Tentu ada
alasan dan tujuan yang jelas mengapa mesti ada polisi-tidur.
Pertanyaan-pertanyaan tentang polisi-tidur dalam tulisan ini tidak
diperuntukkan untuk posisi polisi-tidur yang menjadi satu-satunya alasan
terbaik dalam mengontrol laju kecepatan kendaraan, seperti di tempat-tempat
lalu lalang anak-anak bermain, di sekolah-sekolah,
dan tempat-tempat peribadatan.
Namun saya
yakin, kita pernah berada di atas jalan di mana dalam beberapa radius meter ke
depan selalu dipertemukan dengan polisi-tidur. Setiap orang terpaksa dan
dipaksa untuk melewatinya. Dan setiap orang mesti menurunkan kecepatan
kendaraannya.
Jadi mungkin
pertanyaan ini hadir di dalam benak setiap orang. Mengapa kita terpaksa melewati
polisi-tidur dan mengapa orang-orang terpaksa membuat polisi-tidur? Bukankah
lebih baik jika jalan-jalan itu dibangun tanpa dihiasi polisi-tidur? Sebenarnya
apa hubungan polisi-tidur dengan kemanusiaan kita hari ini?
Mengapa
kesadaran kita mesti terjaga dengan keterpaksaan? Apakah keterpaksaan menjadi
pengendali kemanusiaan kita hari ini? Apakah mesti terpaksa sehingga menjadi
orang baik? dan apakah kebaikan adalah sebuah keterpaksaan?
Saya menyangka
kemanusiaan kita sedang dikutuk oleh polisi-tidur sebab saya merasa selama ini
saya mengendarai kendaraan dengan baik dan mengikuti nalar etika berkendaraan.
Bunyi suara kendaraanku tidak keras sehingga tidak memekik telinga-telinga yang
mendengarkannya. Apalagi saya mengendarai kendaraanku dalam laju kecepatan yang
relatif normal. Lalu mengapa saya mesti dipaksa dan terpaksa melewati polisi-tidur?
Namun di sisi
lain kita tak mungkin mengingkari bahwa tidak semua orang peduli dengan nalar
etika berkendaraan. Ada orang tertentu yang main klakson seenaknya. Sengaja
membesarkan suara kendaraannya dan melaju kendaraannya secepat mungkin. Mereka
tak peduli dengan polusi suara yang mengganggu orang-orang yang berpapasan
dengannya.
Memang ironi
jika logika pembuatan polisi-tidur diperuntukkan bagi mereka yang acuh terhadap
nalar etika berkendaraan sebab berdampak secara langsung terhadap orang-orang
yang taat terhadap etika berkendaraan. Dalam kata lain, semua orang dipaksa
untuk memperlambat laju kendaraannya karena ada sebagian orang yang tidak taat
mengikuti nalar etika berkendaraan.
Tak salah jika
saya mengatakan polisi-tidur sebagai kutukan bagi kemanusiaan kita.
Kehadirannya adalah suatu keterpaksaan yang memaksa kita menurunkan ego laju
kecepatan kendaraan. Polisi-tidur adalah simbol ketidaksadaran yang mampu memaksa
kesadaran egoisme kita. Tapi apa penyebabnya?
Boleh jadi
karena kendaraan kita sudah jauh melaju meninggalkan moralitas kemanusiaan yang
kita miliki. Petuah-petuah dan nasehat-nasehat sudah kehilangan maknanya sebab
mampu dikalahkan oleh keterpaksaan.
Keterpaksaan telah menjadi tuan rumah
kemanusiaan kita hari ini. Kita terpaksa menjadi apa yang orang-orang katakan
terhadap diri kita. Kita terpaksa bermedia sosial. Kita terpaksa memiliki
rutinitas. Terpaksa berpolitik dan terpaksa berbicara. Dan pada akhirnya
keterpaksaan menjadi rutinitas keseharian kita.
Kesadaran telah
lama sirna di dalam kehidupan keseharian kita. Sebab pilihan-pilihan kita
adalah keterpaksaan. Kita terpaksa memilih sebab pilihan-pilihan kita sudah
diatur sedemikian rupa sehingga kita benar-benar seolah-olah nampak memilih.
Tak heran jika saat ini sangat mudah ditemukan orang-orang yang mendadak soleh
sebab lingkungan telah memaksa dirinya agar benar-benar nampak soleh.
Memang terlihat
mengkhawatirkan sebab ternyata keterpaksaan tidak hanya menyangkut polisi-tidur
tapi telah merambah ke dalam corak berpikir kita. Keterpaksaan menjadi suatu
bangunan pengetahuan tapi tanpa kita sadari. Mungkin karena sudah sejak lama
menggerogoti kesadaran pengetahuan kita.
Bukankah
belakangan ini kita sering menyaksikan orang-orang yang terpaksa gila sehingga
terpaksa melukai? orang-orang yang terpaksa sakit karena terjerat kasus
korupsi, orang-orang yang terpaksa berjilbab karena harus menjalani
persidangan. Dan orang-orang yang terpaksa hidup dan terpaksa menjalani
kehidupan bagaimana pun adanya.
Tapi sampai
kapan harus seperti ini? Sampai kapan kita terjerat oleh keterpaksaan? Saya
pikir semua orang mesti menjawabnya karena pengendalinya adalah diri kita
sendiri. Dan menurut saya, jawabannya sangat sederhana yaitu kita mesti kembali
ke dalam esensi kemanusiaan kita yang paling sejati sebab hanya di sana akan
ditemukan kesadaran yang paling fitrawi.