Menjawab pertanyaan tersebut sejak awal perlu ditekankan antara sufi dalam pemaknaan sesuatu yang diperoleh dari ‘pengalaman sufistik’ dengan sufi dalam pemaknaan ‘bahasa sufistik’. Heidegger tentu bukan seorang pelaku mistis atau dalam kata lain, filsafat Heidegger sedang tidak menjaskan filsafatnya sebagai hasil dari pengalaman mistik. Sebab tak ada satu pun karya Heidegger yang menjelaskan tentang ‘pengalaman mistik’. Sebab itu jika kita berbicara Heidegger sebagai seorang mistis sebenarnya maksud kita adalah bahasa mistik. Sebab itu pertanyaannya adalah mengapa bahasa Heidegger dipahami sebagai bahasa mistis?
Heidegger menggunakan istilah wujud, hakikat, manusia namun memberikan pemaknaan lain yang berbeda dari filsuf sebelumnya. Penekanan Heidegger pada istilah tersebut bertujuan untuk menemukan jalan keluar dari problem ‘cogito Descartes’ sehingga tak ada dualitas antara ‘aku’ dan ‘tubuh’ serta ‘aku’ dan ‘eksistensi’. Pandangan ‘cogito Descartes’ sebagaimana dipahami menjadi pondasi modernitas. Meski demikian, hampir semua gagasan filsafat setelah Descartes berusaha keluar dari keterjabakan dualitas Descartes. Kant, Hegel, dan juga Nietzsche berusaha mencari jalan melampaui gagasan dualitas.
Heidegger termasuk salah satu filsuf yang berusaha keluar dari problem dualitas ‘cogito’. Heidegger meyakini, metafisika telah terjebak dalam nihilisme karena telah melupakan eksistensi. Mereka mencari wujud (existence) namun yang mereka jelaskan adalah maujud (existent). Plato yang pertamakali terjebak dalam nihilisme karena menjelaskan wujud melalui maujud.
Bahasa mistis Heidegger justru dimulai disini yaitu menafikan dualitas antara ‘aku’ dan ‘eksistensi’. Metafisika akan menjebak kita melupakan eksistensi sebab yang meraka cari adalah wujud namun mereka menjelaskannya dengan maujud. Sebab itu dualitas mesti dihilangkan sehingga aku dan eksistensi menyatu. Penyatuan dengan hakikat eksistensi sangat akrab dalam bahasa sufistik. Apalagi usaha dan cita-cita kaum sufi berusaha menyatu dengan hakikat eksistensi melalui ‘fana’. Namun kita mesti tetap membedakan antara mistik kaum sufi yang berasal dari pengalaman mistik dengan Heidegger yang hanya bermain dalam ranah bahasa mistik, bukan pengalaman mistik.