Setiap jiwa senantiasa baru, dunia dan kita
Tak diketahui kebaruan itu dalam keabadian
Umur bagai arus, baru dan baru
Senantiasa berlangsung dalam jasad
temukan harmoni dalam kata, makna, dan realitas.
Mereka yang akrab dengan filsafat Hegel akan memahami bahwa salah satu karekteristik logika dialektika hegel adalah kontradiski atau paradoks. Dan oleh karena itu setiap konsep adalah kontradiksi, dan bukan hanya konsep 'lingkaran segiempat' yang kontradiksi sebagai salah satu contoh.
Namun mesti dipahami, maksud kontradiksi dalam pandangan Hegel, bukan kontradiksi sebagaimana yang dipahami oleh Aristoteles sebab jika yang kita gunakan sejak awal adalah kontradiksi dalam pemaknaan Aristoteles maka tentu pembicaraan mengenai kontradiksi Hegelian tak punya makna sama sekali, bahkan kita tak lagi bisa berbicara dan membahasnya. Seluruh proposisi dialektika Hegel niscaya batil jika tolak ukur dalam menilainya melalui pendekatan logika Aristotelian.
Maksudnya jika anda meyakini kemustahilan terjadinya kontradiksi, namun pada saat yang sama setiap wujud akan menghasilkan ketiadaan dan setiap ketiadaan akan menghasilkan wujud, maka tentu logika manusia tak lagi bermakna dan bahkan hanya akan menghancurkan logika fitrawi manusia. Oleh karenanya Hegel tidak bermaksud membenturkan logika dialektikanya dengan logika Aristotelian. Karena Hegel pun memahami dengan baik logika Aristotelian sehingga bisa mengatakan dialektika ada sekaligus tidak ada, kontradiksi sekaligus tidak kontradiksi. Sebab itu Hegel ingin memberikan pemaknaan yang lain tentang kontradiksi.
Hegel saat memberikan penjelasan tentang logika dialektikanya mengatakan, "saya mengatakan setiap sesuatu mengandung anti-tesa, lawan atas dirinya sendiri di dalam dirinya. Namun pengertian anti-tesa atau lawan atas dirinya adalah dalam pemaknaan 'meliputi', bukan dalam pemaknaan tesa adalah anti-tesa itu sendiri sebagai realitas yang tunggal yang akan meniscayakan kontradiksi. Jadi perlu dipahami, istilah 'meliputi' beda dengan istilah kontradiksi pada satu realitas objek.
Meski demikian sebagian penafsir Hegelian masih meyakini dialektika Hegelian dalam hal ini kontradiksi Hegelian secara konsep sama dengan kontradiksi Aristotelian. Apalagi Hegel sangat memahami pemikiran filsuf sebelumnya. Kemudian penafsir Hegelian menambahkan, sebenarnya Hegel ingin menjelaskan bahwa ada beberapa jenis bentuk logika. Misalnya dalam logika Aristotelian kontradiksi dianggap sebagai suatu kemustahilan, namun dalam logika lain tidak mustahil.
Allah adalah cahaya langit dan bumi . . . (Annur;35). Al-Gazali dalam menafsirkan ayat ini mengatakan, cahaya memiliki empat tingkatan; mishbah, zujajah, misykat, dan zaitunah. Selanjutnya Al-Gazali mengatakan, empat tingkatan ini dapat dipahami namun tak dapat dikonsepsikan atau digambarkan.
Lalu apakah perbedaan antara konsepsi dan pemahaman?
Banyak hal yang mampu terpahami namun kita tak mampu menggambarkan atau mengkonsepsikannya. Misalnya saat anda berada di kelas, anda memahami bahwa anda berada di dalam kelas dan anda pun mampu menggambarkan kelas tersebut. Namun berbeda dengan persoalan waktu, kita bisa memahami namun tak bisa digambarkan dan dikonsepsi. Kita sering menggunakan kata azali dan abadi karena kita memahami maknanya, namun apakah kita bisa menggambarkannya?
Contoh lainnya apakah kita punya gambaran atau konsepsi tentang Tuhan? Bagaimana kita bisa menggambarkan Tuhan? Ali bin Abi Thalib mengatakan, betapapun dirimu berusaha menggambarkan Tuhan secara mendalam, gambaran itu adalah makhlukmu atau ciptaanmu.
Ada banyak persoalan yang mungkin saja kita tak memiliki gambarannya secara jelas sehingga kecendrungan manusia tentu lebih mementingkan persoalan yang mampu digambarkan secara nyata.
Menurut filsuf islam, sesuatu yang memiliki gambaran, terkait dengan alam imajinasi. Pada prinsipnya, bermajinasi ialah mempersepsi gambar, namun istilah ini dalam pandangan orang awam terkadang dipahami secara negatif. Padahal makna imajinasi atau berimajinasi ialah mempersepsi sesuatu yang memiliki gambar.
Pertanyaan selanjutnya, apakah manusia hanya sampai pada level imajinasi atau khiyal atau mampu menembus pada alam selanjutnya? Para penyair lebih banyak bergelut di alam imajinasi. Karena mereka memiliki imajinasi yang kuat sehingga mampu menciptakan syair yang memiliki makna yang tinggi. Bahkan imajinasi mampu menggambarkan kontradiksi yang tak mungkin terjadi di alam eksternal, karena imajinasi adalah alam yang tak tertabas. Terbatasnya justru pada subjek yang membatasinya.
Namun bagaimana dengan persepsi akal? Misalnya konsep "setiap akibat pasti memiliki sebab" apakah memiliki bentuk? Jangan lihat pada api yang memberikan efek panas, sebab api dan panas hanya salah satu dari partikularitas hukum kausalitas.
Nah sekarang konsep "setiap akibat pasti ada sebabnya" bagaimanakah menggambarkannya dan mengkonseptualkannya? Konsep-konsep universal tak memiliki bentuk. Universal dapat digambarkan ketika dikaitkan pada partikularnya. Persoalan bentuk terkait pada partikularitas, bukan universal sebagaimana universal. Dan berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa manusia tidak hanya berhenti pada alam imajinasi saja, namun juga bisa menembus pada alam selanjutnya yaitu alam akal.