Thursday, August 6, 2015

Takwil Syair Rumi (6)

Obat derita,
Ada dalam derita.

~ Rumi

Benar, kita mesti menelusuri apa makna derita dalam tradisi Rumi sebagaimana termaktub dalam sastra sufistiknya. Apakah setiap luka disebut derita ? Yang mana disebut dengan derita ? Apakah kefakiran itu derita ? Dalam tradisi sufistik, kefakiran dan kekayaan tak lagi bermakna esensial, meski sebagian besar sufi lebih memilih hidup dalam kefakiran termasuk Rumi, sebab itu kefakiran tak bisa dimaknai sebagai derita. Lalu apa yang dimaksud dengan derita ?!

Dan derita mana yang dimaksud ? Rumi memberikan cirinya dengan sangat sederhana yaitu yang di dalam derita itulah justru terdapat obatnya. Namun derita manakah itu ? Derita manakah yang di dalam derita itu justru memberikan obat penawarnya. Bukankah saat tangan kita terluka justru kita mencari obatnya di apotik dan menunjukkan bahwa obatnya ada diluar, bukan di dalam ?!

Iya. Tekateki ini justru menarik bagi kita untuk menelisik jauh dalam kehidupan keseharian kita. Saya tak mau membatasi makna derita disini karena setiap manusia memiliki derita. Kunci dari tekateki ini menurut saya yang terpenting yaitu 'dalam derita justru ada penawar'.

Karena itu setiap orang berhak memaknai derita disini. Tapi meski demikian jangan melupakan apa yg disampaikan oleh Rumi bahwa derita yang saya maksud adalah derita yang didalamnya ada penawar.

Idul Fitri Menurut Jalaluddin Rumi

Maulana Rumi senantiasa menanti menyambut bulan ramadhan, duduk bersimpuh penuh kerinduan dan sebagaimana sufi lainnya, di bulan ramadhanlah mereka "berpesta" mencicipi hidangan ruhaniah.

Demikian halnya mereka pun berpesta dengan hari raya, hari raya idul fitri. Namun "pesta" tersebut bukan karena puasa telah berakhir, akan tetapi dikarenakan telah dimulainya kehidupan yang baru, dalam alam yang baru, dan dengan jiwa yang baru.

Menurut Maulana Rumi, dalam sepanjang bulan ramadhan, 'aku' yang palsu berada dibawah naungan dominasi kesejatian 'aku' manusia. Puasa kembali melahirkan dirinya dari aku yang palsu menuju aku yang sejati.

Melalui Idul Fitri, pertanda bahwa aku yang sejati telah menyembelih aku yang palsu. Aku yang palsu yaitu aku yang telah terkontaminasi dengan kemashuran, kekuasaan, keangkuhan, harta, dan syahwat.

Menurut Maulana Rumi, Idul Fitri adalah hari raya para pecinta dimana simbol keismailan pasrah disembelih oleh simbol keibrahimian sehingga memperoleh kemenangan fitrah dan kebahagiaan yang agung.

Idul Fitri adalah hari kesempurnaan dan pertemuan. Hari penyaksian dan hari ijabah, serta hari terbukanya rahmat seluas-luasnya kepada para pejalan menuju kefakiran eksistensinya.

Dalam Ghazal Maulana Rumi, bulan ramadhan disimbolkan dengan 'Maryam' dan idul fitri dengan 'Isa';

'Wahai jiwa, tak perlu berputus asa sebab harapan telah datang'

'Harapan bagi seluruh jiwa, telah sampai dari kegaiban'

'Tak perlu bersedih, meskipun dirimu telah kehilangan Maryam'

'Sebab cahaya Isa telah datang mengitari'

'Wahai jiwa, tak perlu bersedih dalam kegelapan penjara ini'

'Sebab Raja telah mengeluarkan Yusuf dari penjara'

'Sebagaimana Ya'qub telah keluar dari hijab ketersembunyiannya'

'Dan juga Zukaikha telah merobek tirai Yusuf'

'Duhai yang puasamu dari singgasana yang tinggi'

'Berbahagialah, berbahagialah, sebab Eid telah datang'

Takwil Syair Rumi (5)


از احمد تا احد يك ميم فرق است

دو عالم در همين يك ميم غرق است

Dari Ahmad hingga Ahad, ada 'mim' (م) yang membedakan,

Dalam 'mim' itulah dua alam tenggelam.

~ Rumi

Kelihaian sufi terlihat dari proses penakwilan. Sebuah proses pemilihan bahasa dari alam hakikat menuju alam bahasa. Bahasa dalam tradisi sufi adalah sebuah proses penakwilan. Terdapat keidentikan antara bahasa dan realitas. Bahasa dan realitas dalam tradisi sufi tak terpisahkan. Saya tak tahu, tapi Heidegger juga mengatakan demikian bahwa bahasa adalah realitas. Bahasa mesti dijelaskan dalam alam eksistensi.

Surah al-baqarah pada ayat pertama juga menjelaskan hakikat 'mim'; alif (ا) lam (ل) mim (م).  Sufi meyakini Alif simbol dari Allah swt, Lam simbol dari Jibrail as, dan mim adalah simbol dari Muhammad saw. Simbol mim senantiasa disematkan pada wujud Rasulullah saw, termasuk pada syair Rumi diatas. Apalagi didekatkan dengan kata Ahad, keindahan penakwilannya semakin mempesona.

Lalu apa hubungan 'mim' diantara dua kata Ahmad dan Ahad ? Mengapa dua alam tenggelam pada 'mim' ? Apakah hubungan ini hanya permainan kata semata atau suatu cerminan dari hakikat ?

Sebagaimana dijelaskan, salah satu kekuatan Sufi termasuk Rumi terdapat pada proses penakwilannya. Bahwa bahasa adalah sebuah proses transformasi dari hakikat yang jauh menuju alam bahasa.

Dalam syair diatas, Rumi ingin menjelaskan bahwa Ahmad adalah manifestasi teragung dari Ahad. Kemudian, dari Ahmad-lah segala hakikat setelahnya diciptakan. Sebab itu dalam salah satu hadits juga dijelaskan, 'yang pertama kali Allah ciptakan adalah cahayaku'. Kemudian segala sesuatu diciptakan dari cahaya Rasulullah saw. Hal ini senada dengan Quran dalam surah (Al-'Aĥzāb):56 - "Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya". Solawat adalah proses emanasi turunnya rahmat Ilahi dari Allah swt kepada hambanya melalui wujud suci Rasulullah saw.

Inilah maksud dari dua alam, yaitu alam materi maupun alam ruhani tenggelam dalam hakikat 'mim' atau wujud Rasulullah saw. Sebab kata Allah swt, 'jika bukan engkau wahai Muhammad, tidak Aku ciptakan langit dan bumi'. Artinya wujud Rasulullah saw adalah ruh dari alam semesta. Maksudnya alam semesta yang terdiri dari alam jismani dan alam ruhani tak ubahnya seperti badan Rasulullah saw dan diri Rasulullah saw sebagai ruhnya. Perumpamaannya seperti badan kita, selama ruh masih bersama dengan badan kita maka badan kita pun hidup. Namun saat ruh meninggalkan badan maka badan pun menemukan kematiannya.

Karena itu maksud dari dua alam tenggelam dalam hakikat 'mim' bahwa ada kebergantungan kehidupan alam jismani dan alam ruhani pada diri Rasulullah saw yang suci.

Takwil Syair Rumi (4)

Sakitnya pecinta, beda dengan sakit-sakit lainnya,
Cinta adalah timbangan yang dengannya dapat menjadi ukuran rahasia-rahasia Ilahi.
~ Rumi


Takwil Syair;
Pertama Rumi mengatakan, sakitnya pecinta berbeda dengan sakit-sakit lainnya. Seolah Rumi ingin menkategorikan cinta termasuk kategori jenis penyakit, namun sakitnya bukan sakit jismani namun sakit psikis atau sakit ruhani sebagaimana yang diyakini oleh Aristoteles dan juga Ibn Sina, termasuk ikhwanusshafa mengatakan, 'cinta itu suatu jenis penyakit jiwa'.

Namun Maulana Rumi ingin mengatakan lain. Rumi ingin mengkategorikan cinta tidak seperti pandangan sebelumnya yang memahami cinta sebagai satu jenis penyakit. Tapi justru cinta ini adalah sarana untuk menyerap rahasia-rahasia Ilahi. Tapi cinta yang mana ? Menurut Rumi hanya 'cinta irfani' yang bisa menjadi sarana untuk menyerap rahasia-rahasia Ilahi. Alasannya karena Irfan mampu membuat ruh sedemikian lathif (lembut) dan sangat perasa. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa puncak dari cinta adalah makrifat dan cinta hanya sarana tuk meraih rahasia-rahasia Ilahi. 

Takwil Syair Rumi (3)

Rahasiaku tak terpisah dari jeritan deritaku,
Namun mata dan telinga tak mampu meraihnya.
~ Rumi


Takwil;
Syair ini masih bagian dari syair nei atau seruling, 'dengarkanlah jeritan derita seruling bambu yang mengisahkan keterpisahan dari rumpun bambunya'. Pada syair ini, Rumi memposisikan dirinya sebagai nei yang dalam takwilnya nei adalah simbol dari insan kamil.
Sebagai insan kamil yang telah menjalani perjalanan spiritual, tentu menyimpan banyak rahasia-rahasia hakikat manusia dan alam semesta, termasuk Tuhan. Dan rahasia ini diperoleh dari pengalaman spiritual, bukan dari bangku sekolah. Sebab itu hampir dikata, pengalaman ini sangat sulit menjelaskannya pada yang lain padahal di dalamnya dipenuhi dengan rahasia-rahasia Ilahi. Sebab itu kata Rumi, saya ini seperti nei yang mencoba menjelaskan rahasia-rahasia dibalik suara seruling.
Jika kita bertanya pada Rumi, lalu bagaimana kami bisa memahami rahasiamu ? Rumi menjawab, 'rahasiaku tak jauh dari jeritan deritaku'. Seolah Rumi ingin mengatakan, seperti nei, rahasianya tak jauh dari keindahan suara jeritan deritanya. Maksudnya, Rumi ingin mengatakan, jika kalian ingin memahami rahasiaku, pahamilah dibalik syair-syairku. Syair-syairku menyimpan rahasia Ilahiyah, manusia, dan alam semesta.
Namun kata Rumi, bukan mata dan telinga lahiriyah yang dapat memahaminya. Jika kita hanya melihat sepintas syair-syair Rumi dan tak berusaha menakwil maknanya, maka kita akan melihat syair Rumi tak ubahnya dengan syair-syair lainnya. Padahal sejak awal bait syairnya Rumi mengatakan, 'dengarkanlah jeritan derita nei'. Tapi benar, tak semua manusia bisa memahami jeritan derita nei, karena sekali lagi kata Rumi, bukan telinga dan mata itu yang dapat merengkuhnya.