Teori
Innefabilitas Menurut Allamah Thabatabai
oleh; Sayid Ahmad Fazeli
alih bahasa; Muhammad Nur Jabir
Abstrak
Tulisan
ini mencoba memaparkan beberapa konsep innefabilitas, menurut Allamah
Thabatabai. Pada tulisan sebelumnya kami mengutarakan beberapa konsep
innefabilitas dalam pandangan W.Stace dan William James. Pada tulisan kali ini
kami mencoba mengutarakan beberapa pandangan innefabilitas khususnya dari beberapa gagasan pemikir Islam Allamah
Thabatabai. Beberapa persoalan yang akan diuraikan dalam tulisan ini adalah
apakah absolut dapat diekspresikan ? jika wahdatul wujud melazimkan keabsolutan
apakah hal ini berarti bahwa tak ada bahasa yang dapat menggambarkan konsep
wahdatul wujud ? lalu apa sebenarnya makna dari innefabilitas ? apakah
maksudnya bahwa pengalaman irfani wahdatul wujud tidak bisa dikonsepsikan,
ataukah tidak bisa dipahami, ataukah tidak bisa dilogikakan ? jika demikian,
lalu kata seperti tak terbatas, tak terhingga, paradoks, dan kata ‘absolut’ ini
muncul dari mana ? apakah maksud dari innefabilitas bahwa akal tak mampu
menjangkaunya karena sudah diluar tapal batas akal ? tulisan ini ingin
menunjukkan bahwa pengalaman irfani wahdatul wujud yang absolut dan tak
terbatas dapat diekspresikan secara global namun tidak secara terperinci, namun
akal yang digunakan bukan lagi akal paripatetik.
Kata
kunci; Allamah Thabataba’i, innefabilitas, ketidakmungkinan-dikonsepsi,
irrasioanal, akal, potensi fantasi.
Mukaddimah
Pada
tulisan sebelumnya, kami telah memaparkan gagasan konsep innnefabilitas menurut
William James. Sebenarnya kami masih ingin melanjutkan tulisan sebelumnya
dengan gagasan pemikiran barat lainnya, namun akan lebih baik jika pada tulisan
kali ini kami tetap mengangkat konsep innefabilitas akan tetapi dalam pandangan
pemikir Islam, khususnya Allamah Thabataba’i. Tujuannya agar terjadi komparasi
pemikiran antara barat dan Islam dalam melihat persoalan innefabilitas.
Allamah
Thabataba’i salah satu filsuf hikmah muta’aliyah dengan maslak irfani.
Bisa juga disebut sebagai filsuf Sadrian yang menerima ontologi irfani. Dalam
kata lain, menerima ontologi irfani dengan kacamata Sadra. Pada kesempatan kali
ini, kami akan mengangkat gagasan Allamah Thabataba’i mengenai innefabilitas
dalam beberapa karyanya, khususnya pada risālah Allamah Thabataba’i. Sebagaimana
diketahui bahwa innefabilitas merupakan sebuah gagasan yang menjelaskan bahwa
yang mutlak, absolut, tak terbatas, dan khususnya pada maqam zat, tidak dapat
diekspresikan. Teori Allamah Thabataba’i ini disebut dengan
ketidakmungkinan-dikonsepsikan karena Allamah ingin menjelaskan innnefabilitas
melalui konsep. Namun dalam tulisan ini, kami tidak hanya mengangkat gagasan
Allamah Thabataba’i, tapi juga memaparkan teori lainnya dalam menjelaskan
innefabilitas.
1. Teori
Innefabilitas Allamah Thabataba’i; ketidakmungkinan-dikonsepsikan.
Allamah
Thabatabai memiliki beberapa bentuk analisa dalam menjelaskan innefabilitas.
Sebagai contoh, dalam uraiannya Allamah menegaskan persoalan tersebut dengan
kalimat ; ‘[bahwa sesungguhnya hal tersebut] telah keluar dari batasan
pemaparan’;
« قد عرفت أن مقتضى البرهان المذكور
في الفصل الثالث ارتفاع كل تعين مفهومي و تحديد مصداقي عن الذات و أنحاء كل تميز
هناك حتى هذا الحكم بعينه.و من هنا يظهر أن استعمال لفظ المقام و المرتبة و نحوهما
هناك مجاز من باب ضيق التعبير.و من هنا يظهر أن التوحيد الذاتي بمعنى معرفة الذات
بما هو ذات مستحيل فإن المعرفة نسبة بين العارف و المعروف و قد عرفت أن النسب
ساقطة هناك و كل ما تعلق من المعرفة به فإنما بالاسم دون الذات و لا يحيطون به
علما و إليه يرجع ما ذكروا أن المعرفة على قدرالعارف مثال ذلكالاعتراف من البحر
فإن القدح مثلا لا يريد إلّا البحر لكن الذي يأخذه على قدر سعته.و يظهر أيضا أنه
خارج عن حيطة البيان» (طباطبایی، 1387، 15)
Sebagaimana
pemaparan Allamah Thabatabai diatas, inti argumentasi yang diutarakan oleh
penulis merujuk pada tulisan lainnya. Tulisan Allamah berkenaan dengan hal
tersebut sebagai berikut:
« حيث ان كل مفهوم منعزل بالذات عن
المفهوم الآخر بالضرورة فوقوع المفهوم على المصداق لا يختلف عن تحديد ما للمصداق
بالضرورة و هذا ضروري للمتأمل و ينعكس إلى أن المصداق الغير المحدود في ذاته وقوع
المفهوم عليه متأخر عن مرتبة ذاته نوعا من التأخر و هو تأخر التعين عن الإطلاق.و
من المعلوم أيضا أن مرتبة المحمول متأخر عن مرتبة الموضوع و حيث أن الوجود الواجبي
صرف فهو غير محدود فهو أرفع من كل تعين اسمي و وصفي و كل تقييد مفهومي حتى من نفس
هذا الحكم فلهذه الحقيقة المقدسة إطلاق بالنسبة إلى كل تعين مفروض حتى بالنسبة إلى
نفس هذا الإطلاق » (همان، 7 ـ 6)
Kesimpulan
dari argumentasi innefabilitas ini sebagai berikut:
1. Setiap
konsep secara zati [pada hakekatnya] berbeda dari konsep yang lainnya.
2. Maka
setiap konsep secara zati [pada hakekatnya] terbatas.
3. Maka
terjadinya setiap konsep terhadap mishdaqnya menunjukkan keterbatasan mishdaq.
4. Oleh
karena itu, korespondensi konsep pada mishdaq yang tak terhingga adalah
mustahil.
5. Maka
terjadinya konsep pada mishdaq yang tak terhingga, lebih terakhir dari tingkatan
zat-Nya.
6. Proses
keterakhiran tersebut, keterakhiran terdeterminasi dari mutlak.
7. Kata-kata
adalah denotasi atas konsep-konsep.
8. Maka
tingkatan tak terhingga tak dapat dikonsepsikan maka tak dapat diekspresikan.
Argumentasi
diatas bisa dianalisa dalam beberapa padangan. Pertama, keterbatasan akan
terbedakan antara satu dengan yang lainnya, suatu hal yang tak perlu diragukan,
jika pembeda tersebut adalah pembeda kontras (tamâyuz taqâbulȋ). Jelas,
pembeda kontras berkaitan dengan realitas eksternal karena konsep sebagaimana
konsep memang berbeda secara zati antara satu dengan yang lain. Dalam kata
lain, difrensiasi konsep tidak menunjukkan atas keterbatasan secara mishdaq
dimana konsep tersebut diambil darinya. Yang saya maksud bahwa mungkin saja
pada tempat lain dapat membuktikan perkara ini bahwa pengabstraksian konsep
menunjukkan keterbatasan mishdaq namun difrensiasi konsep tidak dapat menunjukkan hal tersebut.
Kedua,
difrensiasi merupakan bagian dari partikularitas dan lebih layak dalam memulai
membicarakan partikularitas absolut yang merupakan dasar difrensiasi absolut.
Dalam difrensiasi absolut, mutlak terpartikularisasi dan oleh karenanya
terbedakan namun tidak terbatas. Tentu, hubungannya dengan sisi yang berhadapan
dengannya, bukan perbedaan [secara totalitas] (diversity/tabâyun).
Ketiga,
denotasi kata-kata atas konsep-konsep adalah ruang ambigu sebagaimana yang
telah dibahas pada teori sebelumnya yang juga akan dibahas secara detail pada
pasal ketiga yang akan datang.
Bagian
keempat, asumsi innefabilitas maqam absolut dan mengurainya dengan kata-kata
seperti absolut, maqam, tak terhingga, dan seterusnya. Namun perlu kami
ingatkan bahwa kata-kata tersebut tidak menjelaskan hakekat maqam tersebut,
bahkan kata-kata itu sendiri menyalahi konsep innefabilitas sebagaimana yang
telah dijelaskan sebelumnya pada pembahasan istilah ‘ekspresi’. Ekspresi
meliputi penegasan, majazi, hakiki, dan seterusnya, dan dalam pemaknaan, seakan
muncul dalam wadah lafas dan tidak dikhususkan pada jenis bentuk tertentu akan
lafas. Bahkan Allamah sendiri menerima bahwa pada sisi tertentu kita dapat
mengekspresikan maqam tersebut. Namun ekspresi, tidak menceritakan hakekat
konsep atas zat. Yang mengherankan, Allamah meyakini bahwa terjadinya konsep
atas sebuah tingkatan, lebih terakhir dari zat tersebut, yaitu terjadinya
konsep atas mishdaq yang tak terhingga.
Kelima,
yang menjadi titik permasalahan menurut
Allamah ‘terjadinya’ konsep pada mishdaq yang tak terhingga. Sekarang
pertanyaannya, apa itu konsep (mafhum) dan dari sesuatu apa
diabstraksikan ? jika konsep diabstraksi dari mishdaq yang tak terhingga dan
gambaran abstraksi seperti ini dimungkinkan, lalu mengapa kebalikannya – yaitu inthibâq
(penglarasan) – tidak
dimungkinkan ? hal lainnya, jika konsep didapatkan dari mishdaq tak terhingga,
apakah terjadinya pada mishdaq menjadi terakhir atas terjadinya konsep pada
mishdaq yang tak terbatas ?
Keenam,
ia mengatakan, terjadinya konsep pada mishdaq yang tak terhingga adalah
mustahil. Pertanyaannya adalah; apa
maksud dari kata ‘mishdaq yang tak terhingga’ atau kata lain yang serupa
dengannya ? apakah kata-kata tersebut tidak memiliki penterapan-penterapan
sebagai konsep ? maka kekuatiran dari penterapan kata ‘konsep’ dan sebagai
gantinya adalah ‘mishdaq yang tak terhingga’ merupakan penolakan akan asumsi
innefabilitas.
Namun,
dengan memberikan warna lebih pada ‘tak terhingga’, dapat diperoleh penguraian
lain mengenai innefabilitas. Berkenaan dengan hal ini, kami akan membahasnya
pada pembahasan selanjutnya dengan tema ‘tak-mungkin-diketahui’.
Ketujuh,
argumentasi Allamah bertujuan untuk menjelaskan bahwa zat tak mungkin
dikonsepsikan, maka oleh karenanya ‘tak terekspresikan’, namun objek
pembahasannya adalah ‘tak
terekspresikannya’ penyaksian-penyaksian irfani, bukan hanya diperuntukkan pada
penyaksian zat. Dalam kata lain, jika persoalannya pada kemustahilan terjadinya
konsep pada zat adalah melazimkan adanya pembatasan, maka syuhud dan ilmu
lainnya pada zat – atas dasar argumentasi tersebut – akan melazimkan
keterbatasan dan hal tersebut mustahil. Maka tak ada sesuatu yang dapat
dibicarakan dan tak ada sesuatu yang dapat dipahami dikarenakan konsepnya pun
tak ada. Persoalan ini merupakan sebuah bentuk pengetahuan global pada maqam
zat dan juga sekaligus sebagai justifikasi adanya konsep global pada maqam zat,
namun konsep semata, bukan esensi (mahiyah) yang terbatas.
Kedelapan,
Ibn Arabi menegaskan bahwa pembahasan mengenai ke-innefabilitas-an
penyaksian-penyaksian tidak berhubungan dengan batasan, keterbatasan, atau
ketidak-terbatasan.
«...كل إشارة دقيقة المعنى تلوح في الفهم لا تسعها العبارة و هي من
علوم الأذواق و الأحوال فهي تعلم و لا تنقال لا تأخذها الحدود و إن كانت محدودة في
نفس الأمر و لكن ما يلزم من له حد و حقيقة في نفس الأمر أن يعبر عنه »
(Ibn Arabi, 2, 503).
Sebagaimana
yang terlihat diatas, kelaziman akan keterbatasan adalah bukan ‘kemungkinannya
untuk diekspresikan’. Berdasarkan hal ini, dapat dipahami bahwa pokok penting
innefabilitas yang diasumsikan oleh para urafa, bukan ketidakterbatasan, namun
innefabilitas dalam pandangan urafa adalah mungkin saja – juga – meliputi
katerbatasan-keterbatasan. Apa yang menjadi pokok pembahasan penting kali ini
adalah menjelaskan innefabilitas menurut urafa, bukan menjelaskan konsep
universal ketidakmungkinan ekspresi [innefabilitas]. Sebagai contoh, Allamah
Thabatabai menguraikan dalam beberapa bentuk penjelasan innefabilitas, akan
tetapi apakah sama sekali maksudnya bukan innefabilitas dan atau bertentangan
dengan perkataannya sendiri. Sebagai contoh Allamah menulis:
«و من هنا یعلم أن لها مرتبه فوق مرتبه البیان اللفظی لو نزلت الی
مرتبه البیان دفعتها العقول العادیه اما لکونها خلاف الضرورة عندهم، أو لکونها
منافیا للبیان الذی بینت لهم به و قبلته عقولهم.» (Thabatabai, 153, 1382)
Sebagaimana
terlihat diatas, innefabilitas yang dimaksud yaitu jika diungkapkan maka akan
diingkari oleh rasionalitas kalangan awam. Pada mukaddimah pasal ini [tulisan
sebelumnya] ketika menjelaskan satu persatu gagasan-gagasan yang ada, terlihat
adanya pembauran sesuatu dengan innefabilitas pengalaman-pengalaman irfani.
Sebelumnya dijelaskan bahwa
penghalang-penghalang ekspresi tidak sama dengan persoalan innefabilitas
sebagaimana yang dimaksud oleh urafa. Begitu pula, mungkin saja terdapat sebuah
penjelasan yang bertentangan dengan gagasan-gagasan populer yang dijelaskan
sebelumnya. Persoalan lainnya yang sangat penting, Allamah sendiri menjelaskan
kemungkinan terjadinya ekspresi bahasa dan kemudian satu-persatu menjelaskan
penghalang-penghalang sosial akan bahasa tersebut. Oleh karena itu, pengalaman
irfani itu sendiri menurut Allamah, dapat diekspresikan.
Pada
kesempatan lain, Allamah menjelaskan bahwa salah satu penghalang ekspresi
bahasa dikarenakan kemungkinan pengkafiran oleh orang lain karena level
pemahaman yang rendah. Namun pada saat yang sama, Allamah mengisyaratkan sebuah
riwayat bahwa apa yang kami sembunyikan dari anda, lebih banyak dari apa yang
kami tampakkan pada anda, dan bagian rahasia pengetahuan ini hanya disampaikan
pada ahli batin. Berdasarkan dengan dalil ini, sebagian dari sahabat Nabi
adalah Ashhabul Asrar [memiliki ruhaniyah batiniyah]. Pada pembagian ini
juga terlihat bahwa penghalang bentuk ekspresi yang dimaksud, bukan menjadi
objek pembahasan innefabilitas irfani. Bahkan sebaliknya, bagian kedua
menegaskan kemungkinan ekspresi yaitu dengan kalimat ‘jika kami jelaskan’ atau
‘yang tidak kami jelaskan itu lebih luas’ atau ‘kami hanya menjelaskan pada
ahli batin”. (ibid, 154-156).
2. Ketidakmungkinan-diketahui
Argumentasi
yang didasarkan pada ketidamungkinan-diketahui untuk innefabilitas karena ilmu
terhadap Tuhan itu tidak mungkin, sedangkan ekspresi merupakan bagian dari
pengetahuan, maka Tuhan adalah innefabilitas. Sayyid Haydar Amuli secara
ringkas mengargumentasikan persoalan tersebut sebagai berikut:
« اعلم انّ حقيقة التوحيد اعظم و اجلّ من ان يحيط بها عقل من حيث
العبارة، او يصل إليها فهم من حيث الإشارة، لانّ العبارة، في طريق تحقيقها، حجاب،
و الإشارة، على وجه إشراقها، نقاب، لانّها منزهة من ان تصل الى كنهها ايدى العقول
و الافهام، مقدّسة عن ان تظفر بمعرفتها الحقيقية تصرفات الأفكار و الأوهام.» (Amuli, 348)
Untuk
menganalisa lebih jauh argumentasi diaatas, pertama-tama mesti ditentukan,
sesuatu apa yang tidak mungkin diketahui ? jawabannya bahwa mustahil memiliki
pengetahuan terhadap zat dari sisi hakekatnya. Berkenaan dengan hal tersebut,
terdapat beragam uraian:
« و لما كان الحق سبحانه من حيث حقيقته في حجاب عزه، لا نسبة بينه
و بين ما سواه- كما سبق التنبيه عليه- كان الخوض فيه من هذا الوجه و التشوّق إلى
طلبه تضييعا للوقت و طلباً لما لا يمكن تحصيله » (Qunawi, 26-27),
Hakekat
mutlak tidak mungkin diketahui karena pengetahuan menunjukkan aspek
keterjangkauan terhadap objek yang diketahui, sedangkan keterjangkauan terhadap
hakekat mutlak bermakna pembatasan terhadap tak terhingga dan hal tersebut
mustahil (Jami, 27, 1370).
Attar
juga mengargumentasikan innefabilitas berdasarkan ‘ketidakmungkinan-diketahui’
dan argumentasinya juga bersandar pada ketidakterbatasan:
Dia
dekat kepada kita dan kita padanya jauh dan jauh
Namanya
Sultan para ayam bagi burung-burung
Tak
ada batasan, setiap bahasa adalah namanya
Dalam
singgasana kemuliaannya adalah ketenangannya
Kapankah
sampainya ilmu dan pikiran pada dia yang disana
Dia
tak hinggap di kepala dengan dirinya pada dia yang disana
(Attar,
bait 718, 713-714)
Hajwiri
dalam menjelaskan persoalan ini mengatakan:
“[Rasulullah
saw] mengatakan dengan benar, dan dengarkanlah perkatannya; ‘oleh karena telah
sampai pada puncak, maka bahasa dalam menyingkap jalal menjadi bisu dan hati
menjadi bingung dalam hakekat keagungannya. Pengetahuan dari persepsi menjadi
terhenti, bahasa dari ibarat menjadi lumpuh” (Hajwiri, 294).
Setelah
diketahui bahwa pengetahuan adalah relasi dan relasi adalah sebuah bentuk
pembatasan, maka pada maqam hakekat absolut sama sekali tak ada relasi, oleh karenanya tak satupun pengetahuan yang
mampu sampai ke sana (Qunawi, 6-7, 1370).
Maka
pada maqam hakekat absolut zat yang tak mungkin diketahui, beberapa
analisis-analisis di dalam filsafat Islam, banyak ditemukan juga persoalan
serupa. Sebagai contoh, Mulla Sadra juga memahami bahwa pengetahuan terhadap
Tuhan pada aspek tersebut (maqam zat) adalah mustahil. Ia mengatakan bahwa objek
yang diliputi [yang terbatas] tidak akan dapat meliputi objek yang membatasi
[yang tak terbatas] (Syirazi, 22-23, 1381). Analisa ini merupakan bentuk
analisa lain selain dari analisa yang telah dijelaskan sebelumnya.
Namun
penegasan Urafa adalah berkaitan dengan kemustahilan ilmu terperinci pada inti
zat, sebab ilmu secara global pada zat masih dimungkinkan:
(Jami,29,
1370) «ولا الظفر به الا بوجه جملی وهو أن وراء
ما تعین امر به ظهر کل متعین»
Dalam
kata lain, meskipun mustahil menemukan Tuhan pada inti hakekat dan pada kedalaman
hakekatnya secara terperinci, namun mengetahui diri-Nya di dalam
manifestasi-manifestasi adalah dimungkinkan (Kharazmi, 194, 1368). Bahkan Sadra
sendiri menegaskan bahwa mustahil sebuah akibat memiliki ilmu secara terperinci
terhadap hakekat zat sebab. Sadra juga menjelaskan bahwa akibat memiliki ilmu
hudhuri terhadap sebab namun sebatas kadar keluasan eksistensinya, bukan seluas
maqam zat yang absolut dan tak terhingga. Tetapi mesti dipahami bahwa
argumentasi Sadra tidak relevan dengan maqam pembahasan ini, meskipun Sadra
juga menggunakan ayat qur’an; Allah memperingatkanmu terhadap diri-Nya (ali-imran;30)
sebagaimana urafa juga menggunakannya dan menjelaskan argumentasinya berkaitan
dengan maqam zat Tuhan. Namun sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya
bahwa pada maqam zat, relasi atau nisbah dinafikan, dan penisbahan relasi
kausalitas pada-Nya adalah sebuah bentuk kesalahan. Namun bagaimanapun itu,
dalam sistem filsafat Sadra, sebuah akibat dimungkinkan untuk memiliki ilmu
hudhuri ‘secara global’ pada sebab, dan hal ini bukan hanya dikhususkan pada
pengetahuan sebuah akibat pada sebab, bahkan dalam sistem filsafat Sadra,
pengetahuan terhadap akibat tidak akan mungkin diketahui oleh siapa pun tanpa
pengetahuan terhadap sebabnya. Oleh karena itu, mengetahui setiap akibat, pada
hakekatnya meliputi juga pengetahuan terhadap Tuhan. Hal lainnya bahwa sama
sekali tidak diragukan mengapa eksistensi atau ‘ada’ dinisbahkan pada maqam
tersebut, dan atas dasar inilah hal tersebut disebut dengan badihi (Nasafi, 30,
1386 / Qayshary, 14, 1375). Hal tersebut merupakan salah satu mishdaq dari
pengetahuan global pada maqam tersebut, sebagaimana yang diuraikan oleh Qunawi
pada uraian sebelumnya dan juga dinukil oleh Jami.
Allamah
Thabatabai meyakini bahwa yang sampai kepada Tuhan bukan hanya para Nabi
semata, bahkan dimungkinkan pada seluruh keberadaan. Allamah mengutarakan
alasannya sebagai berikut:
«وشهود الظاهر لایخلو من شهود الباطن لکون وجوده من اطوار وجود
الباطن و رابطاً بالنسبه الیه» (Thabatabai، 1382، 167)
Mesti
dipahami bahwa kata ‘batin’ pada kalimat diatas tidak mesti dimaknai sebagai
yang berhadapan dengan kata ‘zahir’, bahkan meliputi juga maqam absolut. Karena
dalam lanjutan pembahasannya Allamah mengisyaratkan ayat-ayat yang berkaitan
dengan cakupan luas Ilahi terhadap segala perkara dimana Allamah menyebutnya
dengan cakupan luas eksistensi. Dalam pandangan Allamah, rahasia mungkinnya ‘liqaullah’
(bertemu dengan Allah) pada alam dunia ini dikarenakan cakupan luas
eksistensi yang dimilikinya:
(ibid, 170) «والذی هذا [ای احاطة] شأنه لایتأتی الامتراء
فی شهوده و لقائه»
Rahasia
cakupan luas eksistensi yaitu pada ketidakterbatasan dan keabsolutan zat. Dalam
tafsirnya al-mizan, ketika menjelaskan serta menganalisa ‘ketunggalan
dominasi’ (wahdah qahriyah), Allamah kemudian menulis:
«فافرض أمرا
متناهيا و آخر غير متناه تجد غير المتناهي محيطا بالمتناهي بحيث لا يدفعه المتناهي
عن كماله المفروض أي دفع، فرضته بل غير المتناهي مسيطر عليه بحيث لا يفقده
المتناهي في شيء من أركان كماله، و غير المتناهي هو القائم على نفسه، الشهيد
عليه، المحيط به» (طباطبایی، 6، 89)
Maka
ketika menemukan keterbatasan-keterbatasan pada inti keterbatasan tersebut,
ketidakterbatasan itu dapat dirasakan secara hudhuri. Namun ilmu hudhuri
tersebut tentunya tidak secara detail. Maksudnya maqam zat tersebut – pada
maqam zat – tidak akan diketahui secara terperinci. Namun zat Ilahi pada
manifestasi-manifestasi dapat dipersepsi, bukan hanya sebatas wajah
manifestasinya yang dapat dipersepsi. Perhatikan kata kunci pada kalimat
dibawah ini:
«... و أن للمحدود فی نفسه مرتبة خالیة عن الحد، اذ هو خارج عن
ذاته علی ما برهن علیه فی محله.» (ibid, 158)
Maksudnya
bahwa batasan, bukan bagian zat yang dibatasi, bahkan yang dibatasi memiliki
zat dan batasan. Oleh karena itu, ketika menemukan ‘yang dibatasi’, zat yang
tak terbatas juga bisa ditemukan pada inti ‘yang dibatasi’.
Kesimpulannya
bahwa argumentasi innefabilitas didasarkan pada ketidakterbatasan yang
merupakan objek penyaksian. Jadi karena Tuhan itu absolut dan relasi
pengetahuan bermakna menjangkau atau keterjangkauan,
maka mustahil menjangkau yang absolut sebagaimana
yang terlihat pada beberapa uraian sebelumnya berkenaan dengan hal ini. Jelas,
ekspresi adalah bagian dari kausalitas dan oleh karenanya Tuhan adalah
innefabilitas.
Kesimpulan
dari kritikan bahwa apa yang menjadi mustahil adalah pengetahuan secara
terperinci ‘selain zat’ pada tingkatan zat sementara ‘ekspresi’ tidak terikat
dengan ekspresi tersebut. Oleh karena itu, sebagaimana pengetahuan secara
global – baik hudhuri dan hushuli – dimungkinkan terhadap zat pada maqam
manifestasi-manifestasi, maka ungkapan dan ekspresi juga keluar dari lingkaran
kemustahilan, kemudian hingga kita sampai disini yaitu kita pasrah pada wujud ketidakterbatasan yang menjadi
objek penyaksian. Namun Ibn Arabi menegaskan bahwa rahasia innefabilitas bukan
ketidakterbatasan bahkan dalam penyaksian pada objek yang terbatas pun
innefabillitas bisa saja terjadi (Ibn Arabi, 2, 503).
3. Ketidakmungkinan
Pembatasan
Argumentasi
berikut ini, selain memiliki banyak kesamaan dengan dua dalil sebelumnya namun
tetap memiliki perbedaan. Dalam dalil sebelumnya, khususnya dalil dalam
pandangan Allamah Thabatabai, dijelaskan bahwa zat dari aspek
ketidakterbatasannya tidak dapat menjadi tempat sandaran konsep yang secara
zati terbatas. Kemudian pada dalil sebelumnya juga dijelaskan bahwa kelaziman
pengetahuan adalah keterjangkauan ‘subjek yang mengetahui’ pada ‘objek yang
diketahui’ dimana jika persoalan ini dikaitkan dengan Tuhan akan menjadi mustahil
karena Tuhan itu absolut. Kemudian, oleh karena setiap ekspresi bergantung pada
pengetahuan maka mengekspresikan Tuhan juga mustahil. Namun pada dalil
terakhir, bukan aspek pengetahuan dan bukan aspek konsep zat yang dibahas,
namun bentuk pengekspresian tanpa melazimkan perantara ilmu atau konsep yang
akan menyebabkan pembatasan dan hal itu secara jelas mustahil:
«... فان المتحیز محصور، نطقه محصور، والمحصور لایحیط بالمطلق.»
(تلمسانی، 2، 610)
Sisi
kekuatan argumentasi ini yaitu meletakkan relasi bahasa pada realitas itu
sendiri, tidak seperti dalil sebelumnya yang meletakkan makna setara dengan
konsep atau melibatkan sebagian dari pengetahuan di dalamnya. Namun
pertanyaannya adalah jika ekspresi secara mutlak tidak dimungkinkan, lalu
bagaimana menjustifikasi kata ‘mutlak’ itu sendiri ? pada dasarnya, meskipun
zat pada tahapan zat tidak berkaitan dengan ekspresi secara hakiki dan
terperinci, namun ekspresi lebih umum dari batasan-batasan ini, dan aplikasi
kata-kata seperti kalimat-kalimat yang dijelaskan sebelumnya merupakan dalil yang
paling baik akan kemungkinan ekspresi. Batasan-batasan dan
penjelasan-penjelasan seperti kata-kata berikut ini; absolut, ketunggalan
hakiki, dan seterusnya, menunjukkan bukan inti hakekat maqam tersebut dan juga
tidak merubah sesuatu apa pun. Karena cukup dengan ekspresi secara global
seperti ini maka perannya melalui kata-kata seperti absolut akan mengantarkan
pada sebuah penjelasan bahwa kata-kata ini tidak akan menunjukkan hakekat inti
maqam tersebut, dan hal ini cukup dalam menolak kemustahilan asumsi tersebut.
Penting diingat pada pasal sebelumnya, khususnya pada pembahasan istilah
‘ekspresi’ dalam innnefabilitas pengalaman irfani bahwa yang dimaksud dengan
ekspresi adalah ‘memunculkan dalam bentuk kata’ dan tidak terikat dengan
batasan apa pun. Oleh karena itu, argumentasi ini mengenai penafian secara
keseluruhan ‘kemungkinan ekspresi’, namun hanya menolak ‘kemungkinan ekspresi’
zat pada maqam zat dan pengekspresian secara hakiki dan terperinci.
4.
Irrasional (ketidakmungkinan-dilogikakan)
Sebagian
besar dari para peneliti agama dan irfan, irrasionalitas pengalaman irfani
merupakan dasar problema seorang arif dengan bahasa. W. Stace menukil analisa
ini dari Plato (W. Stace, 104). W. Stace sendiri pada pasal terakhir di dalam
karyanya lebih cendrung pada analisa tersebut (ibid, 316-319). Tokoh ternama
lainnya yang menyetujui analisis ini
seperti Izutsu, Suzuki, Otto, dan juga beberapa tokoh lainnya. Pada analisis
ini, persoalannya bukan dari lawan bicara (mukhātab) dan bukan dari
pembicara, bahkan jika pembicara ingin mengungkapkan pengalamannya pada dirinya
sendiri pun akan menemukan jalan buntu. Pengalaman irfani yang paling jelas
adalah pengalaman wahdatul wujud yang akan melazimkan beragam paradoks dalam
perspektif akal. Ketunggalan dan keragaman salah satu jenis paradoks yang
paling penting. Apakah hanya ada satu realitas wujud ataukah keragaman juga
merupakan bagian dari hakekat ? perlu diperhatikan, pusat analisis dalam
argumentasi ‘irrasional’ untuk innefabilitas yaitu pertentangan pengalaman
irfani wahdatul wujud dengan logika, bukan dalam penafian keragaman atau
menetapkannya. Maksudnya meskipun kelaziman dari keyakinan akan ketunggalan
realitas wujud hakiki adalah penafian pluralitas, namun argumentasi ini tidak
dalam menegaskan keragaman atau menentang penjelmaan penafiaan keragaman dengan
kesadaran manusia. Pada dasarnya, yang menjadi poin penting bukan pada
ketunggalan dan keragaman, namun pada paradoks yang terjadi diantaranya. Sebab
dalam pengalaman wahdatul wujud ada dua sisi penetapan ketunggalan dan
selanjutnya penafian keragaman dan juga menetapkan keragaman. Berbeda dengan W.
Stace yang menyelesaikan persoalan tersebut dengan aspek penetapan paradoksikal
(syathahiyat). Stace menegaskan
bahwa seorang Arif dengan paradoks-paradoks negasinya tidak akan menjadi soal
(W. Stace, 314). Persoalannya pada ketakutan akal – pada tahap pertama – dalam
menyatukan negasi dan afirmasi paradoks, bukan aspek negasinya. Paradoks
tasybih dan tanzih termasuk bagian kontradiksi lainnya di dalam wahdatul wujud
sebab irfan dari satu sisi meyakini bahwa Tuhan itu tanzih dan tak satu pun
yang menyerupainya, namun dari sisi lain bahwa dikarenakan segala sesuatu
merupakan manifestasi darinya maka terdapat kesamaan [tasybih]. Paradoks hadir
dan gaib dalam pengertian bahwa Tuhan dengan kelaziman tajalli diri-Nya maka
Dia hadir dalam seluruh alam dan pada saat yang sama tersembunyi dalam batin
zat-Nya.
Kutipan
kalimat masyhur dari Kharrāz ‘aku mengenal-Nya dengan menyatukan-Nya diantara
dua hal yang kontradiktif’. Juga menurut Ibn Arabi; Dia bukan menyatukan antara
dua hal yang kontradiktif, bahkan Dia adalah antara dua hal yang kontradiktif
itu sendiri. Objek persoalan tersebut tidak memiliki mishdaq yang lain selain
wahdatul wujud (Ibn Arabi, 2, 476). Hanya dalam ranah ini kontradiktif tersebut
bisa terjadi (ibid, 635). Disela-sela Ibn Arabi mengisyaratkan sebagian
paradoksikal dan menjelaskan pembatasan terjadinya realitas ini hanya pada
wujud mutlak, ia meyakini ketidakmampuan bahasa dalam mengungkapkan fenomena
kontradiktif:
«فالكون يغاير مركبه بسيطه و عدده
توحيده و أحديته و الحق عين تركيبه عين بسيطه عين أحديته عين كثرته من غير مغايرة
و لا اختلاف نسب و إن اختلفت الآثار فعن عين واحدة و هذا لا يصح إلا في الحق تعالى
و لكن إذا نسبنا نحن بالعبارة فلا بد أن نغاير كان كذا من نسبة كذا و كذا من نسبة
كذا لا بد من ذلك للافهام» (ibid,116)
Beragam
uraian telah ditulis dalam menjelaskan persoalan ini dan saya hanya mencukupkan
dengan menggambarkan secara umum ke-paradoks-an sebuah maqam dimana urafa
menyebut maqam tersebut dengan ‘beyond intellect’ (diluar tapal batas
akal). Namun perlu diingat bahwa ke-paradoks-an maqam tersebut juga berasal
dari hukum akal. Sebagai contoh pertanyaan tentang; apakah ‘mumkin’ itu ada
atau tidak ? jika iya, maka akan bertentangan dengan pembatasan wujud yang
hanya pada wujud mutlak. Jika jawabannya tidak, indrawi dan akal akan
menentangnya. Melihat persoalan secara filosofis seperti ini, juga mirip dalam
mempertanyakan apakah mahiyah itu ada atau tiada. Sang penanya menginginkan
bahwa filosof akan memberikan jawaban pada salah satu diantara dua hal yang
kontradiktif yaitu ia atau tidak. Perkataan berikut ini salah satu bentuk
penilaian akal terhadap
pensifatan-pensifatan urafa [terhadap Tuhan] melalui pengalaman-pengalaman
mereka:
“sangat
jelas bahwa pensifatan-pensifatan yang aneh oleh para urafa melalui
pengalaman-pengalaman khas mereka dan juga menemukan Tuhan dengan
kehadiran-Nya, dipenuhi dengan kontradiksi-kontradiksi dan dari segala jenis
bentuk kontradiksi” (Syūlim, 51).
Kesimpulan
dari argumentasi diatas sebagai berikut:
1. Wahdatul
wujud adalah irrasional (diluar dari tapal batas akal) dan penuh dengan
paradoks.
2. Alam
penakbiran adalah alam akal dan karenanya berlaku kaidah logika baginya.
3. Maka
kata-kata yang berada dibawah naungan akal, berlaku baginya kaidah akal. Namun
tak dapat diberlakukan pada kata-kata diluar tapal batas akal.
4. Oleh
karena itu jika wahdatul wujud memakai pakaian frasa, seorang arif tidak akan
menerimanya. Misalnya ungkapan ‘Dia adalah Dia’ menurut arif tidak sesuai
dengan penyaksian-Nya dan juga ungkapan ‘Dia bukan Dia’ tidak sesuai dengan
penyingkapannya.
5. Maka
pengalaman irfani tak dapat diekspresikan (innefability).
Sebagian
mengatakan bahwa akal yang cakupannya menafikan wilayah wahdatul wujud disebut
dengan akal paripatetik. Karena pembaca analisa-analisa dan
penjelasan-penjelasan indah Ibn Arabi adalah juga akal. Setelah itu Sadra –
yang saat ini dianggap sebagai puncak pemikiran filsafat Islam – juga
menggunakan akal dalam menganalisa relasi kausalitas dan akhirnya sampai pada
pembahasan tajalli. Sebagai contoh, Ibn Arabi secara rinci menjelaskan paradoks
tasybih dan tanzih – salah satu paradoks yang telah dibicarakan sebelumnya –
dan menggambarkan penyatuan tasybih dan tanzih,
juga menjelaskan ‘beyond’ tasybih dan tanzih. Penguraian Ibn Arabi
seperti ini dipahami oleh arif yang tak punya makasyafah, tanpa melihat apakah
arif tersebut menerima argumentasi Ibn Arabi atau tidak. Berkenaan dengan
Sadra, ia juga meyakini sebagaimana yang diyakini oleh arif bahwa akal akan
tercerahkan [memahami hakekat sebagaimana adanya] setelah sampai pada perkara
paling akhir suluk irfani. Pada saat itu akal mendapatkan pencerahan dengan
cahaya hidayah Ilahi. Hasilnya akal mampu mencipta kata seperti manifestasi (tasya’un),
aspek (jihah), perubahan-perubahan entitas (tathawwur).
Disela-sela pembahasannya Sadra mengingatkan rumitnya memahami persoalan tersebut,
ia juga menjelaskan bahwa sebagian besar
dari akal yang digunakan, akal yang belum mendapatkan siraman cahaya Ilahi,
akal seperti ini tidak akan sampai pada persoalan tersebut. Yang menarik disini
karena Sadra menuliskan pemikirannya dan diperuntukkan bagi pembaca yang bukan
arif, dan dia berkeyakinan bahwa dengan penjelasan-penejelasan seperti ini yang
disertai dengan fungsi kata, dapat menukil makna wahdatul wujud tersebut.
(Syirazi, 1, 300-302)
Pokok
lainnya, di dalam paradoks-paradoks wahdatul wujud perlu diperhatikan
aspek-aspek negasi dan afirmasi. Menurut Stace, tidak satupun dengan sendirinya
dapat mentransfer penyaksian irfani wahdatul wujud. Setiap arif masing-masing
memperhatikan aspek negasi dan afirmasi, kemudian menurut mereka, hal tersebut
bertentangan dengan menyaksikan penyatuan antara dua hal kontradiktif.
Berdasarkan alasan ini, pengalaman irfani tak bisa diekspresikan. Namun
sebagaimana yang juga diisyaratkan oleh Ibn Arabi, persoalan arif bukan
‘kebingungan epistemologi’ dari Sang Agung atau ‘kebingungan epistemologi’
seorang arif dari memahami objek yang disaksikan. Namun ‘kebingungan’ (tahayyur)
merupakan sifat realitas eksternal. Izutsu menyebut hal tersebut dengan
‘kebingungan metafisika’. Jadi, seorang arif dengan aspek paradoksikalnya yang
ia miliki, sedang menjelaskan dengan baik kondisi yang disaksikannya. Meskipun
setelah pembaca mendengarkan hal tersebut, mungkin menerimanya atau dapat
menkonsepsinya dengan teliti atau juga tidak. Namun apapun itu, pembaca dapat
memahami maknanya. Dalam kata lain, ekspresi adalah memunculkan dalam bentuk
kata, dan belum disyaratkan padanya apakah dalam satu kalimat atau dua kalimat
(maksud saya dua kalimat paradoks).
Anehnya,
mereka yang meyakini argumentasi ini dengan entengnya menggunakan kata-kata
seperti paradoks, namun wilayah persoalannya diluar tapal batas akal
(irrasional) sehingga tak dapat diekspresikan. Apakah penggunaan kata seperti
‘paradoks’ bukan bentuk ekspresi ? dalam kata lain, apakah kata paradoks
baginya dapat dipahami ? apakah persoalan seperti ‘segitiga yang segiempat’
tidak termasuk sebagai salah satu mishdaqnya ? maka baik maknanya dapat
dipahami dan juga pada persoalan tersebut terdapat beragam mishdaq. Oleh karena
itu, bahkan jika disepakati ada alam diluar tapal batas akal, namun tetap saja
dapat diekspresikan.
Kritikan
lainnya, secara mendasar tidak dapat diterima jika wahdatul wujud itu
‘irrasional’ dan tak dapat dilogikakan. Banyak penelitian yang berkaitan dengan
persoalan ini. Tulisan ringkas ini tidak ingin membuktikan rasionalitas
wahdatul wujud. Sebagai contoh, pada buku-buku inti irfan seperti buku mishbāh
al-uns menguraikan beberapa argumentasi secara rinci dalam membuktikan
wahdatul wujud. Kami tidak bermaksud untuk memaparkan semua argumentasi
wahdatul wujud. Namun persoalan tersebut kami angkat dalam menegaskan bahwa
wahdatul wujud dapat dilogikakan, dapat dipahami, dan dapat diekspresikan.
Persoalan
lainnya, meskipun kita mengabaikan asumsi bahwa penjelasan wahdatul wujud
diekspresikan dengan dua kalimat yang paradoks, namun kita tidak bisa
mengabaikan pentasybihan-pentasybihan padanya. Pada pasal yang akan datang kita
akan mellihat bahwa meskipun sistem bahasa akal tidak sesuai dengan wahdatul
wujud karena akal hanya memahami tanzih sedangkan tanzih tidak menjangkau wahdatul
wujud dikarenakan wahdatul wujud – pada sisi yang lain – memiliki aspek
tasybih. Namun potensi fantasi (wāhimah) sebagai alat tasybih yang
paling baik berperan dalam mengekspresikan wahdatul wujud.
Berdasarkan
hal tersebut, ekspresi hanya sekedar memunculkan dalam bentuk kata, dan urafa
mengutarakan maksudnya dalam bentuk yang paling baik dengan menggunakan bahasa
paradoksikal dan tasybih. Pada dasarnya kita tidak dapat berharap pada ekspresi
akal – dalam pengertian akal peripatetik – dalam mengekspresikan wahdatul
wujud.
Kritikan
terakhir pada argumentasi ini yaitu pada ‘penjelasan bahwa ekspresi berada
dibawah naungan batasan akal’, padahal tidak demikian halnya. Sebagai contoh, jika
memperhatikan produk-produk potensi lainnya selain akal, apakah setara dan
sedanding dengan perangkat bahasa ? apakah fungsi bahasa potensi lain selain
akal seperti fungsi pentasybihan potensi fantasi, tidak digunakan sebagai
ekspresi bahasa ? tampaknya disini ada pembauran dimana bahasa hanya dibatasi
pada peletakan kata-kata pada makna dan makna bersifat independen. Kemudian
mereka sampai pada kesimpulan ini bahwa ‘peletakan’ pada dua hal yang tidak
terdapat perbedaan, secara akal tidak dibenarkan. Padahal pertama, fungsi
bahasa tidak dibatasi hanya pada akal semata. Bahkan meskipun demikian halnya,
dengan banyaknya tanda dan penanda akan menunjukkan signifikasi. Misalnya kata
‘difrensiasi komprehensiv’ (tamāyuz ihāthī) menunjukkan sebuah realitas dan
memiliki makna. Namun menurut pandangan yang menafikan hal tersebut menganggap
sebagai ‘kebingungan metafisika’ dan tentunya tak dapat diekspresikan.