Perbedaan Tuhan para filsuf dan Tuhan para Nabi, Tuhan para Nabi dapat diseru dengan do'a, namun Tuhan para filsuf mesti didialektikakan dan diargumentasikan. Para filsuf seperti ahli matematika sibuk menyelesaikan persoalan-persoalan matematika. Namun para Nabi seperti para pecinta yang senantiasa asyik dengan dekat kekasihnya. Lantunan doa dan pujian yang bergumam di bibirnya begitu lembut dalam mengurai keindahan Ilahi dan keagungan Ilahi. Tak heran jika para Nabi pun mengajak kaumnya menuju jalan Ilahi dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, bukan dengan amarah. Sebab bahasa hati hanya akan berbekas di hati. Hallaj pernah berkata, "segala lantunan ini untuk kekasih, bukan menjelaskan rahasia Ilahi".
Tuhan bukan hakikat rahasia yang hanya bisa dipahami dengan akal karena bagi yang punya hati dapat memahamiNya dengan cinta. Inilah rahasianya mengapa para Nabi lebih mudah diterima daripada para filsuf. Sebab para Nabi mampu menarik hati yang sedang dahaga mencari Ilahi.
Meskipun doa dan munajat simbol atas ungkapan rintihan kehidupan, namun jauh sebelum itu adalah simbol kehambaan. Sebelum memohon hajat untuk raga, terlebih dahulu memohon menunaikan hajat-hajat hati dan kebutuhan esensi jiwa.
Doa bukan hanya ritual menyeru Ilahi namun juga wahana untuk mengetahuiNya. Bukan monolog, namun juga dialog. Bercakap-cakap berarti dua arah. Dalam berdialog dengan Ilahi, selain menghasilkan kedekatan, juga memberikan pengetahuan. Juga membebaskan ruh, menguatkan iman, dan meluaskan hati serta pemikiran. Manusia akan hadir dengan seluruh eksistensinya dihadapan kehadiran Ilahi.
Kekasih akan merenggut segala eksistensi pecinta, baik itu hati, jiwa, dan pemikiran. Bukan itu saja, bahkan memurnikannya. Dalam doa, selain melantunkan kebutuhan kekasih, juga kebutuhan pecinta. Juga kedekatan, takut, cinta, makrifat, tobat, inabah, kemuliaan, dan ijabah. Begitu pula kebutuhan-kebutuhan kehidupan dan duniawi, juga keinginan-keinginan ideal dan transenden. Apakah ada selain doa yang mampu menurunkan kemuliaan dan kebaikan ?!