Sebenarnya kita semua tahu, ketidaktahuan kita lebih banyak dari apa yang kita ketahui. Ketidaktahuan kita seperti samudera, lebih luas dari apa yang kita ketahui. Jadi tak perlu membicarakan apa yang tidak kita ketahui. Apa ada jalan membicarakan sesuatu yang tidak kita ketahui? Kecuali kita memilih menjadi orang yang 'sok tahu', tak masalah.
Tapi kata Mark Twain, "Lebih baik anda tutup mulut dan terlihat bodoh, daripada anda buka mulut dan semua orang memahami bahwa anda benar-benar bodoh".
Bahkan, jangankan atas sesuatu yang tidak kita ketahui, apa yang kita ketahui pun, belum tentu benar-benar kita ketahui, sebab selalu saja menyisakan ketidaktahuan dari apa yang kita ketahui.
Coba perhatikan objek yang setiap hari kita jumpai dan begitu dekat dengan kehidupan kita. Misalnya air, sejauh apa sih pengetahuan kita tentang air? Padahal air salah satu objek yang sangat berguna dalam kehidupan kita. Boleh dikata, hampir-hampir tak mungkin dalam kehidupan keseharian kita terpisahkan dari air.
Namun saat berselancar di dunia maya, kita baru menyadari, betapa sedikit pengetahuan kita tentang air. Bahkan hingga kini, penelitian tentang air oleh para ahli masih terus berlangsung. Belum lagi dengan objek-objek pengetahuan kita yang lain, khususnya pengetahuan-pengetahuan kita yang sangat abstrak, seperti agama, keyakinan, kepercayaan, ideologi, politik, dan ratusan konsep-konsep lainnya.
Jadi yang mana sebenarnya yang benar-benar kita ketahui? Pertanyaan ini semakin sulit terjawab sebab ternyata apa yang kita ketahui tak menjamin bahwa kita benar-benar mengetahuinya.
Tapi mungkin kita bisa menjawabnya dengan sederhana bahwa apa yang kita ketahui adalah apa yang kita alami secara personal. Misalnya saat kita bertanya, apa anda tahu berenang? Sebab meskipun saya tahu teorinya, tapi jika tak bisa renang, itu berarti sama saja saya tidak mengetahuinya.
Bahkan meskipun saya pernah melihat secara langsung orang yang sedang berenang, selama saya belum bisa renang, tetap saja saya akan dianggap sebagai orang yang tak tahu berenang. Tapi saat saya benar-benar pandai berenang, orang-orang akan mengatakan kepada saya bahwa saya pandai berenang.
Pengetahuan kita yang sejati adalah pengalaman atas apa yang kita alami. Meskipun tahu namun tak pernah mengalaminya, rasa-rasanya kita belum benar-benar mengetahuinya.
Namun perjalanan kehidupan kita tak sepanjang perjalanan waktu. Kita tak punya waktu untuk mengalami seluruh pengalaman-pengalaman yang orang lain alami. Kesadaran atas hal itu juga berdasarkan pengalaman dari orang-orang di sekitar kita. Apa yang mereka alami belum tentu kita alami. Begitu pula sebaliknya.
Tapi kita beruntung karena betapa banyak orang yang menuliskan pengalamannya. Berkat tulisan-tulisan mereka kita bisa belajar apa yang orang lain alami, apakah berakhir dengan baik atau buruk.
Problem utama kita karena enggan belajar dari pengalaman orang lain. Tak pernah membuka diri karena selalu merasa cukup dengan pengalaman diri sendiri.
Berikut ini pesan yang cukup indah dari Maulana Rumi dan sekaligus bisa kita anggap sebagai kategori manusia berdasarkan pengetahuan dalam pandangan Maulana Rumi:
1.
Seseorang yang tahu dan ingin tahu,
Orang itu telah mengantarkan dirinya kepada kebahagiaan yang tinggi.
2.
Seseorang yang tahu dan tahu bahwa dirinya tahu,
Orang itu telah menempatkan pelana pada kuda petarung.
3.
Seseorang yang tahu dan tidak tahu kalau dirinya tahu,
Orang itu telah berdampingan dengan kendi air, namun membiarkan dirinya kehausan.
4.
Seseorang yang tak tahu dan tahu kalau dirinya tidak tahu,
Kepincangan keledainya telah sampai di tujuan.
5.
Seseorang yang tak tahu dan ingin tahu,
Orang itu ingin membebaskan jiwa dan raganya dari kebodohan,
6.
Seseorang yang tak tahu, dan tak tahu kalau dirinya tidak tahu,
Orang itu selamanya berada dalam kebodohan di dalam kebodohan.
7.
Seseorang yang tak tahu dan tak ingin tahu,
Alangkah malangnya, jika makhluk seperti ini masih tetap hidup!