Saturday, December 29, 2018

Fenomenologi Mal dan Ideologi



Bagi anda yang sering  mengunjungi Mal-Mal besar di Jakarta. Sangat mudah menjumpai beragam jenis manusia dari berbagai latar belakang ideologi dan pemikiran. Bahkan tak perlu mewawancarai satu persatu untuk menanyakan prihal keyakinan mereka. Pakaian yang mereka gunakan sedikit banyaknya menjelaskan seperti apa keyakinan mereka. Dan akan nampak lebih mudah lagi jika pengunjung Mal tersebut sudah menggunakan simbol-simbol tertentu yang  menegaskan keyakinan mereka.

Mulai dari pakaian yang terbuka sampai pakaian tertutup dan bercadar pun sangat mudah kita jumpai. Mereka para pengunjung memanfaatkan fasilitas Mal sebaik mungkin sambil bercengkrama bersama keluarga dan sahabat. Para pengunjung yang berbeda ideologi larut dalam irama suguhan-suguhan Mal. Tak terlihat perbedaan mencolok sebagai pengunjung Mal. Perbedaan suku, ideologi, dan pemikiran bukan menjadi penghalang sebagai pengunjung Mal.

Ornamen-ornamen Mal akan tampak berbeda di saat mendekati hari-hari besar. Menjelang hari raya Idul Fitri akan dihiasi dengan ornamen islami dan musiknya pun berubah. Demikian halnya sekarang ini, menjelang perayaan natal, Mal-Mal akan dihiasi dengan asesoris natal. Meski demikian, pengunjung Mal masih tetap sama dan tidak berubah. Masih dikunjungi dari berbagai kalangan dan dengan latar pemikiran yang berbeda.

Ada pertanyaan terbesik di benak saya, bagaimana jika fenomenanya terbalik? Kira-kira akan seperti apa jika lapak-lapak yang ada di Mal tersebut menjual lapak-lapaknya dengan lebel ideologi tertentu. Misalnya ‘Mie Instan Islami’, ‘Mie Goreng Natal’, ‘Mie Siram Budhis’, dan demikian halnya dengan lapak-lapak lainnya dari berbagai jenis merek. Apakah masih bisa ditemukan pengunjung yang sama dan masih dikunjungi dari berbagai kalangan? 

Memang tak mudah untuk memastikan jawabannya namun fakta menunjukkan hampir tidak ada lapak di Mal yang mengawinkan antara dagangan dan ideologi. Sebab jika relasi dagangan dan ideologi di Mal-Mal benar-benar memberikan keuntungan, tentu akan menjadi incaran kaum kapitalis mengubah Mal-Mal yang ada menjadi Mal-Mal ideologi.

Fenomenologi Mal ingin menegaskan –baik itu kita menerima atau menolaknya- bahwa kita semua adalah manusia moderen. Baik itu modernitas kita maknai sebagai sifat personal, sosial, atau pun budaya, pada akhirnya kita semua adalah manusia moderen. Namun hal yang menarik karena satu sisi, keberagamaan masih bisa hadir di tengah-tengah kemegahan Mal-Mal yang indah dan mewah.

Berangkat dari pemaparan sebelumnya, kita akan menyelami satu pertanyaan dan persoalan baru, apakah agama dan modernitas bisa menyatu? Agama manakah yang mampu mempersatukan antara modernitas dan keberagamaan? Tentu tak semua keyakinan mampu berjalan berbarengan dengan modernitas. Keberagamaan yang bisa berjalan berbarengan dengan modernitas adalah yang menempatkan esensi agama dalam aspek ruhaniah dan spiritual. Namun mereka yang menempatkan esensi agama hanya pada aspek zahir dan lahiriyah semata tidak akan mampu bersaing dengan ruang-ruang modernitas yang mengalami percepatan luar biasa.    

Fenomena lain yang sangat menarik untuk kita perhatikan tentang kehadiran seorang pria muslim dengan pakaian khas muslim arab di Aljazair yang akan menghancurkan patung karya seniman Perancis 1898. Ketika orang muslim itu dengan kampak yang ada di tangan kanannya ingin menghancurkan patung yang telah ada sejak lama, serentak orang-orang sekitarnya melempari orang itu dengan batu agar orang itu menghentikan tindakannya merusak patung. Fenomena yang lucu namun memberikan pesan yang luar biasa kepada kita semua.

Pria muslim itu mewakili budaya dan pemikiran tertentu dan orang-orang yang melempari pria muslim tersebut yang juga notabene orang-orang muslim Aljazair mewakili budaya dan pemikiran tertentu. Pria tersebut meyakini patung di realitas eksternal mesti dihancurkan sedangkan muslim lainnya meyakini bahwa yang mesti dihancurkan adalah patung yang ada di dalam diri kita sendiri yaitu egoisme, takabbur, dan kejahilan. Pria muslim itu mewakili islam literal dan puritan dan muslim lainnya mewakili islam transenden dan sufistik.

Benar! Agama dan keberagamaan lebih kompleks dari persoalan Mal. Mal tidak akan mungkin menggambarkan segala hal yang ada di dalam agama. Namun setidaknya, kita bisa belajar dari fenomenologi Mal, ternyata keberagamaan akan nampak indah jika masing-masing pemeluk agama dan keyakinan menyadari batas-batas eksistensi mereka masing-masing.

Sebab agama dan keberagamaan tampak berbeda jika memasuki ranah yang lebih kompleks dimana tingkat persaingannya lebih tinggi dan ketat, seperti dalam ranah politik. Wajah agama dan keberagamaan ketika kawin dengan agenda-agenda politik nampak lebih menegangkan dan tanpa kompromi.

Satu hal yang mesti kita sadari bahwa esensi agama adalah pilihan dan kesadaran. Memaksakan jargon-jargon agama ke ranah politik, bukan hanya akan membuat chaos dalam masyarakat, namun juga akan membuat agama menjadi tak bermakna.           

Friday, December 28, 2018

Saat Satu-Satunya Kemewahan adalah Kesederhanaan



“Mengapa ada orang yang berjalan tanpa alas kaki, sambil mengitari pinggiran jalan-jalan kota. Kira-kira apa yang sedang ada di benak mereka? Mengapa mereka seolah tak pernah peduli dengan kehidupan kemegahan orang-orang moderen?” pertanyaan ini selalu hadir, setiap kali melihat orang-orang Baduy menelusuri keramaian sudut-sudut kota Jakarta. 

Pertanyaan tentang “apa yang ada di benak mereka” hampir-hampir tak kan pernah terjawab dengan baik, terkecuali ada saat, kita benar-benar mampu hadir di dalam kehidupan mereka.

Pengalaman adalah guru terbaik. Pengalaman tak hanya memberikan pengetahuan, tapi yang lebih penting, membuahkan aroma dan cita rasa. Salah satu pesan di dalam filsafat jawa menjelaskan, “roso, boso”, rasa adalah bahasa. Kalau kata orang-orang Sufi, “ilmu adalah kehadiran”. Orang-orang yang tak hadir, hakikatnya tak mengetahui. Karena orang-orang yang tak hadir tak mampu merasakan cita rasanya.

Kegiatan Omah Budaya Wulangreh, “Be Baduy” adalah satu kegiatan yang dirancang untuk mencoba mendekati kehidupan orang-orang Baduy secara dekat dan tanpa ada jarak. Kita dihimbau selama sehari semalam menjadi orang Baduy. Tanpa alas kaki, tanpa listrik dan teknologi, tanpa sabun dan sampo, tanpa kamar mandi sebab ‘kali atau sungai’ satu-satunya pilihan dalam melepaskan hajat-hajat kita.

Meskipun sehari semalam tak kan mewakili kehidupan orang-orang Baduy yang sudah berlangsung lama. Entah sudah berapa lama. Tapi tugas saya hanya mencoba mendekati kehidupan mereka, sedekat hembusan udara sepoi-sepoi yang menembus pori-pori tubuh.

* * * * *

Subuh hari, saat malam berangsur-angsur meninggalkan kegelapannya, saya bersama rombongan berangkat menuju tempat yang paling hening di singgasana orang-orang Baduy. Dan kira-kira sejam mendekati tempat tujuan, mata kita mulai dimanjakan dengan keindahan alam. Gunung, sawah, pepohonan, ciutan burung, dan udara yang masih segar tanpa polusi. Seluruhnya menjadi satu kesatuan yang paling utuh, membentuk nada-nada simfoni keindahan alam.

Kami memutuskan membuka kaca jendela mobil. Mematikan mesin pendingin dan menghidupkan angin sepoi-sepoi yang menembus masuk ke ruangan mobil yang kami tumpangi. Angin sorgawi yang sesekali menebarkan aroma tanah. Dan terkadang mencium wangi asap dedaunan yang sengaja dibakar di rumah-rumah warga.

Jalan yang kami lalui, sesekali melewati pendakian, lalu penurunan. Seperti menelusuri tanah perbukitan. Luas jalan tak begitu luas. lebar jalan selebar dua kendaraan roda empat. Jadi kadang mesti tiba-tiba harus berhenti sejenak, karena lubang-lubang jalanan begitu besar. Terkadang jalan terbaik ialah harus membiarkan kendaraan lain yang sedang berpapasan agar bisa melintas terlebih dahulu.

Satu pertanyaan kembali melintas di benakku. Mengapa disepanjang perjalanan ini, saat mendekati singgasana Baduy, tak ada satu pun orang-orang Baduy yang saya saksikan? Mengapa justru sudah sedekat ini, tapi tak satu pun orang-orang Baduy melintas di jalanan?

Hingga saat kami benar-benar tiba di lokasi Baduy. Tempat pemberentian akhir kendaraan. Tempat terakhir menggunakan alas kaki. Sepatu, sendal, dan kaos kaki mesti dikembalikan ke singgasana ke moderenan sebab di sini hanya memperkenankan alas kaki yang paling purba, telapak kaki kita sendiri. Di tempat inilah saya bisa menyaksikan kehidupan ‘Baduy Luar’.

Awalnya kikuk, tak tahu mesti bagaimana melangkah tanpa alas kaki di atas tanah liat yang bebatuan. Tapi saat berpapasan dengan orang Baduy, saya mulai belajar bagaimana cara mereka melangkah dan menginjakkan kaki. Karena kontur tanah yang berbukit, sesekali mesti berpegangan pada ranting atau batu agar tidak kepeleset, apalagi sampai jatuh.

Dan kami terus berjalan, tanpa alas kaki, menelusuri jalan-jalan yang hanya bisa dijalani oleh para pejalan menuju Baduy dalam yang paling terdalam dengan kedalamannya. Sejenak benakku seketika hening, terkesima oleh keindahan kupu-kupu dan capung-capung yang menari-nari bagai peri, seolah ingin menyertai setiap langkah keheningan. Seolah mereka sedang bercerita tentang kejernihan air dan keaslian ekosistem yang belum terjamah sama sekali oleh keserakahan manusia.    

Setelah berjalan kurang lebih satu jam, kami tiba di jembatan bambu. Jembatan inilah sebagai pemisah antara Baduy dalam dan Baduy luar. Di Jembatan inilah pemisah antara tradisi dan modernitas, antara keramaian dan keheningan, antara kemegahan dan kesederhaan.

Rasa haru dan hening saat pertama kali kaki-kaki menyentuh jembatan bambu ini. Seolah baru kali ini benar-benar memiliki kesadaran menyatu dengan alam. Keheningan diri dan keramaian simfoni alam melalui suara gemercik air yang tak pernah berhenti. Arus air sungai yang tak begitu deras, saat menerpa bebatuan, dedaunan dan ranting-ranting pohon di pingggiran sungai, mampu menghasilkan suara keindahan keheningan.

* * * * *

Akhirnya kami tiba di lokasi yang dimaksud. Di rumah salah satu warga Baduy dalam. Kami langsung bergegas ke sungai. Mencuci telapak kaki yang telah dipenuhi dengan lumpur.

Saat pertama kali mencelupkan kaki di pinggir sungai, rasa lelah dan capek seketika sirna, terbayar dengan kejernihan air sungai dan dinginnya air memberikan relaksasi ke seluruh tubuh. Sambil membersihkan kaki, sesekali memandangi dasar sungai yang nampak terlihat dengan mata telanjang.
Usai membersihkan kaki. Saya kembali ke rumah Aki (tempat kami menginap). Dan sebelum masuk rumah, kaki mesti dibersihkan lagi dengan air yang telah disediakan di halaman rumah. Saat berada di dalam rumah, pilihan terbaik adalah  merebahkan diri sejenak, sambil mengamati rumah yang didesain dari bambu. Rumah panggung bambu yang tanpa paku.

Hal yang ditunggu-tungu akhirnya datang juga. Makan siang sudah siap. Nasi, sayuran, lalapan, sambel dan ikan kering. Menu mereka setiap hari memang seperti ini. Entah mengapa, makan siang waktu itu masih terasa hingga kini. Makan siang yang sesederhana mungkin namun nikmatnya tak terkira. Boleh jadi karena pengaruh lelah ditambah dengan lapar yang membuat segalanya terasa nikmat.

Kata Maulana Rumi:

Sungguh, lapar adalah Sultan dari segala obat.
Semayamkan lapar dalam jiwa,
Jangan anggap ia sebagai kehinaan.

Lapar menjadikan segala yang tak menyenangkan,
Jadi menyenangkan.
Tanpanya, segala yang menyenangkan tertolak.

Tuhan menganugerahkan lapar kepada orang-orang pilihanNya,
Sehingga mereka menjadi singa-singa perkasa.

Lapar memberikan kenikmatan,
Bukan makanan manis yang segar,
Lapar menjadikan roti Barley lebih manis dari gula.

 Usai makan siang, masing-masing dari kami mencari tempat rebahan yang paling nyaman. Saya memilih di sudut teras agar mampu memandangi pohon-pohon yang tinggi. Menyaksikan bulir-bulir air hujan yang mengalir dari atas atap hingga jatuh ke tanah. Atap rumah yang terbuat dari daun-daun dan ranting pohon sagu.

Seketika suasana menjadi hening. Tawa dan bicara sesekali terhenti sejenak. Seolah semua menikmati keheningan yang paling hening. Menyadari betapa keindahan, kemurnian, kesejukan, kesederhanaan, kepolosan, dan kejernihan bisa bersatu padu merangkai makna-makna menembus ruang dan waktu. Dan hanya menyisakan satu pertanyaan, “selama ini kita dimana?”

* * * * *

Menjelang maghrib. Di sini, gradasi kegelapan begitu nyata. Kita benar-benar bisa menyaksikan bagaimana cahaya sirna dan kegelapan datang secara perlahan-lahan. Tak ada penerang listrik yang menerangi kehidupan orang-orang sini. Karena orang-orang Baduy dalam sendiri yang tak menginginkan keberadaan listrik. Seolah mereka menyadari, seketika listrik masuk, berarti sama saja menyerah kepada kehidupan modernitas.

Maghrib usai. Malam sudah mulai menampakkan dirinya dalam kegelapan. Makan malam bersama ditemani dengan satu penerangan cahaya dari sumbu api dengan bahan bakar minyak goreng yang sudah tidak digunakan lagi. Seperti biasa, usai menyantap makan malam, masing-masing kembali mencari sandaran. Menghayati kegelapan sebagai satu-satunya cahaya.

Malam itu kami berdiskusi tentang orang-orang Baduy, tentang keheningan diri hingga pengenalan diri, sambil menyaksikan kunang-kunang mengitari pepohonan dan dedaunan. Kami melewati malam dalam kebersamaan dengan keheningan. Menyelusuri makna-makna jiwa yang terjerat dalam kepalsuan kebisingan kota.

Malam yang semakin malam. Dingin mulai menyelimuti keheningan jiwa. Sebagian dari kami mencoba menembus dinginnya malam dengan menelusuri anak sungai. Meniru orang-orang Baduy yang mencari ikan di malam hari dengan sebilah golok. Memang agak sulit memahami, bagaimana ikan yang hanya sebesar ibu jari, justru ditangkap dengan sebilah golok. Dan itu pun dilakukan di kegelapan malam hari.   

Bagi kita orang kota yang terbiasa terang dengan pencahayaan lampu, saat lampu padam, mungkin sebagian dari kita akan merasa sesak nafas. Segera mencari lilin agar bisa melihat sesuatu dalam kegelapan. Sebab kita tak kan pernah bisa memahami bagaimana melihat sesuatu di dalam kegelapan malam. Saat satu-satunya cahaya adalah kegelapan. Kata Suhrawardi, “gelap adalah cahaya dengan intensitas cahaya yang sangat rendah”.

* * * * *

Waktu pun berganti. Malam mulai meninggalkan kemegahannya dalam gelap. Cahaya matahari mulai menampakkan dirinya menyinari keindahan tanah Baduy. Tak terlihat lagi kedap-kedip cahaya kunang-kunang.

Di pagi hari. Orang-orang Baduy sudah nampak sibuk. Ada yang mengambil air di sungai. Ada yang langsung ke ladang. Saya turut menyertai mereka mengambil air di sungai. Bambu manjadi alat yang cukup praktis untuk mengambil air dari sungai. Saat bambu ditenggelamkan ke sungai, air akan masuk ke ujung bambu yang sengaja dilubangi.

Saat pagi hari, khususnya di pedesaan, umumnya kita akan melihat anak-anak berseragam putih-merah berjalan berbaris di pinggiran jalan menuju sekolah. Tapi di Baduy dalam, pemandangan seperti itu tak kan pernah ditemukan. Anak-anak di sini tak bersekolah. Tak ada proses pembelajaran secara formal. Anak-anak tak diajarkan bagaimana cara membaca dan menulis.

Sekolah mereka adalah alam semesta. Guru mereka kedua orang tua mereka sendiri. Sejak kecil, mereka sudah menemani Ayah ke ladang atau menemani Ibu ke sungai. Atau menemani kedua orang tua mereka ke hutan mencari sayuran dan tanam-tanaman.

Di pagi yang indah itu, kami diberi kesempatan berjalan-jalan menelusuri anak-anak sungai dan sesekali melewati pepohonan yang lebat dan tinggi, tanaman yang menjalar, dan batu-batuan yang besar seperti memasuki area hutan. Meskipun menurut mereka, jalur yang kami lalui bagi mereka belum termasuk bagian dari hutan.

Di sepanjang jalan, si Aki menjelaskan tanaman dan pepohonan yang kami jumpai.  Menjelaskan satu persatu khasiat dan kegunaannya. Bukan Cuma itu, bahkan mengajarkan bagaimana cara memakannya. Satu hal yang tak pernah saya lupakan, menjumpai satu tanaman, dan cara memakannya pun cukup unik. Mulut kita mesti langsung mengunyah tanaman tersebut tanpa memetiknya terlebih dahulu. Mulut kita yang langsung memetik dan sekaligus mengunyahnya.

Akhirnya saya mengerti, hal yang paling penting bagi anak-anak mereka adalah menerima pengetahuan secara langsung dan turun temurun dari nenek moyang mereka. Mereka tak pernah menuliskan pengetahuan mereka. Satu-satunya jalan menjaga tradisi Baduy adalah dengan  mewariskan secara langsung apa yang mereka tahu ke anak cucu mereka.   

* * * * *

Perjalanan ini menyisakan satu pertanyaan penting dalam diri saya, manakah kehidupan yang sebenarnya? Apakah kehidupan Baduy atau kehidupan moderen? Apakah hidup dalam tradisi purba lebih memberikan arti kemanusiaan kita atau hidup di jantung modernitas lebih memberi arti dan makna kehidupan?

Menurut saya, intinya adalah bagaimana kita mampu menemukan kesejatian diri kita sendiri. Kita mesti memahami hidup dalam kepalsuan dan hidup dalam kesejatian. Menemukan kepalsuan diri akan membantu kita memahami hidup dalam kesejatian diri. Oleh karena itu, hidup dalam kebaduyian atau kemoderenan, keduanya tak kan memberikan jaminan terhadap diri kita dalam menemukan kesejatian dan kepalsuan. Tanpa ada penyelaman dan penggalian terhadap diri kita sendiri, pada akhirnya semuanya akan sama saja.

 Tapi hidup di jantung arus modernitas bukan hal yang mudah. Persaingan dan percepatan dalam segala aspek kehidupan adalah problem utama manusia moderen. Kedua hal tersebut tak kita temukan dalam kehidupan Baduy. Sebab mereka lebih mengagungkan kepolosan, ketulusan, kesederhanaan, dan yang paling utama kehidupan yang menyatu dengan alam semesta. Namun sebaliknya dalam kehidupan moderen, persaingan dan percepatan justru pemicu menjebak manusia dalam kepalsuan, memaksa manusia hidup dalam keserakahan, paradoks, ambigu, dan berujung dengan keterasingan.

Sebab itu, kita mesti bersyukur sesyukur-syukurnya. Tuhan masih menyisakan kepada kita hingga saat ini, kehidupan orang-orang Baduy. Sebab kita bisa bercermin kepada orang-orang Baduy atas nilai-nilai kemanusiaan yang kita junjung selama ini. Apakah benar nilai-nilai itu masih melekat kepada kita atau sudah terasing digilas oleh arus modernitas yang meniscayakan persaingan dan percepatan.

Saya masih ingat pesan indah orang-orang Baduy kepada kaum mereka sendiri. Kata salah satu dari mereka, “saya tidak takut anda berjalan-jalan melihat dunia luar, namun yang aku takutkan kalau anda sudah tidak memahami, siapakah jatidiri kalian sebenarnya? Karena pada saat itu, anda tidak akan tahu lagi kemana jalan pulang”.

Orang-orang Baduy tetap memilih kemurnian dan kesederhaan. Bahkan satu-satunya kemegahan yang mereka miliki adalah kesederhaan itu sendiri.


Terima Kasih
Muhammad Nur Jabir    








Saturday, November 24, 2018

Selamat Hari Guru, Guruku!

Kata Guru selalu membawa kita ke masa kanak-kanak. Masa yang paling indah dengan segala bentuk kepolosan dan keluguan. Saat masih kanak-kanak dahulu, kita tak mampu melihat kekanak-kanakan kita. Kita hanya tahu setelah melewati masa kanak-kanak.

Saat dewasa dan mencoba menengok masa kecil kita dahulu, mungkin sebagian dari kita akan tertawa, melihat bagaimana kelakuan kita saat masa kecil dahulu. Bahkan boleh jadi, ada sebagian dari kita yang mengalami trauma dengan masa kecilnya yang hanya akan memberikan kesedihan dan air mata saat kita menengoknya kembali saat ini.

Tapi intinya masa itu adalah masa kepolosan dengan segala bentuk keluguannya. Benak kita belum diisi dengan banyak hal dan kita pun belum bisa belajar banyak hal. Kita baru saja menyelesaikan belajar banyak huruf dan dari situ akhirnya kita bisa merangkai kalimat. Dan dari kalimat itu, kita mulai menyusun beberapa proposisi dalam menyampaikan pesan.

Dan di sanalah kita mulai belajar tentang guru. Sebab dia yang pertama kali mengajarkan kita tentang huruf-huruf dan nama-nama. Oleh karenanya, pada umumnya guru pertama kita adalah orang tua kita sendiri, entah itu ibu atau ayah. Berbahagialah bagi mereka yang memiliki orang tua sekaligus sebagai gurunya. Sebab kriteria guru sejati ada padanya. Mengajar tanpa pamrih, penuh kasih, sepenuh hati, sebab ibu kita hanya menginginkan agar kita mampu sampai mandiri, bukan yang lain.

Guru selanjutnya adalah yang pertama kali mengajarkan kita tentang makna. Makna dibalik proposisi dan sebuah kalimat. Makna yang ada dibalik relasi subjek dan predikat dalam sebuah kalimat. Saya bersyukur punya guru yang mengajarkan makna-makna di balik simbol. Di sana kita bisa bertanya sepuasnya dan sebebas-bebasnya. Sebab sang guru hanya mengarahkan pertanyaan kita dan akhirnya kita mampu menemukan jawabannya sendiri. Sebab kitalah penentu dalam setiap relasi subjek dan predikat, apakah meng-afirmasi atau negasi.

Guru selanjutnya adalah guru kehidupan yang mengajarkan kita tentang makna hidup dan kehidupan. Sungguh merugi melalui hidup ini tanpa pemaknaan. Melewati setiap momen tanpa pemaknaan adalah kehidupan yang kering tanpa ada aroma kehidupan di dalamnya.

Guru saya mengajarkan bahwa makna hidup yang paling indah adalah 'memberi'. Memberi apa yang kita mampu beri. Bukan pada jumlahnya namun pada esensi memberi. Sebab pada akhirnya apa pun yang kita miliki di dunia ini tak kan bersama kita dalam menapaki jalan kematian. Jadi mengapa mesti kita menaruh apa yang kita miliki di kedalaman sumur yang gelap gulita?!

Guru yang paling istimewa adalah guru yang mengajarkan makna derita dan penderitaan. Derita adalah sesuatu yang sangat personal. Saat derita datang, tak ada yang mampu memahaminya kecuali kita sendiri. Tak mudah melewati derita kecuali saat kita memahami bahwa setiap derita membawa pesan tertentu. Sebab itu kata Rumi, "dengarkanlah pesan itu".

Maulana Rumi memberikan pemaknaan luar biasa kepada saya tentang makna derita dalam melewati setiap penderitaan. Saya tumbuh dengan penderitaan dan akhirnya bisa memaknainya dengan tawa hari ini bersama Maulana Rumi, entah esok hari, tapi minimal hari ini saya mampu melewatinya dengan pemaknaan. Kata Rumi, "bahagialah mereka dimana akhir dari tangisnya adalah tawa".

~ Muh Nur Jabir ~

Wednesday, October 31, 2018

Wittgenstein: Filsuf Tak akan Bisa Berdusta

Saat usia remaja, Wittgenstein menghabiskan waktunya menjadi seorang guru, mengajar anak-anak sekolah dasar. Suatu ketika saat sedang mengajar, salah satu anak kelasnya berbuat ulah. Saat itu Wittgenstein kehilangan kendali, tak kuasa mengontrol emosinya. Anak itu dipukul olehnya sekeras mungkin, hingga pingsan. Wittgenstein panik dan membawa anak itu ke ruangan kepala sekolah.

Wittgenstein akhirnya diintrogasi oleh pihak berwajib. Pertanyaan demi pertanyaan diajukan kepada dirinya soal penyebab anak itu pingsan. Ia memilih mengelak dengan berbohong. Kebohongan demi kebohongan ia lakukan agar bisa bebas dari tuduhan terhadap dirinya.

Hari itu adalah hari terakhir Wittgenstein mengajarkan sesuatu kepada murid-muridnya. Dan menjadi hari pertama belajar filsafat. Lalu menyimpulkan, "seorang filsuf yang berbohong pada orang lain, bagaimana mungkin dalam memahami hakikat, jujur pada dirinya sendiri?".

Kita semua paham, pengakuan atas kelakuan buruk yang telah kita lakukan, membutuhkan keberanian. Apalagi kelakuan yang akan membuat harga diri kita, jatuh seketika. Membuat orang lain tak lagi percaya terhadap kepribadian kita. Wittgenstein kembali menyimpulkan, "pengakuan adalah jalan agar terhindar dari ketertipuan atas diri sendiri".

Bagi Wittgenstein, filsafat sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Sokrates, yaitu usaha kontemplasi pemikiran dalam menguji kejujuran atas diri sendiri. Seolah Wittgenstein ingin mengatakan kepada kita, jika kita tak belajar mengakui sebuah kebenaran, bagaimana mungkin kita bisa berbicara tentang kebenaran?

Kekhawatiran besar Wittgenstein, bukan soal menerima kesalahan dan memohon maaf pada orang lain. Persoalan utamanya adalah bagaimana kita bisa bebas dari ketertipuan atas diri sendiri, lalu beranjak untuk mengubah diri. Melalui pengakuan akan memudahkan kita sampai pada hal tersebut. Sebab dalam pengakuan kita mencoba melatih diri untuk sampai pada kesempurnaan dan kebenaran.

Melatih diri bertahun-tahun akan memberikan hasil yang berarti daripada belajar bertahun-tahun tanpa dibarengi dengan pelatihan atas diri sendiri. Sebab itu, inti filsafat adalah melatih diri agar mampu memahami makna kebenaran.

Tuesday, October 30, 2018

Mengapa Mesti Ada ‘Polisi-Tidur’?



Tentu ada alasan dan tujuan yang jelas mengapa mesti ada polisi-tidur. Pertanyaan-pertanyaan tentang polisi-tidur dalam tulisan ini tidak diperuntukkan untuk posisi polisi-tidur yang menjadi satu-satunya alasan terbaik dalam mengontrol laju kecepatan kendaraan, seperti di tempat-tempat lalu lalang anak-anak bermain, di  sekolah-sekolah, dan tempat-tempat peribadatan.

Namun saya yakin, kita pernah berada di atas jalan di mana dalam beberapa radius meter ke depan selalu dipertemukan dengan polisi-tidur. Setiap orang terpaksa dan dipaksa untuk melewatinya. Dan setiap orang mesti menurunkan kecepatan kendaraannya.

Jadi mungkin pertanyaan ini hadir di dalam benak setiap orang. Mengapa kita terpaksa melewati polisi-tidur dan mengapa orang-orang terpaksa membuat polisi-tidur? Bukankah lebih baik jika jalan-jalan itu dibangun tanpa dihiasi polisi-tidur? Sebenarnya apa hubungan polisi-tidur dengan kemanusiaan kita hari ini?

Mengapa kesadaran kita mesti terjaga dengan keterpaksaan? Apakah keterpaksaan menjadi pengendali kemanusiaan kita hari ini? Apakah mesti terpaksa sehingga menjadi orang baik? dan apakah kebaikan adalah sebuah keterpaksaan?

Saya menyangka kemanusiaan kita sedang dikutuk oleh polisi-tidur sebab saya merasa selama ini saya mengendarai kendaraan dengan baik dan mengikuti nalar etika berkendaraan. Bunyi suara kendaraanku tidak keras sehingga tidak memekik telinga-telinga yang mendengarkannya. Apalagi saya mengendarai kendaraanku dalam laju kecepatan yang relatif normal. Lalu mengapa saya mesti dipaksa dan terpaksa melewati polisi-tidur?

Namun di sisi lain kita tak mungkin mengingkari bahwa tidak semua orang peduli dengan nalar etika berkendaraan. Ada orang tertentu yang main klakson seenaknya. Sengaja membesarkan suara kendaraannya dan melaju kendaraannya secepat mungkin. Mereka tak peduli dengan polusi suara yang mengganggu orang-orang yang berpapasan dengannya.

Memang ironi jika logika pembuatan polisi-tidur diperuntukkan bagi mereka yang acuh terhadap nalar etika berkendaraan sebab berdampak secara langsung terhadap orang-orang yang taat terhadap etika berkendaraan. Dalam kata lain, semua orang dipaksa untuk memperlambat laju kendaraannya karena ada sebagian orang yang tidak taat mengikuti nalar etika berkendaraan.

Tak salah jika saya mengatakan polisi-tidur sebagai kutukan bagi kemanusiaan kita. Kehadirannya adalah suatu keterpaksaan yang memaksa kita menurunkan ego laju kecepatan kendaraan. Polisi-tidur adalah simbol ketidaksadaran yang mampu memaksa kesadaran egoisme kita. Tapi apa penyebabnya?
Boleh jadi karena kendaraan kita sudah jauh melaju meninggalkan moralitas kemanusiaan yang kita miliki. Petuah-petuah dan nasehat-nasehat sudah kehilangan maknanya sebab mampu dikalahkan oleh keterpaksaan. 

Keterpaksaan telah menjadi tuan rumah kemanusiaan kita hari ini. Kita terpaksa menjadi apa yang orang-orang katakan terhadap diri kita. Kita terpaksa bermedia sosial. Kita terpaksa memiliki rutinitas. Terpaksa berpolitik dan terpaksa berbicara. Dan pada akhirnya keterpaksaan menjadi rutinitas keseharian kita.

Kesadaran telah lama sirna di dalam kehidupan keseharian kita. Sebab pilihan-pilihan kita adalah keterpaksaan. Kita terpaksa memilih sebab pilihan-pilihan kita sudah diatur sedemikian rupa sehingga kita benar-benar seolah-olah nampak memilih. Tak heran jika saat ini sangat mudah ditemukan orang-orang yang mendadak soleh sebab lingkungan telah memaksa dirinya agar benar-benar nampak soleh.

Memang terlihat mengkhawatirkan sebab ternyata keterpaksaan tidak hanya menyangkut polisi-tidur tapi telah merambah ke dalam corak berpikir kita. Keterpaksaan menjadi suatu bangunan pengetahuan tapi tanpa kita sadari. Mungkin karena sudah sejak lama menggerogoti kesadaran pengetahuan kita.

Bukankah belakangan ini kita sering menyaksikan orang-orang yang terpaksa gila sehingga terpaksa melukai? orang-orang yang terpaksa sakit karena terjerat kasus korupsi, orang-orang yang terpaksa berjilbab karena harus menjalani persidangan. Dan orang-orang yang terpaksa hidup dan terpaksa menjalani kehidupan bagaimana pun adanya.

Tapi sampai kapan harus seperti ini? Sampai kapan kita terjerat oleh keterpaksaan? Saya pikir semua orang mesti menjawabnya karena pengendalinya adalah diri kita sendiri. Dan menurut saya, jawabannya sangat sederhana yaitu kita mesti kembali ke dalam esensi kemanusiaan kita yang paling sejati sebab hanya di sana akan ditemukan kesadaran yang paling fitrawi.