Thursday, August 6, 2015

Takwil Syair Rumi (5)


از احمد تا احد يك ميم فرق است

دو عالم در همين يك ميم غرق است

Dari Ahmad hingga Ahad, ada 'mim' (م) yang membedakan,

Dalam 'mim' itulah dua alam tenggelam.

~ Rumi

Kelihaian sufi terlihat dari proses penakwilan. Sebuah proses pemilihan bahasa dari alam hakikat menuju alam bahasa. Bahasa dalam tradisi sufi adalah sebuah proses penakwilan. Terdapat keidentikan antara bahasa dan realitas. Bahasa dan realitas dalam tradisi sufi tak terpisahkan. Saya tak tahu, tapi Heidegger juga mengatakan demikian bahwa bahasa adalah realitas. Bahasa mesti dijelaskan dalam alam eksistensi.

Surah al-baqarah pada ayat pertama juga menjelaskan hakikat 'mim'; alif (ا) lam (ل) mim (م).  Sufi meyakini Alif simbol dari Allah swt, Lam simbol dari Jibrail as, dan mim adalah simbol dari Muhammad saw. Simbol mim senantiasa disematkan pada wujud Rasulullah saw, termasuk pada syair Rumi diatas. Apalagi didekatkan dengan kata Ahad, keindahan penakwilannya semakin mempesona.

Lalu apa hubungan 'mim' diantara dua kata Ahmad dan Ahad ? Mengapa dua alam tenggelam pada 'mim' ? Apakah hubungan ini hanya permainan kata semata atau suatu cerminan dari hakikat ?

Sebagaimana dijelaskan, salah satu kekuatan Sufi termasuk Rumi terdapat pada proses penakwilannya. Bahwa bahasa adalah sebuah proses transformasi dari hakikat yang jauh menuju alam bahasa.

Dalam syair diatas, Rumi ingin menjelaskan bahwa Ahmad adalah manifestasi teragung dari Ahad. Kemudian, dari Ahmad-lah segala hakikat setelahnya diciptakan. Sebab itu dalam salah satu hadits juga dijelaskan, 'yang pertama kali Allah ciptakan adalah cahayaku'. Kemudian segala sesuatu diciptakan dari cahaya Rasulullah saw. Hal ini senada dengan Quran dalam surah (Al-'Aĥzāb):56 - "Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya". Solawat adalah proses emanasi turunnya rahmat Ilahi dari Allah swt kepada hambanya melalui wujud suci Rasulullah saw.

Inilah maksud dari dua alam, yaitu alam materi maupun alam ruhani tenggelam dalam hakikat 'mim' atau wujud Rasulullah saw. Sebab kata Allah swt, 'jika bukan engkau wahai Muhammad, tidak Aku ciptakan langit dan bumi'. Artinya wujud Rasulullah saw adalah ruh dari alam semesta. Maksudnya alam semesta yang terdiri dari alam jismani dan alam ruhani tak ubahnya seperti badan Rasulullah saw dan diri Rasulullah saw sebagai ruhnya. Perumpamaannya seperti badan kita, selama ruh masih bersama dengan badan kita maka badan kita pun hidup. Namun saat ruh meninggalkan badan maka badan pun menemukan kematiannya.

Karena itu maksud dari dua alam tenggelam dalam hakikat 'mim' bahwa ada kebergantungan kehidupan alam jismani dan alam ruhani pada diri Rasulullah saw yang suci.

Takwil Syair Rumi (4)

Sakitnya pecinta, beda dengan sakit-sakit lainnya,
Cinta adalah timbangan yang dengannya dapat menjadi ukuran rahasia-rahasia Ilahi.
~ Rumi


Takwil Syair;
Pertama Rumi mengatakan, sakitnya pecinta berbeda dengan sakit-sakit lainnya. Seolah Rumi ingin menkategorikan cinta termasuk kategori jenis penyakit, namun sakitnya bukan sakit jismani namun sakit psikis atau sakit ruhani sebagaimana yang diyakini oleh Aristoteles dan juga Ibn Sina, termasuk ikhwanusshafa mengatakan, 'cinta itu suatu jenis penyakit jiwa'.

Namun Maulana Rumi ingin mengatakan lain. Rumi ingin mengkategorikan cinta tidak seperti pandangan sebelumnya yang memahami cinta sebagai satu jenis penyakit. Tapi justru cinta ini adalah sarana untuk menyerap rahasia-rahasia Ilahi. Tapi cinta yang mana ? Menurut Rumi hanya 'cinta irfani' yang bisa menjadi sarana untuk menyerap rahasia-rahasia Ilahi. Alasannya karena Irfan mampu membuat ruh sedemikian lathif (lembut) dan sangat perasa. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa puncak dari cinta adalah makrifat dan cinta hanya sarana tuk meraih rahasia-rahasia Ilahi. 

Takwil Syair Rumi (3)

Rahasiaku tak terpisah dari jeritan deritaku,
Namun mata dan telinga tak mampu meraihnya.
~ Rumi


Takwil;
Syair ini masih bagian dari syair nei atau seruling, 'dengarkanlah jeritan derita seruling bambu yang mengisahkan keterpisahan dari rumpun bambunya'. Pada syair ini, Rumi memposisikan dirinya sebagai nei yang dalam takwilnya nei adalah simbol dari insan kamil.
Sebagai insan kamil yang telah menjalani perjalanan spiritual, tentu menyimpan banyak rahasia-rahasia hakikat manusia dan alam semesta, termasuk Tuhan. Dan rahasia ini diperoleh dari pengalaman spiritual, bukan dari bangku sekolah. Sebab itu hampir dikata, pengalaman ini sangat sulit menjelaskannya pada yang lain padahal di dalamnya dipenuhi dengan rahasia-rahasia Ilahi. Sebab itu kata Rumi, saya ini seperti nei yang mencoba menjelaskan rahasia-rahasia dibalik suara seruling.
Jika kita bertanya pada Rumi, lalu bagaimana kami bisa memahami rahasiamu ? Rumi menjawab, 'rahasiaku tak jauh dari jeritan deritaku'. Seolah Rumi ingin mengatakan, seperti nei, rahasianya tak jauh dari keindahan suara jeritan deritanya. Maksudnya, Rumi ingin mengatakan, jika kalian ingin memahami rahasiaku, pahamilah dibalik syair-syairku. Syair-syairku menyimpan rahasia Ilahiyah, manusia, dan alam semesta.
Namun kata Rumi, bukan mata dan telinga lahiriyah yang dapat memahaminya. Jika kita hanya melihat sepintas syair-syair Rumi dan tak berusaha menakwil maknanya, maka kita akan melihat syair Rumi tak ubahnya dengan syair-syair lainnya. Padahal sejak awal bait syairnya Rumi mengatakan, 'dengarkanlah jeritan derita nei'. Tapi benar, tak semua manusia bisa memahami jeritan derita nei, karena sekali lagi kata Rumi, bukan telinga dan mata itu yang dapat merengkuhnya.

Wednesday, August 5, 2015

Takwil Syair Rumi (2)


Setiap jiwa senantiasa baru, dunia dan kita
Tak diketahui kebaruan itu dalam keabadian
Umur bagai arus, baru dan baru
Senantiasa berlangsung dalam jasad
~ Rumi


Maulana Rumi ingin memberikan suatu penafsiran baru atas realitas keberadaan jiwa dan alam. Suatu penafsiran bahwa jiwa dan dunia senantiasa baru. Meskipun Anehnya kita tak pernah menyaksikan kebaruan itu. Yang kita saksikan hanya perubahan, seperti perubahan pergantian waktu dari sebuah proses gerak.
Lalu kebaruan mana yang dimaksud ! Kita akan memaknai baru jika ada suatu hal baru yang melekat pada diri kita, seperti saat kita memakai baju baru. Bagaimana jika hal ini disematkan pada jiwa bahwa ada hal yang senantiasa baru pada jiwa ? Apa yang baru pada jiwa dan yang senantiasa baru ?
Tak mudah menjawabnya. Namun ada yang menarik yang dikatakan Sadra bahwa wujud mumkin yang dalam terminologi Sadra disebut dengan wujud faqir adalah wujud yang senantiasa bergantung pada Ilahi. Bahkan lebih dari itu, menurut Sadra, bukan wujud yang bergantung namun kebergantungan itu sendiri. Apa maksud kebergantungan itu sendiri ?
Maksudnya, wujud faqir tak memiliki independensi wujud sama sekali, satu-satunya yang dimiliki adalah kefaqiran eksistensi. Kita tak bisa mengatakan bahwa diri kita ada dimana diri kita ini bergantung. Namun yang bisa kita katakan bahwa diri kita adalah kebergantungan itu sendiri, bukan 'ada' yang bergantung pada sesuatu yang menunjukkan suatu independensi eksistensi pada diri kita.
Jika demikian, lalu apa konsekwensinya ? Apa konsekwensinya jika wujud kita adalah wujud faqir bahwa bahkan dalam eksistensipun kita faqir ? Konsekwensinya adalah kita senantiasa meminta wujud pada penyebab segala wujud yang dalam bahasa teologi disebut dengan Tuhan. Bukan hanya kita, bahkan segala entitas-entitas mumkin termasuk alam semesta senantiasa meminta pada Ilahi.
Lalu apa konsekwensi jika kita senantiasa meminta wujud pada Ilahi ? Konsekwensinya adalah wujud kita senantiasa baru dan baru. Kita dan alam senantiasa baru karena setiap saat kita meminta eksistensi pada Ilahi. Betul, kita senantiasa dalam penciptaan yang baru karena wujud kita senantiasa baru.
Anehnya kata Rumi, kita tak sadar kebaruan itu dalam keabadian. Artinya meski senantiasa eksistensi kita baru, namun tak meniscayakan identitas yang disebut 'aku' ikut berubah. Disini 'aku' yang senantiasa dan setiap saat meminta eksistensi. Jika ditanya apakah 'aku' ini ada ? Tidak. 'aku' disini tak bisa dikatakan ada juga tak bisa dikatakan tidak ada, karena 'aku' senantiasa memperoleh wujud yang baru dan karena senantiasa dan setiap saat meminta wujud. sehingga tak bisa dikatakan ada juga tak bisa dikatakan tiada. Ada dan tiada senantiasa beringan dalam hakikat kita dan alam semesta.
Sebagaimana firman Tuhan, (Ar-Raĥmān):29 - Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan (atau setiap waktu Dia mencipta).
Setiap waktu Dia mencipta adalah jawaban atas sebuah permintaan eksistensi yaitu semua yang ada di langit dan dibumi senantiasa meminta eksistensi kepadaNya.

Takwil Syair Rumi (1)

Saya tak percaya, saya begitu tak sadar,
Bagaimana mungkin saya melupakan hakikat !
~ Rumi


Takwil Syair;
Pertanyaan hakikat ini untuk siapa ? Ada bentuk pertanyaan yang tujuannya bukan untuk bertanya namun mengingatkan, seperti firman Tuhan, 'bukankah Aku Tuhanmu !'. Pertanyaan ini adalah pertanyaan untuk mengingatkan, bukan meminta jawaban.
Lalu untuk siapa pertanyaan Rumi ? Iya untuk kita, bukan untuk Rumi sebab Rumi menulisnya dalam kesadaran eksistensinya akan hakikat. Tapi apa maksud Rumi dengan hakikat ! Bukankah kita melakukan segala aktifitas keseharian kita dengan kesadaran ! Bukankah setiap hari kita berdialog dengan orang-orang dekat kita !
Lalu mana yang disebut hakikat !
Tapi saya ingat Sabda Rasul yang suci, 'kebanyakan manusia tertidur, mereka sadar saat mereka mati'. Iya. Sadar dan kematian ternyata memiliki hubungan erat. Seolah syarat mempersepsi hakikat adalah dengan kematian. Benar. Sebab saat ini kita merasa hidup hanya karena badan kita bergerak, mata kita melihat,  telinga kita mendengar, mulut kita berbicara, tapi hati kita lalai. Kita hanya melihat yang nampak namun tak mampu melihat dibaliknya. Dalam surah arrum ; 7, 'mereka mengetahui zahirnya kehidupan dunia namun lalai dari akhirat (batinnya)'.