Tuesday, August 11, 2015

Melampaui Kematian

Mulla Abdurrazzaq Lahiji menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ma'ad (hari akhir) adalah kembalinya manusia kepada kehidupan setelah menjalani kematian. Sebab itu ma'ad adalah suatu keniscayaan.

Pembahasan ma'ad salah satu persoalan yang penting, bukan hanya bagi kaum teolog namun juga bagi para ilmuan dan pemikir. Seluruh mazhab dalam Islam meyakini ma'ad sebagai bagian dari ushuluddin (prinsip agama). Sebab itu tak perlu ragu mengenai posisi penting ma'ad. Kata ma'ad berasal dari 'aud, artinya kembali. Mengapa hari akhir disebut ma'ad? Karena pada hari itu adalah hari kembalinya manusia kepada kehidupan. Hakikat kehidupan ada pada alam akhirat. Sebab itu disini, di alam dunia bukan kehidupan yang nyata. Alam materi adalah alam ruang dan waktu yang senantiasa mengalami perubahan dan dalam perubahan materi meniscayakan gerak, dan dalam gerak meniscayakan meniada dan meng-ada. Sebab itu pula alam dunia adalah alam simbolik.

Pertanyaan selanjutnya, apakah persoalan ma'ad adalah persoalan teologi atau termasuk persoalan akal?

Sebagian menjawabnya, oleh karena manusia tak punya jalan menuju hakikat ma'ad dan sangat sulit memahaminya maka persoalan ma'ad adalah persoalan teologi. Maksudnya kita meyakini ma'ad melalui sabda Rasulullah saw. Jika Rasulullah saw tidak menjelaskannya, kita pun tak kan meyakininya.

Sebagian juga meyakini bahwa persoalan ma'ad adalah persoalan  akal. Mereka bersandar pada persoalan baik dan buruk perbuatan manusia karena baik dan buruk perbuatan manusia sifatnya esensi dan fundamental. Sebab hari akhir adalah hari perhitungan. Segala perbuatan baik dan buruk manusia akan dipertanggung jawabkan.

Persoalan ini akan semakin penting dan dibutuhkan disaat seluruh manusia mulai berpikir mengenai kematian dirinya saat mereka hidup. Tak ada manusia yang tak berpikir mengenai kematian dirinya. Sebagian berpikir keras mengenai kematian. Sebagian pula setiap saat berpikir tentang kematian, bahkan sebagian filsuf mendefinisikan manusia sebagai 'eksistensi yang berpikir kematian'. Maksudnya hanya manusia saja yang berpikir tentang kematian dirinya.

Prof Dinani menambahkan, manusia bukan hanya eksistensi yang berpikir tentang kematian dirinya, namun manusia adalah eksistensi yang melampaui kematian dirinya. Maksudnya setelah kita mati, apa yang akan terjadi? Ini yang dimaksud dengan 'melampaui kematian'. Sekarang, keabadian anda setelah mati sangat bergantung pada apa yang telah anda raih di alam ini.

Tuhannya Filsuf dan Tuhannya Nabi

Perbedaan Tuhan para filsuf dan Tuhan para Nabi, Tuhan para Nabi dapat diseru dengan do'a, namun Tuhan para filsuf mesti didialektikakan dan diargumentasikan. Para filsuf seperti ahli matematika sibuk menyelesaikan persoalan-persoalan matematika. Namun para Nabi seperti para pecinta yang senantiasa asyik dengan dekat kekasihnya. Lantunan doa dan pujian yang bergumam di bibirnya begitu lembut dalam mengurai keindahan Ilahi dan keagungan Ilahi. Tak heran jika para Nabi pun mengajak kaumnya menuju jalan Ilahi dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, bukan dengan amarah. Sebab bahasa hati hanya akan berbekas di hati. Hallaj pernah berkata, "segala lantunan ini untuk kekasih, bukan menjelaskan rahasia Ilahi".

Tuhan bukan hakikat rahasia yang hanya bisa dipahami dengan akal karena bagi yang punya hati dapat memahamiNya dengan cinta. Inilah rahasianya mengapa para Nabi lebih mudah diterima daripada para filsuf. Sebab para Nabi mampu menarik hati yang sedang dahaga mencari Ilahi.

Meskipun doa dan munajat simbol atas ungkapan rintihan kehidupan, namun jauh sebelum itu adalah simbol kehambaan. Sebelum memohon hajat untuk raga, terlebih dahulu memohon menunaikan hajat-hajat hati dan kebutuhan esensi jiwa.

Doa bukan hanya ritual menyeru Ilahi namun juga wahana untuk mengetahuiNya. Bukan monolog, namun juga dialog. Bercakap-cakap berarti dua arah. Dalam berdialog dengan Ilahi, selain menghasilkan kedekatan, juga memberikan pengetahuan. Juga membebaskan ruh, menguatkan iman, dan meluaskan hati serta pemikiran. Manusia akan hadir dengan seluruh eksistensinya dihadapan kehadiran Ilahi.

Kekasih akan merenggut segala eksistensi pecinta, baik itu hati, jiwa, dan pemikiran. Bukan itu saja, bahkan memurnikannya. Dalam doa, selain melantunkan kebutuhan kekasih, juga kebutuhan pecinta. Juga kedekatan, takut, cinta, makrifat, tobat, inabah, kemuliaan, dan ijabah. Begitu pula kebutuhan-kebutuhan kehidupan dan duniawi, juga keinginan-keinginan ideal dan transenden. Apakah ada selain doa yang mampu menurunkan kemuliaan dan kebaikan ?!

Sunday, August 9, 2015

Sadra dan Filsafat

Keberhasilan Sadra dikarenakan kemampuan dia menggunakan karya ribuan tahun pemikiran sebelumnya. Maksudnya Sadra telah mampu merubah suatu pemikiran dari teori menjadi sebuah wacana.

Kata Sadra, maksud dari teks filsafat itu bukan berarti bahwa kita cukup memahami teori sebelumnya, kemudian mengajarkan kembali teks tersebut kepada orang lain.

Maksud dari teks filsafat itu bahwa dari teori-teori filsafat sebelumnya mesti diawali dengan suatu wacana yang baru. Teori-teori filsafat sebelumnya mesti direnungi dengan pemikiran yang baru.

Jika filsafat hanya dibaca dan dilalui dengan sederhana, sebenarnya kita hanya menghafal saja. Namun kita tak pernah memaparkan suatu pertanyaan yang baru dan bermutu, kecuali kita memang benar-benar tak memiliki pertanyaan.

Namun seorang filsuf yang tak memiliki pertanyaan, apakah bisa disebut sebagai seorang filsuf ?! Filsuf yang tak memiliki pertanyaan, konsep-konsep tersebut hanya dibaca saja dan dipelajari, tak lebih dari hal itu.

Siapa saja yang mengaku berfilsafat tanpa ada pertanyaan fundamental dari dalam dirinya, mungkin dia sedang bergurau atau tak sadar diri. Dan pertanyaan yang saya maksud disini bukan pertanyaan sederhana, namun pertanyaan yang fundamental.

Fenomenologi dan Problemnya

Hirarki atau gradasi salah satu karekteristik hakikat eksistensi. Lokus gradasi hanya pada eksistensi dan tak kan mewujud pada yang realitas yang lain.

Ketika dikatakan bahwa ketunggalan merupakan esensi yang fundamental bagi wujud. Tak semestinya kita berpandangan bahwa ketunggalan hanya aksiden bagi wujud sehingga dikatakan kita mensifatkan ketunggalan pada wujud. Karena mesti dipahami bahwa tak ada sesuatu diluar eksistensi yang dapat mengaksiden pada wujud. Maksudnya, wujud adalah ketunggalan itu sendiri dan ketunggalan adalah wujud itu sendiri. Kedua konsep tersebut, yaitu konsep wujud dan konsep ketunggalan diabstraksi dari satu hakikat.

Oleh karena itu ketunggalan sejati adalah wujud dan wujud sejati juga adalah ketunggalan itu sendiri.

Wujud mutlak yang merupakan wujud murni hanya akan menjelma pada menifastasi-manifestasi. Sebab itu dapat dikatakan, mutlak tak kan nampak kecuali pada determinasi (batasan), sebagaimana kemurnian tak kan nampak kecuali pada yang tidak murni.

Mereka yang pernah membaca filsafat fenomenologi akan memahami bahwa ada ragam pandangan terkait dengan fenomenologi. Namun ada satu kaidah yang diyakini oleh seluruh aliran fenomenologi, "kita senantiasa berhadapan dengan fenomena-fenomena".

Kaidah ini mudah dipahami dan diterima karena berakar dari pondasi realitas eksternal. Berdasarkan pandangan ini dapat dikatakan bahwa, sebagaimana manusia sebagai entitas yang terdeterminasi senantiasa berhadapan dengan fenomena-fenomena, karena manusia bukan entitas yang mutlak yang kosong dari segala bentuk batasan-batasan dan determinasi-determinasi. Sebab mutlak sebagaimana mutlak tak kan berhadapan dengan sesuatu apapun.

Berdasarkan hal ini pula dapat dikatakan, dalam kemutlakan dualitas tak lagi bermakna sebab kemutlakan senantiasa Dipahami sebagai dasar dan sumber. Tentu sesuatu yang dipahami sebagai 'sumber', bagaimana mungkin berhadapan dengan sesuatu dimana sesuatu tersebut muncul dari sumber itu sendiri?

Tak diragukan bahwa fenomena berasal dan diabstraksi dari sumber. Meskipun boleh jadi sumber dari fenomena-fenomena tersebut tak diketahui dan tanpa determinasi. Namun tak diketahui dan tanpa determinasi sama sekali tidak bermakna 'tidak ada'.

Mereka yang menganggap dirinya sebagai seorang fenomenolog, tentu akan menganggap dirinya selalu berhadapan dengan fenomena-fenomena. Selanjutnya asumsi 'senantiasa berhadapan dengan fenomena-fenomena' akan membentuk dan mempengaruhi model kehidupannya.

Karena itu pertanyaan yang mesti dijawab terkait dengan hal ini, "jika kehidupan manusia idealnya dengan 'senantiasa berhadapan dengan fenomena-fenomena', lalu bagaimana kita memaknai kehidupan ini?"

Dalam kata lain, jika kita meyakini manusia hidup dialam ini dan menetap di dalamnya, namun apakah ada orang di alam ini yang dapat menyaksikan seluruh alam dan memposisikan keseluruhan tsb sebagai suatu fenomena?

Tak mudah menjawab pertanyaan ini karena manusia adalah bagian dari alam ini sehingga tak dapat berhadapan dengan keseluruhan alam ini sebagai suatu fenomena.

Jika kita dapat mempersepsi di alam ini, lalu bagaimanakah kita dapat mempersepsi keseluruhan alam ini sebagai sebuah fenomena?maksudnya apakah mungkin keseluruhan alam ini sebagai objek fenomenologi?

Terminologi Ufuk dan Ideologi

Kata ufuk dalam Quran adalah kata yang sangat penting. Dalam Quran;

{سَنُرِیهِمْ آیَاتِنَا فِی الْآفَاقِ وَفِی أَنفُسِهِمْ حَتَّى یَتَبَیَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ}

(Fuşşilat):53 - Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi (Afaq) dan pada diri mereka sendiri (anfus)آ, hingga jelas bagi mereka bahwa Dia adalah Al-Haqq (The Truth).

Kata tersebut termasuk salah satu kata yang menunjukkan mukjizat Quran. Ayat ini menjelaskan, kami tunjukkan tanda-tanda kami pada Ufuk-ufuk dan pada jiwa-jiwa (anfus) kalian.

Artinya, 'anfus' itu sendiri juga 'ufuk' yang lain. Maksudnya kita memiliki 'ufuk' eksternal dan juga 'ufuk' internal. Keduanya adalah ufuk. Berdasarkan pada ayat tersebut, seseorang yang bisa menyaksikan tanda-tanda Tuhan adalah mereka yang memiliki ufuk. Manusia tanpa ufuk tak kan memahami sesuatu. Afaq adalah kata jamak dari ufuk.

Jika kita ingin memaknai ufuk secara sederhana, misalnya saat kita duduk pada tempat tertentu dan menyaksikan hamparan alam eksternal (ufuk). Dimana pun engkau saksikan, baik ke barat maupun ke timur, pandanganmu adalah ufuk dan ada batasannya. Apapun yang anda saksikan, itulah ufuk anda. Misalnya saat anda menyaksikan matahari sedang terbit atau terbenam, kemudian anda berpikir jarak antara matahari dengan tempat anda sekitar ratusan kilometer. Namun seberapa jauh anda melangkah itulah ufuk anda dan ufuk tersebut tak ada akhirnya. Maksudnya jika anda terus melangkah ke depan ke arah matahari, apakah anda akan sampai pada ufuk tersebut?

Seberapa jauh pun anda melangkah, ufuk terhampar dihadapan anda. Ufuk tetap ada namun semakin anda melangkah ke depan akan semakin luas. Inilah makna ufuk. Ufuk adalah suatu tempat dimana kita tak kan sampai pada akhirnya. Quran mengatakan anda menyaksikan tanda-tanda Tuhan di ufuk. Jelas, ufuk tersebut bukan dalam pemaknaan fisik.

Ufuk tersebut adalah ufuk pemikiran. Jika anda memiliki pemikiran, pemikiran anda akan memiliki perluasan. Namun setiap anda menerawangnya, anda tak kan sampai pada akhirnya. Ufuk pemikiran anda tak ada akhirnya. Segalanya terhampar luas dihadapan anda. Setiap anda melangkah menuju ufuk, ufuk tersebut semakin terbuka dan terbuka lagi. Pemikiran anda pun demikian halnya, anda berpikir dan pemikiran anda semakin luas. Setiap anda bergerak menuju pemikiran anda, tak kan ada akhirnya. Bahkan ufuk pemikiran akan semakin luas dan tak terhingga. Inilah maksud dari kata Afaq yang merupakan salah satu mukjizat Quran.

Manusia yang tertutup, tak memiliki ufuk dan tak kan memahami sesuatu. Namun seseorang yang memiliki ufuk akan senantiasa terbuka dan ufuknya tak berakhir. Ufuk yang tak berakhir tersebut akan memberikan keluasan hingga tak ada akhirnya. Berdasarkan hal ini, orang-orang yang memiliki ufuk memiliki keluasan dan keterbukaan.

Filsafat tak kan pernah mengajak manusia pada kejumudan dan eksklusifitas. Filsafat yang mengajak pada eksklusifitas, bukan filsafat. Mungkin saja ada yang mengatakan sebagian ajaran ideologi tak memiliki aspek keterbukaan dan cendrung eksklusif. Bahkan sebagian meyakini ideologi suatu keyakinan dusta yaitu hakikat yang dusta. Mereka mengatakan ideologi tak mungkin memiliki aspek terbuka. Sebab itu agama tidak kita anggap sebagai ideologi. Berdasarkan hal itu pula, agama adalah agama yang memiliki aspek batin. Agama pasti memiliki aspek batin yang menunjukkan ketidakterbatasan maknanya.

Jika ada ideologi yang mengajak pada ketebukaan, tentu bukan ideologi namun filsafat. Bahwa ada ideologi yang mengajak pada keterbukaan adalah suatu hal yang baru, karena keterbukaan bermakna menunjukkan sesuatu yang tak memiliki batasan tertentu.

Perlu dipahami bahwa ideologi yang kita kenal saat ini adalah suatu pemikiran yang memiliki batasan dan bingkai tertentu. Namun jika ada yang mengatakan bahwa filsafat islam dan tasawwuf adalah sebuah ideologi pemikiran islam, anggapan ini tidak berdasar dan tak beralasan. Karena tokoh seperti Mulla Sadra tak dapat dianggap sebagai seorang ideolog. Ideologi adalah suatu pemahaman yang berasal dari barat yang tak ditemukan sebelumnya dalam tradisi filsafat islam dan tasawwuf. Akan tetapi mungkin saja ada orang yang menganggap filsafat islam dan tasawwuf sebagai ideologi namun yang pasti orang tersebut hidup di era dan priode kini.

Ideologi adalah pemikiran yang memiliki bingkai dan batasan yang tak mungkin keluar dari batasan tersebut. Ideologi memiliki batasan tertentu dan sang ideolog tak mungkin keluar dari batasan yang telah di tetapkan. Ideologi tak memberikan ruang pemikiran yang lebih luas kepada manusia. Dalam Marxisme anda tak lagi berpikir dan kekuatan berpikir telah dinafikan dari anda sebab anda tak bisa lagi keluar dari batasan pemikiran Marxisme. Artinya selama anda tak mampu mengeritiknya berarti anda mesti terus berada dalam bingkai pemikirannya. Inilah alasannya mengapa Marx sendiri mengatakan, "Aku adalah Marx, namun bukan Marxisme". Marx berkata demikian sebab Marx adalah seorang filsuf. Meskipun Marxisme berasal dari Marx namun Marx tak ingin menjadi seorang ideolog. Berbeda dengan Stalin dan Lenin, keduanya adalah Marxisme. Seorang filsuf tak kan pernah rela menjadi seorang ideolog.

Disini ada pertanyaan, apakah prinsip agama tak bisa disebut sebagai ideologi? Dalam menjawab pertanyaan ini, perhatikan contoh berikut ini; tauhid salah satu prinsip utama dalam agama. Lalu apa makna tauhid? Jika anda mengatakan maknanya Tuhan itu satu, namun 'satu' manakah yang dimaksud apakah satu yang berbilang atau satu yang sejati yang tak mungkin meniscayakan dua? Jika agama sebuah ideologi dan mengatakan pada anda bahwa satu yang dimaksud adalah satu yang berbilang, tentu anda tak lagi bisa mengatakan akidahnya salah. Ideologi terkait dengan perkara yang bersifat profan. Hal yang bersifat profanlah yang bisa dianggap sebagai ideologi.

Hal yang bersifat sacred, sumbernya bukan dari profan. Ideologi meniscayakan ketidakluasan namun agama Ilahi dari sisi kedalaman tak berakhir. Berbeda dengan ideologi yang telah memiliki bingkai tertentu yang tak mungkin lagi di konsepsi tanpa bingkai tersebut.

Jalan agar manusia memiliki aspek keterbukaan adalah melalui tafakkur dan berpikir dengan baik. Seberapa banyak manusia berpikir, sebesar itulah keterbukaan yang dimilikinya. Hakikat dirinya akan terbuka dan semakin meluas sehingga hakikat wujudnya pun semakin meluas. Berdasarkan hal tersebut, semakin sempit pemikiran seseorang, semakin sempit pula eksistensi wujudnya. Kata Sokrates, ketika angin pemikiran menghempas seseorang, biasanya orang tersebut lari bersembunyi di sudut tertentu dan mencari perlindungan. Namun aku (Sokrates) akan mengusung dadaku melawan angin pemikiran tersebut.