Introduction
Pembahasan walaya merupakan pembahasan penting dalam
pandangan dunia mistis. Bisa dikatakan hampis semua sufi membahas mengenai
persoalan walaya. Salah satunya adalah Ibn Arabi, pembahasan walaya
dieksplorasi lebih jauh dalam berbagai karya Ibn Arabi khususnya dalam karya
emasnya Fushusul Hikam.
Hampir seluruh komentator terhadap Fushusul Hikam
mengakui kerumitan yang ada dalam pembahasan Fushus. Oleh karena itu dibutuhkan
kunci tertentu untuk memahami teks yang ada di Fushusul Hikam. Kunci tersebut
bisa ditemukan pada murid–murid Ibn Arabi yang bersentuhan langsung dengannya.
Salah satu murid yang sangat berjasa menjelaskan teks–teks Ibn Arabi adalah
Shadaruddin Qunawi dan murid–murid Qunawi seperti Jandi. Dalam makalah ini kami ingin menjelaskan mengenai
walaya dalam perstektif Toshihiko Izutsu dalam bukunya ‘Sufism and Taoism’
Walaya dalam persektif Izutsu
Sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya bahwa
gagasan Izutsu tentang walaya akan kami bahas dalam bukunya Sufism and Taoism
khususnya pada pasal 16. Pada pasal ini Izutsu membahas konsep walaya dan
dikaitkan dengan pembahasan kerasulan dan kenabian.
Makna Walaya secara Umum
Menurut Izutsu konsep walaya merupakan konsep yang paling
luas diantara konsep yang ada karena meliputi konsep ‘nubuwwah’ dan ‘risalah’.
Izutsu dengan mengutip pandangan Qasyani meyakini bahwa setiap Rasul adalah
Nabi dan setiap Nabi adalah Wali akan tetapi tidak sebaliknya. Menurut Izutsu
hubungan diantara ketiganya agak kompleks dan rumit dalam gagasan Ibn Arabi.
Menurut Izutsu, Wali adalah salah satu nama dari nama-nama
Tuhan. Berbeda dengan Rasul dan Nabi yang merupakan karekteristik dari nama–nama
manusia dan bukan dari nama–nama Tuhan. Dari sini bisa terlihat jelas perbedaan
diantaranya dimana Wali adalah nama dari Al-Haqq itu sendiri tapi tidak bisa
dinisbahkan kepada-NYA nama Rasul dan Nabi.
Dalam hal ini Izutsu ingin menjelaskan bahwa tidak semua
nama bisa dinisbahkan kepada Tuhan walaupun nama tersebut memiliki nilai sakralitas
yang tinggi seperti nama Nabi dan Rasul, dimana Nabi dan Rasul tidak termasuk
dari nama–nama Tuhan. Disini juga letak kunci mengapa Izutsu menyebut konsep
Walaya lebih luas dibandingkan Rasul dan Nabi karena walaya adalah derajat
tertinggi yang dimiliki seseorang. Oleh karena itu Wali adalah sebuah nama yang
bisa dinisbahkan kepada Al-Haqq dan juga kepada manusia. Nama tersebut dimiliki
secara bersama– sama, baik oleh Al-Haqq dan juga manusia. Namun untuk mencapai
maqam tersebut manusia harus mencapai puncak pengetahuan yang tertinggi
terhadap Al-Haqq dan pada saat itulah dia berhak untuk menyandang predikat Wali.
Dalam pandangan Izutsu Wali adalah yang mereka yang telah
mampu melampaui batas – batas ubudiyah sehingga dia bisa sampai pada derajat
rububiyah. Izutsu menambahkan bahwa kemampuan seorang Arif menembus batas –
batas ubudiyah sehingga naik ke atas dikarenakan dirinya telah tenggelam dalam
Al-Haqq.
Lanjut, Izutsu kemudian menjelaskan mengapa dialam ini
tidak pernah kosong dari walaya. menurutnya hal tersebut dikarenakan Wali
adalah salah satu nama diantara nama–nama Tuhan, maka sebagaimana Tuhan senantiasa
abadi, tentunya nama–namaNYA pun akan tetap abadi. Oleh karena itu selama masih
ada manusia yang sampai pada maqam walaya maka alam ini akan senantiasa ada dan
kokoh.
Namun berbeda dengan risalah dan nubuwwah yang telah
berakhir pada Rasullullah saw sebagai ‘khatamannabiyyin’. Setelah Rasulullah
saw, tidak ada lagi Nabi Tasyri’ (pembawa hukum– hukum syariat yang dia
dapatkan langsung dari Tuhan) tapi yang ada adalah nubuwwah ‘aam’ yaitu
nubuwwah tanpa tasyri’ atau walaya itu sendiri. Menurut Izutsu risalah dan
nubuwwah tersebut sangat bergantung kepada syarat–syarat kondisi yang ada,
karena itu hal tersebut bisa saja hadir dan juga menghilang.
Dari pembahasan diatas Izutsu menyimpulkan pandangan yang
disampaikan oleh Ibn Arabi dengan membagi nubuwwah kedalam dua bagian : pertama
nubuwwah tasyri’ dan yang kedua adalah nubuwwah tanpa tasyri’ namun syariatnya
mengikuti Nabi sebelumnya yang membawa syari’at. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa kenabian
dan kerasulan didapatkan dari derajat kewalayahannya pada setiap diri manusia sempurna. Dia tidak mungkin
akan menjadi seorang Nabi dan Rasul kecuali sebelumnya dia telah menjadi
seorang Wali. Dalam kata lain derajat risalah dan nubuwwah didapatkan dari
derajat walayah. Menurut Izutsu Nabi adalah seorang wali yang ditambahkan pada
walayahnya sebuah tanda khusus yaitu sebuah ilmu tertentu terhadap sesuatu yang
tersembunyi dan tidak diketahui. Rasul adalah seorang wali yang ditambahkan
pada walayah, dan nubuwwahnya merupakan sebuah ilmu taklif untuk menyampaikan
pesan–pesan Ilahi terhadap para pengikutnya. Dari sini bisa dipahami bahwa wali
merupakan ciri khusus seluruh insan kamil.
Definisi walaya
Izutsu menjelaskan definisi walaya sebagai pengetahuan
sempurna terhadap hakekat puncak Al-Haqq, alam, serta hubungan diantara
keduanya. Manusia yang sampai pada maqam walaya, dirinya akan sadar bahwa
dirinya merupakan jelmaan dari Al-Haqq. Oleh karena itu dalam esensinya dia
akan menyatu dengan nama Tuhan. Penyatuan inilah yang disimpulkan oleh Izutsu
sebagai ‘wahdatul wujud’.
Dalam pandangan Izutsu konsep ‘wahdatul wujud’ ini hanya
bisa didapatkan melalui fana dari dirinya dan secara sempurna sampai kepada
derajat baqa bersama Al-Haqq. Jika seseorang fana maka akan memindahkan dirinya
kepada bathin Al-Haqq dan jika demikian maka segala hakekat sesuatu akan dia
saksikan secara langsung. Oleh karena itu fana memiliki peranan yang besar dalam
menjelaskan konsep walaya. Bahkan menjadi ciri yang pertama diantara ciri–ciri
esensi seorang wali.
Dari pembahasan diatas Izutsu mencoba menjelaskan 3 kategori tahapan fana yang dia
kutip dari gagasan Ibn Arabi, diantara ketiga tahapan fana tersebut sebagai
berikut :
- Takhalluq : takhalluq adalah tahapan pertama dari
fana dan maksud dari takhalluq ini adalah ketika seluruh sifat–sifat
insaniyah seorang Arif fana dalam sifat–sifat Ilahiyah. Dalam kata lain
sifat–sifat seorang Arif tenggelam dalam sifat–sifat Ilahiyah.
- Tahaqquq : tahapan kedua dari fana ini menjelaskan
bahwa zat seorang Arif tenggelam dalam zat Al-Haqq.
- Ta’alluq : tahapan ketiga ini menjelaskan derajat
seorang Arif telah sampai pada baqa setelah fana. Kata ta’alluq sendiri
secara etimologi bermakna kebergantungan secara total. Kebergantungan
secara total ini menjelaskan ciri esesnsi dari walaya. Dalam fana seorang
Arif masih menemukan dirinya, namun dalam baqa dia hanya menemukan dirinya
tenggelam dalam zat Al-Haqq. Dirinya telah baqa dalam zat Al-Haqq, oleh karena
itu dirinya telah menyadari akan ketiadaan dirinya dan yang ada hanya
Al-Haqq. Apapun yang dia lakukan bukanlah dirinya akan tetapi Al-Haqq itu
sendiri.
Dari pembagian ketiga tahapan fana ini Izutsu
menyimpulkan bahwa walaya hanya bisa diraih melalui pengalaman fana. Fana itu
sendiri pada hakekatnya menjelaskan keluasan ilmu seorang wali, dikarenakan
dirinya telah mampu menyaksikan segala sesuatu akibat ketersambungan dirinya
kepada lautan yang tak terbatas akan singgasana Ilahiyah. Pada saat yang bersamaan
seorang Arif juga sadar bahwa segala hal tersebut terjadi didalam dirinya. Bahkan
pada puncaknya ilmu wali akan menyatu dengan ilmu Ilahi sebelum bentuk entitas–entitas
yang tak terbatas tersebut terpisah satu sama lain.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa nubuwwah
dan risalah sangat berhubungan dengan dunia ini. Perkara mereka sangat
berhubungan kehidupan alam ini karena untuk mengantarkan manusia kepada
kebahagiaan abadi yaitu akhirat. Berbeda dengan walaya yang tidak memiliki hubungan
substansi dengan alam ini. Dari hal ini Izutsu beranggapan bahwa nubuwwah dan risalah bisa dinafikan pada
pemiliknya namun walaya tidak mungkin dinafikan dalam dirinya. Oleh karena itu
diantara ketiganya yang memiliki posisi puncak adalah walaya sedangkan nubuwwah
dan risalah adalah sebuah fadhilah yang ditambahkan pada walaya. Akan tetapi
Izutsu menambahkan bahwa jika ketiganya (risalah, nubuwwah dan walaya) tidak
berkumpul pada seseorang akan tetapi pada tiga individu yang berbeda maka dalam
hal ini seorang Wali harus mengikuti Nabi dan Rasul. Alasannya dikarenakan
seorang Rasul memiliki ilmu terhadap hukum tertentu (ilmu zahir). Seorang Rasul
dengan ilmunya tersebut akan dibangkitkan kepada ummatnya sedangkan seorang
wali tidak memiliki ilmu demikian. Oleh karena itu berkenaan dengan tasyri’
seorang Wali harus mengikuti seorang Rasul pada zamannya.
Akan tetapi perlu diketahui dari satu sisi Wali lebih diatas
dari seorang Rasul. Izutsu menjelaskan hal tersebut dengan dalih bahwa seorang
Wali bukan hanya memilliki ilmu terhadap Al-Haq dan hakekat sesuatu bahkan
dirinya pun sadar bahwa dirinya memiliki ilmu tersebut. Berbeda dengan Nabi dan
Rasul yang tidak memiliki kesadaran akan ilmu tersebut.
Makna Khalifah
Izutsu menjelaskan bahwa konsep “ Insan Kamil “ jika
dikaitkan dengan konsep individualitas akan menjelma pada Wali, Nabi dan Rasul
dimana ketiga hal tersebut merupakan Khalifah Tuhan, dikarenakan mereka adalah tempat
tajalli yang paling sempurna dan paling lengkap dibumi ini. Mereka adalah manifestasi
objektif dari “ hakekat muhammadiyah “.
Makna Khatm
Kata khatm bisa dibagi menjadi dua bagian : 1) khatmul
anbiya atau khatmul rasul. 2) khatmul auliya. Yang pertama yaitu khatmul anbiya
yang pada umumnya digunakan dalam Islam dan dinisbahkan kepada Rasulullah
Muhammad saw. Kemudian yang kedua yaitu khatmul auliya atau wali terakhir.
Disini Ibn Arabi menisbahkan dirinya sendiri sebagai khatmul auliya, setidaknya
selama alam ini masih tetap eksis. Menurut Izutsu, penisbahan dirinya sebagai
khatmul auliya tidak ditegaskan dalam Fushusul Hikam, namun dalam Futuhat Ibn Arabi
secara tegas mengatakan ‘tanpa ragu sayalah khatmul auliya, pewaris Muhammad
saw dan Isa as’.
Diakhir pembahasan ini Izutsu menjelaskan pandangan Ibn
Arabi mengenai hubungan antara khatmul auliya dan khatmul rasul. Ibn Arabi
mencoba mengaitkan antara hadis Rasulullah saw dengan mukasyafahnya sendiri
(Ibn Arabi). Dalam hadits tersebut Rasulullah saw menyimbolkan dirinya sebagai batu terkahir
yang dengan batu tersebut sebuah tembok bangunan akan menjadi sempurna. Disisi
lain Ibn Arabi menyaksikan (mukasyafah) Baitullah dimana Baitullah dibangun
dari emas dan perak (dimana perak simbol dari Nabi dan emas simbol dari wali).
Dalam mukasyafah tersebut Ibn Arabi melihat dua batu yang masih tersisa, yang
satu dari emas dan satunya lagi dari perak. Dalam mimpi tersebut terasa sangat
jelas kedua tangannya tertarik untuk mengisi dinding Baitullah yang masih
kosong tersebut dengan dua batu yang masih tersisa tadi.
Menurut Izutsu ada pembahasan menarik yang dikemukakan
oleh Qashani dalam mengomentari mukasyafah Ibn Arabi. Jika kita cermati secara
sepintas antara hadits Rasulullah saw dengan mukasyafah Ibn Arabi akan terlihat
dengan jelas bahwa khatmul auliya memiliki derajat lebih tinggi dibandingkan
Rasulullah saw, dikarenakan posisi Rasulullah saw hanya melengkapi satu batu
namun khatmul auliya melengkapi dua batu. Namun pada saat yang sama Ibn Arabi
sendiri mengaitkan dirinya batu perak sebagai simbolisasi dari kepatuhan dia
secara lahiriyah kepada Rasulullah saw dan batu emas simbolisasi dari hakekat
dirinya. Dalam menjelaskan hal diatas Qashani mengingatkan kepada kita bahwa
walaupun Rasulullah saw hanya mengisi satu kekosongan saja namun beliau tetap
saja sebagai khatmul auliya. Dalam kata lain ketika beliau mengisi kekosongan
tersebut, beliau mengisinya pada maqom nubuwwah dan risalah, bukan pada maqom
wali. Dalam kata lain, Rasulullah saw tidak menampakkan dirinya dalam maqam
walaya.