Pertanyaan utama dalam gagasan
ini ialah apa maksud tentang cahaya dalam pandangan Suhrawardi ? karena
sebagaimana kita pahami bersama, pondasi dan fokus utama dalam kajian filsafat
iluminasi Suhrawardi ialah mengenai cahaya. Suhrawardi terkadang menyebutnya
dengan ‘ilmu al-anwar’ atau ‘fiqh al-anwar’.
Suhrawardi memandang cahaya
sebagai perkara yang badihi. Jelas dan tak butuh definisi. Menurut Suhrawardi,
jika wujud tak butuh definisi dan penjelasan, dikarenakan wujud adalah sesuatu
yang nampak, maka tak ada sesuatu yang lebih nampak dibanding dengan cahaya.
Oleh karena itu, dibandingkan dengan wujud, cahaya lebih tidak membutuhkan definisi dan penjelasan.
Menurut Suhrawardi, cahaya adalah
‘yang nampak’ sehingga filsafat Suhrawardi didasarkan pada apa yang nampak. Ia
mendasarkan filsafatnya pada objek yang paling diketahui secara pengalaman,
bukan pada konsep-konsep yang paling general dan universal. Kemudian disisi
lain sesuatu yang diperhadapkan dengan cahaya adalah kegelapan dimana kegelapan
tak lain dan tak bukan kecuali ‘ketiadaan cahaya’ saja. Namun mesti dipahami,
ketiadaan disini bukan ketiadaan yang diperhadapkan dengan malakah, namun ketiadaan
disini seperti afirmasi yang diperlawankan dengan negasi.
Quthbuddin Syirazi dalam
mendefinisikan cahaya menurut Suhrawardi mengatakan, wujud dan ketiadaan
analoginya seperti nampak dan tersembunyi atau cahaya dan kegelapan. Jadi
keluarnya suatu keberadaan dari ketiadaan menuju keberadaan seperti keluarnya
dari ketersembunyian pada penampakan atau dari kegelapan menuju cahaya. Karena
itu menurut Suhrawardi, wujud itu seluruhnya adalah cahaya. Meskipun disisi
lain terkadang cahaya disamakan dengan niscaya (wujub) sedangkan kegelapan
disamakan dengan mumkin. Begitu pula dengan penafsir lainnya seperti Syahrzuri
yang meyakini bahwa wujud adalah cahaya.
Mulla Sadra memaknai cahaya
sama dengan makna wujud. Maksudnya wujud dan cahaya adalah dua kata yang
diabstraksi dari satu hakekat realitas eksternal. Menurutnya, wujud sesuatu
adalah penampakannya. Berdasarkan hal ini, wujud materi pun merupakan bagian
dari tingkatan cahaya. Dan oleh karena cahaya adalah kesempurnaan wujud
sebagaimana wujud maka wujud dan cahaya adalah dua kata yang menjelaskan satu
realitas. Quran (24;35) pun menjelaskan, ‘Allah adalah cahaya seluruh langit
dan bumi’. Menurut Sadra, predikasi cahaya pada wujud adalah predikasi yang
hakiki.
Meski demikian, pada saat yang
sama, kita tidak sepaham dengan mereka yang mengatakan bahwa Suhrawardi hanya
mengganti kata wujud menjadi kata cahaya karena pada tempat yang lain
Suhrawardi justru menganggap wujud sebagai perkara yang iktibari. Jika
demikian, lalu apa sebenarnya yang dimaksud dengan cahaya menurut Suhrawardi ?
Cahaya sebagaimana kegelapan
adalah sebuah simbol. Namun simbol dari hakekat realitas apakah yang ingin
digambarkan dari simbol tersebut dan mengapa Suhrawardi memulai filsafatnya
dengan simbol cahaya ? jika kita menelusuri lebih jauh gagasan-gagasan
Suhrawardi dalam teks-teks iluminasinya, akan terlihat dengan jelas bahwa
cahaya dalam filsafat iluminasi merupakan simbol kesadaran dan pengetahuan dan simbol
kesadaran realitas diri.
Suhrawardi dalam Hikmatul
Isyraq menjelaskan bahwa cahaya bermakna kesadaran atas realitas diri. Ia juga
menjelaskan bahwa karekteristik cahaya murni adalah mempersepsi realitas zat
dan bahkan mempersepsi zat hanya disematkan kepada cahaya murni semata. Karena
itu ketika membagi cahaya, Suhrawardi membagi cahaya pada cahaya di dalam
dirinya dan untuk dirinya atau cahaya murni yang bersandar pada dirinya sendiri
dan nampak bagi dirinya sendiri. Maksudnya ia mempersepsi dirinya sendiri dan
tak lalai dari dirinya sendiri.
Berdasarkan hal ini dapat
dipahami bahwa Suhrawardi membangun filsafatnya dengan idealisme iluminatif.
Maksudnya apapun cahaya bagi dirinya sendiri akan meniscayakan kesadaran diri.
Cahaya bagi dirinya sendiri adalah kesadaran atas realitas diri. Filsafat
iluminasi dibangun atas sebuah kesadaran. Realitas bagi Suhrawardi adalah
kesadaran itu sendiri dan juga sekaligus adalah cahaya. Inti realitas dapat
dipersepsi dan diperoleh secara langsung. Dalam kata lain, cahaya adalah
penampakan dan penampakan adalah persepsi atas realitas zat. Pengetahuan ini
adalah pengetahuan atas sesuatu dengan perspesi secara langsung dan tanpa perantara.
Sebuah pengetahuan huduri (kehadiran) bukan husuli (koresponden).
Bagi Suhrawardi, kesadaran atas
realitas diri, tidak mungkin diraih melalui sebuah gambaran jiwa di mental.
Karena bentuk tersebut, bukan realitas jiwa yang sebenarnya dan juga tak akan
memberikan pengetahuan. Kesadaran atas realitas diri dan tanpa melalui
perantara dengan sendirinya menjadi sebuah dasar atas kehidupan, persepsi,
aktualitas, dan pengetahuan. Sehingga maksud dari cahaya adalah hayyun
darrakun fa’al (yang hidup, yang mempersepsi,
dan aktif). Maka kegelapan adalah segala sesuatu yang tak memiliki kehidupan,
persepsi, dan penampakan atau aktualitas. Berdasarkan hal ini, perbedaan antara
materi dan immateri pada hidup dan persepsi. Segala yang hidup pada zat dirinya
sendiri adalah cahaya immateri dan segala cahaya immateri adalah hidup
berdasarkan atas zat dirinya sendiri. Maka segala yang memiliki kesadaran,
pasti cahaya immateri.
Maad dalam Filsafat Iluminasi
Maad dalam pemikiran Suhrawardi
ialah meninggalkan alam kegelapan-kegelapan menuju iluminasi cahaya-cahaya. Suhrawardi
menjelaskan persoalan maad pun berdasarkan pondasi pemikirannya; cahaya dan
kegelapan. Dalam pandangan Suhrawardi, tak lagi bisa digambarkan ketiadaan bagi
cahaya mujarrad (jiwa) setelah terpisah dari badan. Karena cahaya mujarrad tak
meniscayakan ketiadaan dirinya karena jika dimungkinkan, sejak awal dirinya tak
mungkin ada. Dan begitu pula, tak mungkin tiada jika dilihat dari sebabnya dan
sumber keberadaannya karena sebabnya adalah abadi dan tak pernah berubah.
Ketikan cahaya mujarrad
terpisah dari kegelapan-kegelapan, dirinya akan kekal mengikuti sebabnya yaitu Nur
Qāhirah. Jiwa-jiwa
yang suci dan mengikuti proses tazkiyah, setelah terpisah dari badannya, akan
terkoneksi dengan alam cahaya. Jiwa yang bentuknya seperti ini, tidak mengalami
perpindahan (reinkarnasi) atau mengalami proses pensucian kembali karena
jiwanya telah suci. Namun jiwa-jiwa yang tidak sempurna dalam pengetahuan,
kesucian, dan tazkiyah, tidak akan tersambung dengan alam qudsi. Setelah meninggal
dan jiwanya terpisah dari badan, jiwanya akan terkoneksi dengan alam suwar
mu’allaqah atau mitsal mu’allaqah dengan badan barzakhi yang
disesuaikan dengan amal-amal, akhlak-akhlak, dan kecendrungan-kecendrugan dirinya.
Berdasarkan hal tersebut,
Suhrawardi menerima konsep reinkarnasi (tanasukh) yang disebut dengan
perpindahan bagi jiwa-jiwa yang tidak sempurna dalam proses tersebut. Suhrawardi
sebagai pengikut aliran Platonis meyakini konsep reinkarnasi namun berbeda
dalam menjelaskan ‘perpindahan’ yang dimaksud. Suhrawardi meyakini bahwa jiwa
yang tidak sempurna akan berpindah dari badan yang satu kepada badan yang lain
yang bukan badannya yang pertama. Maksud dari perpindahan tersebut adalah pada
badan mitsali, bukan pada badan materi.
Derajat Jiwa setelah Kematian
Suhrawardi membagi tingkatan
jiwa manusia setelah kematian berdasarkan pada derajat kesucian dan pengetahuan
yang manusia raih semasa hidup di alam dunia ini. Oleh karena itu
perbedaan-perbedaan derajat pengetahuan bagi jiwa manusia dapat dibagi menjadi
tiga bagian; 1) su’ada; yaitu mereka yang ketika hidup di dunia ini
telah sampai pada kesucian pada tingkatan tertentu. 2) Asyqiya; yaitu
jiwa-jiwa yang gelap dikarenakan keburukan dan kejahilannya ketika di dunia. 3)
mereka yang telah sampai pada maqam wilayah dan iluminasi. Mereka adalah ahli
hikmah (filsuf yang muta’allihin).
Jiwa-jiwa pada tingkatan
pertama, setelah kematian akan terkoneksi dengan mutsul mu’allaqah. Disana
mereka akan merasakan kenikmatan-kenikmatan seperti suara-suara yang merdu, bau
aroma sedap, dan beragam rasa yang nikmat. Kenikmatan yang ada di alam ini
adalah bayangan dari kenikmatan yang ada di alam sana. Jiwa-jiwa pada tingkatan
kedua akan terkoneksi dengan alam suwar mu’allaq dan akan merasakan
derita alam imajinasi dimana alam kegelapan adalah kekuatan-kekuatan iblis dan
para jin. Sedangkan jiwa-jiwa pada tingkatan ketiga adalah jiwa-jiwa urafa dan
auliya. Setelah terpisah dari badannya, mereka akan naik bahkan melewati alam
para malaikat. Disanalah mereka akan memperoleh kebahagiaan dikarenakan
kedekatan mereka kepada nur al-anwar. Jiwa-jiwa mereka adalah jiwa-jiwa
yang suci sehingga mampu naik ke alam cahaya dan terkoneksi dengan alam cahaya
qudsi.
Syahrzuri dalam mengomentari
gagasan Suhrawardi tentang tingkatan jiwa, menambahkan satu tingkatan sehingga
menjadi empat tingkatan jiwa. 1) mereka yang sempurna dalam dua aspek; ilmu dan
amal. 2) mereka yang tak sempurna dalam keduanya, baik ilmu dan amal tidak
sempurna. 3) mereka yang sempurna hanya pada ilmu saja, tak sempurna dalam
amal. 4) mereka yang sempurna dalam amal saja, tak sempurna dalam ilmu. Golongan
pertama adalah orang-orang muqarrabin yang telah sampai menyaksikan nur
al-anwar sehingga mereka sampai pada puncak kebahagiaan. Golongan kedua
adalah mereka kekal di neraka yaitu orang-orang yang sempurna dalam
penderitaannya. Golongan ketiga adalah orang-orang menengah dalam kebahagiaan. Maksud
dari golongan su’ada menurut Suhrawardi adalah golongan ketiga ini. Setelah
manusia terpisah dari badannya, selanjutnya akan terkoneksi dengan alam mutsul
mu’allaqah nuraniyah yang merupakan manifestasi dari sebagian ajram
falakiyah dan alam barzakh.
Menurut Mulla Hadi Zabzawari,
jiwa yang sempurna pada dua aspek, setelah terpisah dari badannya, secara
langsung akan terkoneksi dengan alam akal tanpa mesti singgah di alam mitsal. Namun
mereka yang dalam posisi pertengahan yang hanya sempurna dalam ilmu saja, namun
kurang dalam amal, setelah berhenti di alam mitsal, akan melanjutkan
perjalannya ke alam akal. Menurut Zabzawari, sempurna dalam ilmu berhak untuk
memiliki maad ruhani. Alasannya karena ketika di dunia mereka telah memiliki
pengetahuan dan makrifat sehingga ketika meninggal kelak mereka akan
menyaksikan pengetahuannya di alam akal.
Namun mesti dipahami, baik Suhrawardi
maupun Syahrzuri sama-sama menegaskan bahwa alam imajinasi sebagai wadah bagi su’ada
yang akan memperoleh kenikmatan dan wadah bagi asyqiya yang akan
memperoleh azab, berbeda dengan alam ide platonis karena alam ide platonis
adalah alam akal. Sedangkan alam imajinasi adalah mutsul mu’allaqah yang
terbagi menjadi dua bagian; nurani (cahaya) sebagai wadah bagi su’ada
dan ruhani kegelapan sebagai wadah bagi asyqiya.
Kenikmatan dan Persepsi
Dalam filsafat iluminasi, ada
kaitan yang sangat erat antara cahaya dan persepsi sebagaimana yang telah
dijelaskan sebelumnya dalam memaparkan hakekat cahaya. Disini juga terlihat keterikatan
yang sangat erat antara realitas dengan epistemologi. Karena itu persoalan
kenikmatan tak terpisahkan dari persoalan makrifat.
Suhrawardi dalam mendefinisikan
nikmat dan derita mengatakan, nikmat adalah sampainya kepada kesempurnaan dan
kebaikan dimana tak ada yang menghalangi dalam meraihnya dan mempersepsinya. Dan
derita adalah sampainya kepada keburukan dan kerugian dimana tak ada yang
menghalangi dalam meraihnya dan mempersepsinya.
Kenikmatan dan penderitaan jiwa sangat
bergantung kepada makrifat dan persepsi. Kemudian disisi lain, terdapat relasi antara
cahaya dan cinta serta nikmat. Cinta adalah buah dari makrifat dan disisi lain,
mempersepsi cinta dan meraihnya akan menghasilkan kenikmatan. Hubungan ini
dijelaskan dengan mengeksplorasi realitas cahaya, bahwa cahaya adalah
pengetahuan dan maksud dari cinta adalah kecendrungan dan tawajjuh. Maksudnya jiwa
seseorang yang telah disifatkan dengan sifat-sifat yang baik dan selama
hidupnya telah mampu mempersepsi hakekat-hakekat sesuatu, maka kecendrungannya
kepada alam cahaya akan semakin besar karena cinta adalah buah dari
pengetahuan. Semakin besar cintanya maka kebutuhannya kepada alam barzakh
semakin sedikit namun ingin lebih dekat kepada nur al-anwar, sehingga
kenikmatan dan ketersampaian bergantung pada besarnya cinta.