejalan, Ibn Arabi mengatakan, ada dua jenis pejalan, mereka yang diperjalankan oleh Tuhan dan mereka yang berjalan sendiri menuju Tuhan.
Ada pejalan yang sejak awal Tuhan telah menarik tangannya menuju diriNya dan ada pejalan yang bergerak sendiri menuju Tuhan.
Secara umum pengalaman ini terbagi menjadi dua bagian; pengalaman agama dan pengalaman spiritual.
Pengalaman spiritual sudah pasti menjadi bagian dari pengalaman agama, namun pengalaman agama belum tentu menjadi pengalaman spiritual.
Lalu apa yang dimaksud dengan pengalaman Spiritual?
Menurut Rudolf Otto, pengalaman spiritual adalah suatu pengalaman yang di dalam pengalaman itu terdapat aspek penyatuan dengan Tuhan.
Perjalanan spiritual adalah perjalanan di dalam diri. Proses perjalanan ini pada umumnya terbagi menjadi tiga bagian; Tahzib (proses pengoyakan diri), lalu Isyraq (emanasi), hinga sampai pada Wishal atau penyatuan dengan Tuhan.
lalu bagaimana kita bisa sampai kepada Ilahi melalui diri?
Man Arafa Nafsah, Arafa Rabbah. Siapa yang mengenal dirinya mengenal Tuhannya. Hadits ini senada dengan salah satu ayat Quran;
(وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ . . .
[Surat Al-Hashr 19]
(Al-Ĥashr):19 - Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri . . .
Lupa Tuhan berarti lupa terhadap diri, bukan lupa diri berarti lupa terhadap Tuhan. Mungkin logika kita selama ini mengatakan bahwa jika lupa terhadap diri berarti lupa terhadap Tuhan, namun logika Al-Quran justru sebaliknya, lupa Tuhan berarti lupa terhadap diri.
Pengalaman tentang penyatuan bagi para sufi, bukan pengalaman yang bisa dicapai dengan nalar, sebab pengalaman tentang penyatuan adalah suatu pengalaman dimana si penyimak telah sirna di dalam objek yang disimak.
Ada kalimat Ibn Arabi yang sangat menarik, "Tuhan tidak seperti sesuatu, dan sesuatu tidak seperti Tuhan, lalu bagaimana mungkin manusia yang juga bagian dari sesuatu mampu mengetahui Tuhan dimana Tuhan bukan sesuatu dan juga sesuatu bukan Tuhan?"
Kata Ibn Arabi, tak ada jalan lain kecuali meniadakan diri dimana pada saat itu tidak ada lagi yang bisa disebut sebagai sesuatu sebab telah sirna atau fana di dalam Dzat Ilahi.
(يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ)
[Surat Fatir 15]
Hai Manusia, kalian semua faqir menuju Allah. Dan Dialah Allah Yang MahaKaya lagi MahaTerpuji.
Dalam hal ini, Quran menegaskan bahwa wujud manusia adalah wujud faqir yaitu suatu keberadaan yang senantiasa bergantung pada Ilahi. Bahkan lebih dari itu, bukan wujud yang bergantung namun kebergantungan itu sendiri. Apa maksud kebergantungan itu sendiri ?
Maksudnya, wujud faqir tak memiliki independensi wujud sama sekali, satu-satunya yang dimiliki adalah kefaqiran eksistensi. Kita tak bisa mengatakan bahwa diri kita 'ada' dimana diri kita ini bergantung. Namun yang bisa kita katakan bahwa diri kita adalah kebergantungan itu sendiri, bukan 'ada' yang bergantung pada sesuatu yang menunjukkan suatu independensi eksistensi pada diri kita.
Terakhir saya menutup diskusi kita dengan mengutip syair indah dari Maulana Rumi;
"Ada sebentuk kehidupan yang bersemayam dalam dirimu, temukanlah kehidupan itu.
Temukan permata rahasia itu di pegunungan dalam ragamu.
Wahai engkau yang sedang berlalu-lalang, carilah dengan sekuat daya upaya.
Apapun yang sedang engkau cari, carilah di dalam dirimu, bukan di luar".
"Jika ada cahaya di dalam dirimu, kau akan tahu jalan pulang".