"Hari ini, tasawwuf adalah sebuah nama tanpa hakikat,
Dahulu, adalah hakikat tanpa nama."
~ Ali ibnu Ahmad
Oleh Muhammad Nur Jabir
1. Tasawwuf adalah sebuah nama yang menuai kontrofersial di kalangan muslim. Padahal tasawwuf sebenarnya hadir untuk menjelaskan hakikat batin keimanan dalam Islam. Dan berdasarkan nama ini, sebagian mengatakan tasawwuf penyebab kemunduran Islam dan sebagian lainnya menyatakan sebagai hal tanda kemuliaan Islam.
2. Makna lain dari istilah tasawwuf adalah makrifat atau irfan. Dalam bahasa ingris biasanya diterjemahkan dengan kata “knowledge” atau “recognition”. Namun kata “Gnosis” lebih sesuai karena kata ini menunjukkan suatu pengetahuan tertentu yang lebih dalam yang diperoleh melalui ketergoncanagan batin. Pengetahuan yang dimaksud berasal dari satu hadits yang populer di kalangan sufi “siapa yang mengenal dirinya, mengenal Tuhan-Nya”.
3. Hadits ini menjelaskan bahwa makrifat tasawwuf yaitu pengetahuan atas Ilahi mesti sejalan dengan pengetahuan atas diri. Pengetahuan seperti ini hakikatnya tak mungkin ditemukan di buku-buku, sebab pengetahuan ini, bahkan saat ini pun telah hadir di hati kita. Namun karena kejahilan dan kelalaian sehingga pengetahuan tersebut tersembunyi.
4. Banyak tokoh-tokoh sufi yang terkenal. Tiga tokoh fenomenal berikut ini, juga terkenal di barat: Ibnu Arabi, Jalaluddin Rumi, dan Al-Hallaj. Meskipun sebenarnya sangat banyak sekali tokoh-tokoh fenomenal namun belum diteliti secara serius karya-karya mereka. Namun perlu dipahami, apa yang mereka lukiskan, hanya sebagian kecil saja dari fenomena sufistik.
5. Tasawwuf adalah salah satu pendekatan dalam meraih keimanan. Sufi menitikberatkan pengetahuannya kepada hati, bukan nalar atau akal. Di dalam hatinya mengalir suatu bentuk hubungan antara dirinya dengan Ilahi yakni hubungan secara langsung antara dirinya dengan Ilahi.
6. Kaum sufi juga meyakini Quran dan Hadits sebagai pengetahuan yang paling tinggi. Selain itu, satu-satunya jalan memahami wahyu adalah melalui hati yang suci sehingga pemaknaan tersebut diraih langsung melalui Ilahi, sebagaimana dalam surah Al-Baqarah (2):282, “. . . bertakwalah kepada Allah, dan Allah yang akan mengajarkanmu . . .” itu sebabnya, Takwa dianggap sebagai nilai yang paling tinggi. Kata seorang sufi, “pengetahuanmu dari generasi ke generasi, kau peroleh dari orang-orang yang telah meninggal, namun pengetahuan kami, diperoleh dari hakikat yang tak pernah mati”.
7. Pengetahuan secara langsung ini bagi para sufi terkadang disebut dengan “Kasyf”. Dan kasyf atau ketersingkapan umumnya terejawantahkan dalam bentuk imajinasi, terutama dalam menjelaskan Tuhan, alam, dan manusia. Tak heran jika sebagian besar sufi, menjelaskan penyingkapannya melalui bait-bait syair. Sampai ada yang mengatakan, syair adalah jalan terbaik dalam mengungkapkan rahasia-rahasia hakikat Ilahi.
8. Rahasia-rahasia Ilahi umumnya bersifat paradoks. Aspek paradoks ini berasal dari hakikat Tuhan yang tak terbatas. Misalnya dalam surah Al-Hadid:3, “Dia-lah Awal dan Akhir, Zahir dan Batin”. Ayat ini ingin menjelaskan bahwa logika memahami Tuhan berbeda dengan logika yang kita gunakan dalam keseharian kita. Logika keseharian adalah logika terbatas sedangkan wujud Ilahi adalah wujud yang tak terbatas. Sehingga bahasa yang biasa digunakan dalam melukiskan Ilahi biasanya bersifat paradoks. Dia segala sesuatu namun Dia bukan itu. Dia jauh sekaligus dekat. Dia ghaib dan juga hadir.
9. Para Sufi setelah melakukan mujahadah yang panjang dengan cara tazkiyatunnafs atau membersihkan jiwa, cinta, rahmat, dan makrifat Ilahi, jika rasa yang hadir di dalam dirinya semakin bertambah, kekuatan nalarnya akan sirna, dan lebih memilih bahasa paradoks. Namun maqam paradoks bukan maqam tertinggi sebab maqam tertinggi adalah yang mampu melewati kefanaan seperti Rasulullah saw.
10. Ada tiga tahap kefanaan dalam tasawwuf; fana, sadar setelah fana, dan baqa setelah fana. Ketiga tahap ini diperoleh dengan proses tazkiyatunnafs dan menyerahkan segala eksistensinya kepada Ilahi. Kemudian ia akan sampai dimana eksistensi dirinya menerima cahaya Ilahi. Cahaya Ilahi yang teramat dahsyat ini akan menghalangi dirinya menyaksikan dirinya sendiri. Dan pada saat itulah ia akan sadar bahwa dirinya tiada dan hanya Ilahi sebenar-benarnya hakikat.
11. Istilah Baqa dan Fana bisa ditemukan dalam Quran surah Arrahman (55): 26-27, “Semua yang ada di bumi itu akan binasa”, “dan hanya Dzat Tuhan-mu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan tetap kekal”. Pada akhir ayat ini, dua nama Tuhan disebutkan, Zul-Jalali wal Ikram, kedua nama itu untuk mengiringi perjalanan spiritual manusia. melalui kedua nama itu kita mesti sadar bahwa segala sesuatu punya dua sisi dan manusia mesti sampai kepada dua nama tersebut. Jalaliyah mengisyaratkan sifat agung, berjarak, murka, dendam, memiliki, dan transenden. Aspek Jalaliyah akan memfanakan eksistensi sesuatu. Namun di sisi lain ada Zul-Ikram yang menjelaskan aspek Jamaliyah, seperti cinta, kasih, sayang, pemaaf, pengampun. Aspek Jamaliyah adalah memberikan kemuliaan dan keabadian atas eksistensi sesuatu.
12. Inti dari Fana adalah menafikan selain Dia sebagaimana yang tertera dalam syahadat. Sedangkan Baqa’ adalah mengafirmasi bahwa hanya Ilahi yang hakiki dan sejati.
13. Dalam membandingkan antara Fana dan Baqa, kita mesti memahami bahwa yang sejati adalah Baqa’ bukan Fana. Sebab pada Baqa’ menegaskan eksistensi yang sejak dahulu ada sedangkan Fana menafikan sesuatu yang secara hakikat benar-benar tiada. Lā ilaha adalah menafikan segala bentuk hakikat yang dusta. Sedangkan illallah adalah mengafirmasi kebaqaan Ilahi.
14. Kefanaan (dalam sastra sufi biasanya disimbolkan dengan mabuk) adalah salah satu tanda utama dalam tahapan derajat suluk bagi seorang sufi. Namun hal ini tidak berarti bahwa tidak ada lagi kesadaran dalam kefanaan. Namun yang dimaksud bahwa segala eksistensi dirinya telah mengalir eksistensi Ilahi sehingga dia menyaksikan alam eksternal dengan pandangan Ilahi.
15. Kefanaan adalah buah dari penyaksian Ilahi. Kemudian pada umumnya para Sufi biasanya membahasakan Tuhan dengan cinta dan para pencari Tuhan mereka sebut dengan sebutan para pecinta. Para Sufi dalam persoalan ini juga terilhami dari ayat Quran surah Ali-Imran (3);31, “. Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku . . .”.