Pendahuluan
Persoalan
Tuhan tak pernah surut untuk dikaji. Bagi mereka yang tak meyakini Tuhan
berusaha membuktikan penafian keberadaan Tuhan sebagaimana yang kita saksikan
dalam argumentasi-argumentasi mereka. Sebaliknya, bagi mereka yang meyakini
Tuhan senantiasa memperbaharui argumentasi-argumentasi tentang Tuhan, baik itu
berkenaan dengan keberadaan-Nya maupun berkenaan dengan sifat-sifat-Nya. Namun
usaha kaum ateis selalu saja gagal dalam membunuh Tuhan, mereka lupa bahwa
jalan menuju Tuhan sebanyak nafas manusia. Jalan terbaik menuju Tuhan adalah
jalan fitrah karena tak lagi butuh pembuktian dan tak butuh argumentasi karena
dapat dirasakan secara langsung. Fitrah manusia berpotensi merasakan langsung
kehadiran Tuhan, khususnya fitrah yang belum terkontaminasi dengan hal-hal yang
negatif.
Selain
pembahasan pembuktian keberadaan Tuhan, persoalan mengenai sifat-sifat Tuhan
termasuk persoalan yang menarik dan penting untuk disuguhkan kembali.
Akhir-akhir ini masyarakat kembali menyorot pernyataan yang ‘menghebohkan’
yaitu ‘tuhan membusuk’ yang diangkat oleh salah satu kampus negeri islam dalam
acara ospek mahasiswa. Kami tidak akan membahas persoalan ini. Kami hanya ingin
mengingatkan, meskipun persoalan Tuhan dapat dipahami secara fitrah yang tak begitu membutuhkan argumentasi dan
pembuktian, namun perlu memahamkan dengan baik konsep-konsep tentang Tuhan
sehingga tidak terjebak dalam persoalan seperti itu. Pemahaman ini tentu
membutuhkan sebuah pendekatan dan pendekatan yang terbaik adalah melalui
pendekatan filosofi karena hanya dengan pendekatan filosofi mampu menjawab
beragam keeambiguan mengenai persoalan konsep Tuhan.
Perkataan
Imam Ridha Tentang Sifat Tuhan
Sebagaimana
dipahami bahwa Tuhan adalah hakekat yang tak terbatas, tak terhingga, tanpa
akhir, tak ada bagi-Nya ruang dan waktu, tak disifatkan pada-Nya ‘mana’ dan
‘kapan’, bahkan pertanyaan mengenai ‘kebagaimanaan’ tak lagi bermakna bagi-Nya.
Tak ada pertanyaan tentang ‘awal’ dan ‘akhir’. Dia adalah wujud yang tak
terbatas dan meliputi segala realitas serta hadir dalam segala ruang dan waktu.
Salah
satu hadits yang menarik dari Imam Ridha as berkenaan dengan penafian
sifat-sifat pada Tuhan. Dalam kitab Tauhid Syekh Shoduq Imam Ridha as
menjelaskan,’sistem tauhid Allah adalah dengan menafikan sifat-sifat atas-Nya’[1].
Pertanyaannya adalah bagaimana kita memaknai pernyataan Imam berkenaan dengan
penafian sifat-sifat Tuhan. Bukankah Tuhan disifatkan dengan sifat-sifat
MahaPencipta, MahaPemberi rezeki, MahaPengampun, dan sifat-sifat lainnya ?
Dalam
Nahjul Balaghah Imam Ali as juga menjelaskan hal yang sama berkenaan
dengan penafian sifat Tuhan. Dalam khotbah pertama Imam Ali as menjelaskan, ‘.
. . dan kesempurnaan kesucian-Nya ialah menolak sifat-sifat-Nya . . .[2]
.
Baik
Imam Ali as maupun Imam Ridha as menjelaskan tentang penafian sifat-sifat
Tuhan. Dalam menjelaskan persoalan ini, sebelumnya perlu dipahami bahwa hakekat
Tuhan itu tak terbatas. Ketidakterbatasan Tuhan tersebut sekaligus menjelaskan
kepada kita bahwa terdapat satu maqam dimana hakekat-Nya tak mungkin digapai.
Dalam Nahjul Balaghah khotbah pertama juga dijelaskan, ‘. . . orang
yang tinggi kemampuan akalnya tak dapat menilai, dan penyelaman pengertian tak
dapat mencapai-Nya . . .[3] .
Hakekat yang tak mungkin diraih ini oleh para teolog, filsuf, dan arif
menyebutnya dengan maqam zat. Imam Ridha as menjelaskan, ‘adapun pelarangan
sifat-sifat tersebut ialah pada zat-Nya’[4]
Penafian
Sifat-Sifat Tuhan pada Maqam Zat
Berdasarkan
pembahasan sebelumnya, penafian sifat Tuhan ini tidak bersifat mutlak.
Maksudnya penafian sifat Tuhan tersebut tidak berlaku pada seluruh maqam Tuhan.
Hanya pada maqam zat saja penafian sifat-sifat kepada Tuhan tersebut
dibenarkan. Oleh karenanya seluruh sifat-sifat yang disifatkan kepada Tuhan
adalah setelah maqam zat, bukan pada maqam zat. Dalam kata lain, Tuhan pada
maqam zat hanya bisa dipahami dalam bentuk negasi (salbī). Berdasarkan
hal ini, gagasan teologi negasi (ilahiyah salbīyah) dapat dibenarkan
jika persoalannya dibatasi pada maqam zat. Karena maqam setelah zat dapat
dipahami sifat-sifat-Nya sebagaimana Quran sendiri memperkenalkan sifat-sifat
Tuhan kepada kita dan tak mungkin Quran memperkenalkan kepada manusia jika
manusia tak mampu memahaminya.
Terdapat
beberapa dalil dalam membuktikan bahwa zat Tuhan bukan lokus penyifatan
berbagai sifat:
- Dalam
kitab Ushūl Kāfī Imam Ridha as memaparkan alasan mengapa tidak diperkenankan
menyifatkan sifat-sifat kepada zat Tuhan. Kesimpulannya bahwa jika kita
menyifatkan satu sifat tertentu kepada zat Tuhan maka akan meniscayakan
pembatasan terhadap zat Tuhan yang tak terbatas.[5]
Qadhi Sa’id Qummi dalam mengomentari pernyataan Imam Ridha as menjelaskan,
‘sifat-sifat tersebut tidak bisa dipredikatkan kepada zat Tuhan karena
jika sifat-sifat dilekatkan kepada-Nya, Dia yang tak terbatas menjadi
terbatas disebabkan mempersepsi sifat-sifat-Nya. karena ‘zat sebagaimana zat’ lebih dahulu dari
sifat, baik itu sifat dalam pengertian zat itu sendiri, maupun sifat dalam
pengertian diluar dari zat. Dan juga akan melazimkan bahwa meskipun sifat berada
setelah maqam zat namun terbatas, tentu hal ini bertentangan
ketidakterbatasan-Nya dan ketakterhinggaan-Nya’[6].
- Argumentasi
selanjutnya dari Imam Ridha as, ‘oleh karena penyaksian akal bahwa
segala sifat dan yang disifatkan adalah makhluk’[7].
Segala sifat dan yang disifatkan adalah makhluk dan makhluk ini mumkin
wujud. Jika Tuhan adalah wajibul wujud maka tak mungkin ‘mumkin wujud’
disematkan kepada diri-Nya. Oleh karena itu sifat yang dimaksud disini
adalah sifat yang tidak sepadan disematkan kepada subjek yang disifatkan.
Maksudnya sifat-sifat makhluk tidak mungkin disematkan kepada Tuhan. Imam
Ali as dalam lanjutan khotbahnya mengatakan, ‘. . . dan kesempurnaan
kesucian-Nya ialah menolak sifat-sifat-Nya, karena setiap sifat merupakan
bukti bahwa sifat itu berbeda dengan apa yang kepadanya hal itu
disifatkan, dan setiap sesuatu yang kepadanya sesuatu disifatkan berbeda
dengan sifat itu . . .’.
Dari
dua argumentasi diatas dapat dipahami bahwa pada maqam zat Tuhan, bagaimana pun
bentuk sifat tersebut, baik itu sifat adalah zat itu sendiri maupun sifat
diluar zat Tuhan, tak mungkin disematkan kepada zat Tuhan dengan alasan-alasan
tersebut. Apalagi menyifatkan sifat-sifat makhluk kepada Tuhan, sebab jika
demikian, maka subjek yang menjadi wadah penyifatan bukan Tuhan akan tetapi
makhluk.
Mulla
Sadra yang terilhami dari perkataan maksumin mengatakan, ‘sesungguhnya tak
ada konsep apapun yang menyertai wajibul wujud’[8].
Mulla Sadra meyakini jika zat Tuhan dipahami sebagai wujud murni yang tak
bercampur dengan apapun, maka tak bisa kita menarik satu konsep tertentu
darinya. Karena jika kita bisa menarik satu sifat tertentu, konsekwensinya
sifat-sifat tersebut sudah terpisah satu sama lain sehingga terjadi pembedaan,
dan pembedaan ini tentunya akan meniscayakan bilangan dan huduts (kebaruan).
Oleh
karenya Mulla Sadra meyakini bahwa zat Tuhan itu basith (sederhana).
Maksudnya bahwa zat Tuhan tidak memiliki rangkapan sama sekali. Jadi semua
sifat Tuhan satu sama lain tidak berbeda pada zat Tuhan karena peleburan
sifat-sifat tersebut pada maqam zat. Oleh karenanya pada zat Tuhan dapat kita
katakan ilmu-Nya adalah qudrah-Nya dan qudrah-Nya adalah ilmu-Nya, dan begitu
juga dengan sifat-sifat zat lainnya.
Kesimpulan
Penafian
sifat-sifat kepada Tuhan tidak berlaku pada seluruh tingkatan. Penafian sifat
ini hanya berlaku pada zat Tuhan. Oleh karenanya, penyifatan sifat-sifat kepada
Tuhan pada maqam setelah zat, bukan pada maqam zat.
Penafian
sifat-sifat pada zat Tuhan, bukan dalam pengertian bahwa zat Tuhan tidak
memiliki sifat sama sekali. Namun seluruh sifat-sifat tersebut tenggelam dalam
zat Tuhan sehingga antara satu sifat dan sifat yang lainnya identik satu sama
lain. Semunya eksis dengan satu wujud Tuhan. Inilah yang dimaksudkan Sadra
dengan kebashitan wujud Tuhan.
[1]
Syekh Shoduq, al-Tauhid, hal 34.
[2]
Syarif Radhi, Nahjul Balaghah, alih bahasa indonesia: Muhammad Hasyim
Assagaf, (Jakarta: Lentera, 1999), Cetakan ke dua, hal 3.
[3]
Syarif Radhi, Nahjul Balaghah, hal 3.
[4]
Syekh Shoduq, al-Tauhid, hal 290.
[5]
Kulaini, Ushūl Kāfī, Jil 1, hal 187.
[6]
Qadhi Sa’id Qummi, Syarh Tauhid al-Shadūq, Jil 1, hal 258.
[7]
Syekh Shoduq, al-Tauhid, hal 35.
[8]
Mulla Sadra, al-Asfar al-Arba’ah, Jil 6, hal 107.