Monday, August 17, 2015
Apakah Heidegger seorang mistis (sufi)?
Sunday, August 16, 2015
Heidegger dan Kematian
Friday, August 14, 2015
Apakah Hakikat itu ada?
Jika hakikat itu ada apakah pengetahuan dapat menjangkaunya? Tak ada jalan lain kecuali memulainya dengan ilmu huduri (kehadiran). Setiap persepsi dan 'subjek yang mempersepsi', dilihat dari sisi bahwa ia mempersepsi dirinya sendiri, maka sebenarnya ia memperoleh suatu hakikat yaitu hakikat dirinya sebab persepsi adalah hakikat dan wujud itu sendiri. Pengetahuan dan 'objek yang diketahui' dalam hal ini adalah satu dimana wujud dan 'persepsi ilmu huduri' tak terpisah, tak berbeda, dan tak berbilang sehingga tak bisa dikatakan diantara keduanya ada yang lebih dahulu dari yang lain sebagaimana yang terlihat dalam gagasan Descartes, 'aku berpikir maka aku ada' dimana berpikir atau persepsi mendahului eksistensinya.
Perbedaan antara pikiran dan eksistensi adalah pada konsep dimana konsep terkait dengan pengetahuan husuli (korespondensi). Oleh karena itu, sebagian dari pengetahuan dan realitas atau hakikat wujud tak mungkin diragukan. Berdasarkan hal ini pula, jika kita bisa menemukan hakikat eksistensi (meskipun sebagian dari eksistensi dan bahkan hanya diri kita saja) maka kita mampu keluar dari problem skeptisisme absolut. Pondasi argumentasi gagasan ini begitu kokoh sehingga tak mungkin ada yang meragukannya.
Disinilah rahasianya mengapa pembahasan filsafat selalu diawali dengan 'wujud'. Hal lain yang perlu dipahami bahwa apa yang ditemukan melalui ilmu huduri adalah wujud atau hakikat eksistensi dimana wujud lebih dahulu dari segala bentuk persepsi. Namun 'persepsi konsep wujud' tentu tahapannya lebih terakhir.
Thursday, August 13, 2015
Fenomenologi Instagram
Mungkin sebagian dari kita masih ingat, dahulu betapa susahnya mendapatkan sebuah gambar foto dari kamera. Mengabadikan kenangan melalui kamera waktu itu tidak mudah. Prosesnya cukup melelahkan dan meraup kocek yang tidak sedikit. Mungkin masih ingat 'klise foto' yang dimasukkan ke dalam kamera. Klise foto berfungsi merekam gambar melalui pemotretan kamera. Setelah melakukan pemotretan, hasil gambarnya tak dapat langsung dinikmati. Klisenya mesti 'dicuci' terlebih dahulu. Terkadang ada klise foto yang terbakar atau tidak menghasilkan gambar sama sekali.
Sewaktu zaman klise foto, biasanya tak semua momen diabadikan sebab mesti menghemat klise foto. Setiap pemotretan berarti mengurangi jumlah batasan klise foto yg ditentukan. Oleh karenanya, pada saat itu foto tak berlaku untuk semua khalayak dan juga tak mudah ditemukan disemua tempat.
Era digital telah merubah hal yang sulit menjadi mudah. Cukup dengan telpon genggam, sebuah gambar bisa diabadikan dengan cepat. Bukan hanya itu, pada saat yang sama teman-teman kita bisa langsung menikmati gambar yang baru saja terekam dengan mensharenya melalui jaringan medsos; instagram, fb, twitter, G+, dan lainnya. Intinya, selfie dengan segala tujuan yang ada dibaliknya menjadi bagian dari kehidupan keseharian kita. Dalam kata lain, gambar atau foto telah menjadi satu bentuk bahasa dialogis tanpa bahasa. Lalu Bagaimana kita memahami suatu bentuk kehidupan yang dipenuhi dengan berbagai gambar? Instagram menawarkan satu bentuk baru kehidupan yaitu mampu memberikan setiap saat gambar baru dari kehidupan kita. Kira-kira apa rahasia instagram mengapa begitu diminati?
1. Foto selfie; individualis subjektivisme. Subjektivisme merupakan karekteristik manusia modern. Subjektivisme yang hanya merangkum segala persoalan pada individualisme, "aku". Ketika kamera sedang mengarah pada wajah kita, "diri" adalah subjek atau selfie dan dari sisi eksistensi mempersepsi dirinya melebihi yang lainnya. Namun tanpa sadar foto 'selfie' membawa 'diri' atau 'aku' pada catatan pinggir sebab hanya fokus pada suatu 'relasi', relasi antara selfie pada dirinya dan selfie pada yang lain.
Salah satu menifestasi individualis subjektivisme adalah instagram yang mampu menciptakan sosial artifisial dan individual artifisial. Mereka yang menyebar gambar dirinya di akun instagram akan membuat dirinya menjadi seolah memiliki personal yang beragam dan menjadi potongan-potongan gambar dibenaknya. Identitasnya yang batin dan tersembunyi menjadi nampak dan terbuka. Dan hal ini menjadi salah satu ciri etika individualis humanistik.
2. Asyik umbar keyakinan dalam perang wacana; perkembangan jejaring sosial yang begitu pesat dan cepat, memicu laju perkembangan informasi yang cepat pula. Kondisi tersebut yang memicu seseorang mengumbar setiap keyakinannya ke media sosial. Fakta di dunia kini adalah menyuguhkan berbagai ragam wacana dan keyakinan dan instagram salah satu wadah terbaik dalam mengumbar keyakinan seseorang atau pun juga mengeritiknya, apapun bentuk keyakinanya termasuk lifestyle. Postingan gambar yang disertai dengan kata-kata singkat yang menarik, jika dilakukan terus menerus akan menambah pengikut dan secara perlahan pengikut fanatik akan membentuk pasukan cyber di medsos. Sebagian dari kenikmatan dunia maya sebab memungkinkan menghapus benak seseorang dari keyakinannya. Sebagian orang melakukannya dengan menyebar fitnah sebab Fitnah adalah hal yang sangat mudah dilakukan di dunia medsos.
3. Paradoks kebebasan dan kekerasan; kehadiran followers ibaratnya seperti para penonton yang bertepuk tangan dalam suatu acara pertunjukan. Namun pastinya penonton punya keterbatasan dalam memaknai. Sebab itu respon penonton beragam; suka, kritik, dan bahkan menolak. Hal yang perlu dipahami karena instagram lebih menekankan pada persepsi penglihatan. Mereka yang terbiasa memahami sesuatu melalui pendengaran, keterbatasan dalam memahami akan lebih terasa. Maksudnya mereka yang berusaha mentransfer suatu pemahaman melalui pemahaman, dalam instagram tak memiliki ruang. Artinya pemaknaan yang ditawarkan tak punya standar definisi yang akan berpotensi menjelma sebagai suatu bentuk kekerasan dan kebebasan yang tanpa batas.
Meski demikian, para penikmat instagram justru mendapatkan kenikmatan yang lain, sebab instagram sebagaimana sosmed lainnya punya kekuatan dalam mematikan dan menghidupkan penduduknya. Kekerasan dalam dunia instagram, cukup dengan memblok berarti samadengan perintah meniadakannya. Seperti seorang Raja, jaminan kehidupan dan kematian seseorang ada ditelunjuknya. Namun disisi lain yang paling menakutkan adalah kebebasan berekspresi yang tanpa batas yang tak lagi bisa dikontrol dengan baik. Kebebasan yang tanpa standar tersebut akan berakibat fatal dalam dunia nyata.
Wednesday, August 12, 2015
Takwil Syair Rumi (8)
Yang kuraih dalam hidupku, tak lebih dari tiga perkataan saja; mentah, matang, dan terbakar.
~ Rumi
Rumi merangkum perjalanan hidupnya dalam tiga hal; mentah, masak, dan terbakar. Ketiga hal itu sebenarnya menjelaskan perjalanan gerak ruhaniyah dirinya sebagaimana sufi lainnya. Tiga hal itu merupakan tangga perjalanan. Namun bagaimana kita memaknai ketiga hal itu?
Sebagian menakwil makna tiga tahapan kehidupan Rumi yaitu mentah, matang, dan terbakar dengan tiga tahapan perjalanan makrifat yaitu ilmul yaqin, 'ainul yaqin, dan haqqul yaqin.
Ilmu yaqin adalah tahap pengetahuan yang tidak bersentuhan secara langsung dengan hakikatnya. Misalnya dikejauhan sana saya melihat asap dan melalui asap ini memberikan saya keyakinan bahwa disana ada api. Saya hanya mengetahui asap namun tidak mengetahui secara langsung api tersebut. Tahap ini oleh Rumi disebut dengan pengetahuan yang masih mentah.
Namun seiring dengan perjalanan ruhaniyah, seseorang bisa sampai pada 'ainul yaqin. 'Ainul yaqin dalam contoh sebelumnya adalah mereka yang telah sampai menyaksikan api. Pengetahuannya lebih sempurna dari pengetahuan sebelumnya yang hanya menyaksikan asap. Rumi menyebut dirinya terkait tahapan ini dengan matang karena telah sampai menyaksikan hakikat.
Jika ruhaniyah seseorang memiliki potensi suci yang cukup, ia dapat melanjutkan perjalanan ruhaniyahnya sampai pada tahap bukan hanya menyaksikan api, ia mencelupkan dirinya kedalam api sehingga dirinya terbakar. Jika pada tahap sebelumnya hanya menyaksikan api sehingga mengetahui bahwa api itu panas, namun setelah ia mencelupkan dirinya ke dalam api, bukan hanya tahu bahwa api itu panas, namun juga mengetahui bagaimana api tersebut membakar. Karena itulah Rumi menyebut tahapan ini dengan terbakar dan simbol sebagai puncak pengetahuan yang telah diraih oleh Rumi.
(At-Takāthur):5 - Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan ilmul yaqin,
(At-Takāthur):6 - niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim,
(At-Takāthur):7 - dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin.