Friday, August 14, 2015

Apakah Hakikat itu ada?

Jika hakikat itu ada apakah pengetahuan dapat menjangkaunya? Tak ada jalan lain kecuali memulainya dengan ilmu huduri (kehadiran). Setiap persepsi dan 'subjek yang mempersepsi', dilihat dari sisi bahwa ia mempersepsi dirinya sendiri, maka sebenarnya ia memperoleh suatu hakikat yaitu hakikat dirinya sebab persepsi adalah hakikat dan wujud itu sendiri. Pengetahuan dan 'objek yang diketahui' dalam hal ini adalah satu dimana wujud dan 'persepsi ilmu huduri' tak terpisah, tak berbeda, dan tak berbilang sehingga tak bisa dikatakan diantara keduanya ada yang lebih dahulu dari yang lain sebagaimana yang terlihat dalam gagasan Descartes, 'aku berpikir maka aku ada' dimana berpikir atau persepsi mendahului eksistensinya.

Perbedaan antara pikiran dan eksistensi adalah pada konsep dimana konsep terkait dengan pengetahuan husuli (korespondensi). Oleh karena itu, sebagian dari pengetahuan dan realitas atau hakikat wujud tak mungkin diragukan. Berdasarkan hal ini pula, jika kita bisa menemukan hakikat eksistensi (meskipun sebagian dari eksistensi dan bahkan hanya diri kita saja) maka kita mampu keluar dari problem skeptisisme absolut. Pondasi argumentasi gagasan ini begitu kokoh sehingga tak mungkin ada yang meragukannya.

Disinilah rahasianya mengapa pembahasan filsafat selalu diawali dengan 'wujud'. Hal lain yang perlu dipahami bahwa apa yang ditemukan melalui ilmu huduri adalah wujud atau hakikat eksistensi dimana wujud lebih dahulu dari segala bentuk persepsi. Namun 'persepsi konsep wujud' tentu tahapannya lebih terakhir.

Thursday, August 13, 2015

Fenomenologi Instagram

Mungkin sebagian dari kita masih ingat, dahulu betapa susahnya mendapatkan sebuah gambar foto dari kamera. Mengabadikan kenangan melalui kamera waktu itu tidak mudah. Prosesnya cukup melelahkan dan meraup kocek yang tidak sedikit. Mungkin masih ingat 'klise foto' yang dimasukkan ke dalam kamera. Klise foto berfungsi merekam gambar melalui pemotretan kamera. Setelah melakukan pemotretan, hasil gambarnya tak dapat langsung dinikmati. Klisenya mesti 'dicuci' terlebih dahulu. Terkadang ada klise foto yang terbakar atau tidak menghasilkan gambar sama sekali.

Sewaktu zaman klise foto, biasanya tak semua momen diabadikan sebab mesti menghemat klise foto. Setiap pemotretan berarti mengurangi jumlah batasan klise foto yg ditentukan. Oleh karenanya, pada saat itu foto tak berlaku untuk semua khalayak dan juga tak mudah ditemukan disemua tempat.

Era digital telah merubah hal yang sulit menjadi mudah. Cukup dengan telpon genggam, sebuah gambar bisa diabadikan dengan cepat. Bukan hanya itu, pada saat yang sama teman-teman kita bisa langsung menikmati gambar yang baru saja terekam dengan mensharenya melalui jaringan medsos; instagram, fb, twitter, G+, dan lainnya. Intinya, selfie dengan segala tujuan yang ada dibaliknya menjadi bagian dari kehidupan keseharian kita. Dalam kata lain, gambar atau foto telah menjadi satu bentuk bahasa dialogis tanpa bahasa. Lalu Bagaimana kita memahami suatu bentuk kehidupan yang dipenuhi dengan berbagai gambar? Instagram menawarkan satu bentuk baru kehidupan yaitu mampu memberikan setiap saat gambar baru dari kehidupan kita. Kira-kira apa rahasia instagram mengapa begitu diminati?

1. Foto selfie; individualis subjektivisme. Subjektivisme merupakan karekteristik manusia modern. Subjektivisme yang hanya merangkum segala persoalan pada individualisme, "aku". Ketika kamera sedang mengarah pada wajah kita, "diri" adalah subjek atau selfie dan dari sisi eksistensi mempersepsi dirinya melebihi yang lainnya. Namun tanpa sadar foto 'selfie' membawa 'diri' atau 'aku' pada catatan pinggir sebab hanya fokus pada suatu 'relasi', relasi antara selfie pada dirinya dan selfie pada yang lain.

Salah satu menifestasi individualis subjektivisme adalah instagram yang mampu menciptakan sosial artifisial dan individual artifisial. Mereka yang menyebar gambar dirinya di akun instagram akan membuat dirinya menjadi seolah memiliki personal yang beragam dan menjadi potongan-potongan gambar dibenaknya. Identitasnya yang batin dan tersembunyi menjadi nampak dan terbuka. Dan hal ini menjadi salah satu ciri etika individualis humanistik.

2. Asyik umbar keyakinan dalam perang wacana; perkembangan jejaring sosial yang begitu pesat dan cepat, memicu laju perkembangan informasi yang cepat pula. Kondisi tersebut yang memicu seseorang mengumbar setiap keyakinannya ke media sosial. Fakta di dunia kini adalah menyuguhkan berbagai ragam wacana dan keyakinan dan instagram salah satu wadah terbaik dalam mengumbar keyakinan seseorang atau pun juga mengeritiknya, apapun bentuk keyakinanya termasuk lifestyle. Postingan gambar yang disertai dengan kata-kata singkat yang menarik, jika dilakukan terus menerus akan menambah pengikut dan secara perlahan pengikut fanatik akan membentuk pasukan cyber di medsos. Sebagian dari kenikmatan dunia maya sebab memungkinkan menghapus benak seseorang dari keyakinannya. Sebagian orang melakukannya dengan menyebar fitnah sebab Fitnah adalah hal yang sangat mudah dilakukan di dunia medsos.

3. Paradoks kebebasan dan kekerasan; kehadiran followers ibaratnya seperti para penonton yang bertepuk tangan dalam suatu acara pertunjukan. Namun pastinya penonton punya keterbatasan dalam memaknai. Sebab itu respon penonton beragam; suka, kritik, dan bahkan menolak. Hal yang perlu dipahami karena instagram lebih menekankan pada persepsi penglihatan. Mereka yang terbiasa memahami sesuatu melalui pendengaran, keterbatasan dalam memahami akan lebih terasa. Maksudnya mereka yang berusaha mentransfer suatu pemahaman melalui pemahaman, dalam instagram tak memiliki ruang. Artinya pemaknaan yang ditawarkan tak punya standar definisi yang akan berpotensi menjelma sebagai suatu bentuk kekerasan dan kebebasan yang tanpa batas.

Meski demikian, para penikmat instagram justru mendapatkan kenikmatan yang lain, sebab instagram sebagaimana sosmed lainnya punya kekuatan dalam mematikan dan menghidupkan penduduknya. Kekerasan dalam dunia instagram, cukup dengan memblok berarti samadengan perintah meniadakannya. Seperti seorang Raja, jaminan kehidupan dan kematian seseorang ada ditelunjuknya. Namun disisi lain yang paling menakutkan adalah kebebasan berekspresi yang tanpa batas yang tak lagi bisa dikontrol dengan baik. Kebebasan yang tanpa standar tersebut akan berakibat fatal dalam dunia nyata.

Wednesday, August 12, 2015

Takwil Syair Rumi (8)

Yang kuraih dalam hidupku, tak lebih dari tiga perkataan saja; mentah, matang, dan terbakar.

~ Rumi

Rumi merangkum perjalanan hidupnya dalam tiga hal; mentah, masak, dan terbakar. Ketiga hal itu sebenarnya menjelaskan perjalanan gerak ruhaniyah dirinya sebagaimana sufi lainnya. Tiga hal itu merupakan tangga perjalanan. Namun bagaimana kita memaknai ketiga hal itu?

Sebagian menakwil makna tiga tahapan kehidupan Rumi yaitu mentah, matang, dan terbakar dengan tiga tahapan perjalanan makrifat yaitu ilmul yaqin, 'ainul yaqin, dan haqqul yaqin.

Ilmu yaqin adalah tahap pengetahuan yang tidak bersentuhan secara langsung dengan hakikatnya. Misalnya dikejauhan sana saya melihat asap dan melalui asap ini memberikan saya keyakinan bahwa disana ada api. Saya hanya mengetahui asap namun tidak mengetahui secara langsung api tersebut. Tahap ini oleh Rumi disebut dengan pengetahuan yang masih mentah.

Namun seiring dengan perjalanan ruhaniyah, seseorang bisa sampai pada 'ainul yaqin. 'Ainul yaqin dalam contoh sebelumnya adalah mereka yang telah sampai menyaksikan api. Pengetahuannya lebih sempurna dari pengetahuan sebelumnya yang hanya menyaksikan asap. Rumi menyebut dirinya terkait tahapan ini dengan matang karena telah sampai menyaksikan hakikat.

Jika ruhaniyah seseorang memiliki potensi suci yang cukup, ia dapat melanjutkan perjalanan ruhaniyahnya sampai pada tahap bukan hanya menyaksikan api, ia mencelupkan dirinya kedalam api sehingga dirinya terbakar. Jika pada tahap sebelumnya hanya menyaksikan api sehingga mengetahui bahwa api itu panas, namun setelah ia mencelupkan dirinya ke dalam api, bukan hanya tahu bahwa api itu panas, namun juga mengetahui bagaimana api tersebut membakar. Karena itulah Rumi menyebut tahapan ini dengan terbakar dan simbol sebagai puncak pengetahuan yang telah diraih oleh Rumi.

(At-Takāthur):5 - Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan ilmul yaqin,
(At-Takāthur):6 - niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim,
(At-Takāthur):7 - dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin.

Tuesday, August 11, 2015

Melampaui Kematian

Mulla Abdurrazzaq Lahiji menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ma'ad (hari akhir) adalah kembalinya manusia kepada kehidupan setelah menjalani kematian. Sebab itu ma'ad adalah suatu keniscayaan.

Pembahasan ma'ad salah satu persoalan yang penting, bukan hanya bagi kaum teolog namun juga bagi para ilmuan dan pemikir. Seluruh mazhab dalam Islam meyakini ma'ad sebagai bagian dari ushuluddin (prinsip agama). Sebab itu tak perlu ragu mengenai posisi penting ma'ad. Kata ma'ad berasal dari 'aud, artinya kembali. Mengapa hari akhir disebut ma'ad? Karena pada hari itu adalah hari kembalinya manusia kepada kehidupan. Hakikat kehidupan ada pada alam akhirat. Sebab itu disini, di alam dunia bukan kehidupan yang nyata. Alam materi adalah alam ruang dan waktu yang senantiasa mengalami perubahan dan dalam perubahan materi meniscayakan gerak, dan dalam gerak meniscayakan meniada dan meng-ada. Sebab itu pula alam dunia adalah alam simbolik.

Pertanyaan selanjutnya, apakah persoalan ma'ad adalah persoalan teologi atau termasuk persoalan akal?

Sebagian menjawabnya, oleh karena manusia tak punya jalan menuju hakikat ma'ad dan sangat sulit memahaminya maka persoalan ma'ad adalah persoalan teologi. Maksudnya kita meyakini ma'ad melalui sabda Rasulullah saw. Jika Rasulullah saw tidak menjelaskannya, kita pun tak kan meyakininya.

Sebagian juga meyakini bahwa persoalan ma'ad adalah persoalan  akal. Mereka bersandar pada persoalan baik dan buruk perbuatan manusia karena baik dan buruk perbuatan manusia sifatnya esensi dan fundamental. Sebab hari akhir adalah hari perhitungan. Segala perbuatan baik dan buruk manusia akan dipertanggung jawabkan.

Persoalan ini akan semakin penting dan dibutuhkan disaat seluruh manusia mulai berpikir mengenai kematian dirinya saat mereka hidup. Tak ada manusia yang tak berpikir mengenai kematian dirinya. Sebagian berpikir keras mengenai kematian. Sebagian pula setiap saat berpikir tentang kematian, bahkan sebagian filsuf mendefinisikan manusia sebagai 'eksistensi yang berpikir kematian'. Maksudnya hanya manusia saja yang berpikir tentang kematian dirinya.

Prof Dinani menambahkan, manusia bukan hanya eksistensi yang berpikir tentang kematian dirinya, namun manusia adalah eksistensi yang melampaui kematian dirinya. Maksudnya setelah kita mati, apa yang akan terjadi? Ini yang dimaksud dengan 'melampaui kematian'. Sekarang, keabadian anda setelah mati sangat bergantung pada apa yang telah anda raih di alam ini.

Tuhannya Filsuf dan Tuhannya Nabi

Perbedaan Tuhan para filsuf dan Tuhan para Nabi, Tuhan para Nabi dapat diseru dengan do'a, namun Tuhan para filsuf mesti didialektikakan dan diargumentasikan. Para filsuf seperti ahli matematika sibuk menyelesaikan persoalan-persoalan matematika. Namun para Nabi seperti para pecinta yang senantiasa asyik dengan dekat kekasihnya. Lantunan doa dan pujian yang bergumam di bibirnya begitu lembut dalam mengurai keindahan Ilahi dan keagungan Ilahi. Tak heran jika para Nabi pun mengajak kaumnya menuju jalan Ilahi dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, bukan dengan amarah. Sebab bahasa hati hanya akan berbekas di hati. Hallaj pernah berkata, "segala lantunan ini untuk kekasih, bukan menjelaskan rahasia Ilahi".

Tuhan bukan hakikat rahasia yang hanya bisa dipahami dengan akal karena bagi yang punya hati dapat memahamiNya dengan cinta. Inilah rahasianya mengapa para Nabi lebih mudah diterima daripada para filsuf. Sebab para Nabi mampu menarik hati yang sedang dahaga mencari Ilahi.

Meskipun doa dan munajat simbol atas ungkapan rintihan kehidupan, namun jauh sebelum itu adalah simbol kehambaan. Sebelum memohon hajat untuk raga, terlebih dahulu memohon menunaikan hajat-hajat hati dan kebutuhan esensi jiwa.

Doa bukan hanya ritual menyeru Ilahi namun juga wahana untuk mengetahuiNya. Bukan monolog, namun juga dialog. Bercakap-cakap berarti dua arah. Dalam berdialog dengan Ilahi, selain menghasilkan kedekatan, juga memberikan pengetahuan. Juga membebaskan ruh, menguatkan iman, dan meluaskan hati serta pemikiran. Manusia akan hadir dengan seluruh eksistensinya dihadapan kehadiran Ilahi.

Kekasih akan merenggut segala eksistensi pecinta, baik itu hati, jiwa, dan pemikiran. Bukan itu saja, bahkan memurnikannya. Dalam doa, selain melantunkan kebutuhan kekasih, juga kebutuhan pecinta. Juga kedekatan, takut, cinta, makrifat, tobat, inabah, kemuliaan, dan ijabah. Begitu pula kebutuhan-kebutuhan kehidupan dan duniawi, juga keinginan-keinginan ideal dan transenden. Apakah ada selain doa yang mampu menurunkan kemuliaan dan kebaikan ?!