Bahmaniyar adalah salah satu murid terdekat Ibn Sina. Sejak kecil hingga
dewasa senantiasa dalam arahan Ibn Sina. Bahmaniyar sangat memuji gurunya yang
hampir menguasai seluruh bidang pengetahuan khususnya filsafat. Bahmaniyar pun
sangat terkesan dengan ajaran-ajaran filsafatnya. Singkatnya, pernah suatu
ketika Bahmaniyar berkata pada gurunya; ‘Guru... Aku lihat posisimu sederajat
dengan Rasulullah saw. Engkau menguasai berbagai bidang pengetahuan
apalagi engkau piawai dalam filsafat. Lihat saja, tak ada filsafat dalam Qur’an
dan juga hadits-hadits Rasulullah saw’. Mendengar perkataan muridnya, Ibn Sina
hanya tersenyum dan tidak menanggapi perkataannya. Ibn sina menunggu momen yang
tepat untuk menanggapinya. Disaat-saat akhir kehidupannya, Ibn Sina sering sakit-sakitan
dan kemudian memutuskan untuk kembali ke Hamadan. Hamadan adalah salah satu
kota di Iran yang cukup dingin dikarenakan kota tersebut dikellilingi dengan
pegunungan, apalagi disaat salju tiba. Suatu malam, Ibn Sina terserang sakit
dan membuat dirinya sulit bergerak apalagi untuk keluar rumah, karena pada
malam itu cuaca sangat dingin dikarekan salju lebat sedang turun. Kebetulan,
dirumah tak ada air untuk diminum. Ibn Sina kemudian meminta tolong pada
muridnya Bahmaniyar untuk mencari air minum. Jarak ke tempat penampungan air
minum dari rumah Ibn Sina lumayan jauh. Mendengar perintah gurunya, Bahmaniyar
berpikir keras untuk memenuhi perintah gurunya. Untuk menepis perintah gurunya,
Bahmaniyar berkelit dengan alasan kesehatan yang akan membahayakan dirinya jika
keluar rumah dengan cuaca yang sangat dingin. Tak lama kemudian azan subuh pun
terdengar. Setelah kalimat asyhadu anna Muhammadan Rasulullah, Ibn Sina mengambil momen ini
untuk menanggapi perkataan muridnya tentang kesamaan derajat dirinya dengan
Rasulullah saw. Ibn Sina berkata pada muridnya; “coba anda pikirkan dengan baik
muazzin itu, dia keluar dari rumahnya menuju Mesjid dan naik kemenara Mesjid
untuk melantunkan azan subuh. Muazzin itu tak pernah melihat wajah Rasulullah,
tak pernah mendengar suara Rasulullah, dan tak pernah mendapatkan ajaran
filsafat seperti yang engkau katakan, dan ketahuilah, Rasulullah saw hidup
seribu tahun silam, tapi muazzin itu bersedia menembus dingin dan salju
yang menurut dirimu akan membahayakan dirinya. Sedangkan aku hanya menyuruhmu
meminta segelas air minum dan engkau pun tak sanggup. Sungguh, Rasulullah saw
adalah manusia suci yang tak ada bandingannya dengan siapapun dan Jangan pernah
engkau bandingkan derajat Rasulullah saw dengan siapapun.
Saturday, March 23, 2013
Friday, March 15, 2013
Tauhid Sufistik
Pendahuluan
Persoalan tauhid
merupakan persoalanan yang paling inti dan fundamental dalam Islam. Bahkan
Rasulullah saw pada saat berada di medan perang pernah memerintahkan untuk menghentikan
perang sejenak jika pada saat perang ada yang bertanya mengenai tauhid. Justru
karena persoalan tauhid, Allah swt mengirim para Rasulnya kepada ummatnya.
Tauhid adalah lawan dari syirik. Tauhid
adalah meng-esa-kan, sedangkan syirik adalah menyekutukan. Kata esa disini
bermakna satu, namun satu yang dimaksud adalah satu yang tak memiliki yang
kedua. Dalam kata lain, satu yang tak berbilang atau satu yang meniscayakan
penafian terhadap yang kedua. Jika diasumsikan ada yang kedua, maka yang kedua
tersebut akan kembali kepada yang pertama.
Ada dua jalan dalam mengenal Tuhan;
yaitu melalui perantara akal dan yang kedua melalui fitrah. Pengenalan Tuhan
melalui akal diwakili oleh kaum teolog dan filosof, sedangkan pengenalan Tuhan
melalui fitrah atau qalbu diwakili oleh kaum sufi dan arif. Para filosof
berangkat menuju Tuhan dengan akalnya sedangkan para sufi menuju Tuhan dengan
qalbunya. Oleh karena itu, para sufi tidak lagi menggunakan konsep-konsep dalam
mengenal Tuhan, akan tetapi melalui penyaksian atau yang biasa disebut dengan
ilmu hudhuri.
Ketidakterbatasan
Diri-Nya Meniscayakan Ketunggulan Diri-Nya
Dalam
menjelaskan tauhid atau ketunggulan Tuhan, jalan yang paling baik adalah dengan
menjelaskan ketidakterbatasan diri-Nya. Ketidakterbatasan adalah sebuah prinsip
yang dinisbahkan kepada wujud yang Maha-Sempurna. Maksudnya bahwa kesempurnaan-Nya
yang mutlak menunjukkan bahwa Dia tak memiliki rangkapan dan susunan. Wujud yang
memiliki rangkapan berarti terbatas. Misalnya materi tersusun dari partikel-partikel,
karena itu antara partikel yang satu membatasi partikel yang lain. Batasan
tersebut membuat materi tidak sempurna. contoh lain pada wujud malaikat, wujud
malaikat memiliki batasan tertentu karena itu malaikat tidak hadir pada alam
materi. keterbatasan ini membuat malaikat tidak sempurna secara mutlak. Oleh
karena itu, kesempurnaan diri-Nya meniscayakan diri-Nya tidak memiliki
rangkapan dan susunan dan karena tidak memiliki rangkapan dan susunan maka
meniscayakan diri-Nya tidak memiliki batasan atau tak ada sesuatu pun yang
membatasi diri-Nya. Maka diri-Nya tidak terbatas.
Ketidakterbatasan ini berarti bahwa
diri-Nya mengisi seluruh ruang. Tak ada ruang yang tak terisi oleh-Nya. Dia hadir
dalam seluruh inti realitas yang ada. Jika Tuhan tidak terbatas dan mengisi
seluruh ruang yang ada serta hadir didalam inti segala entitas yang ada, maka
tak mungkin ada sesuatu diluar diri-Nya atau sesuatu selain diri-Nya. Karena
itu maka Tuhan itu esa atau tunggal. Tak ada yang bisa menyekutukan-Nya, bahkan
pada alam konsep sekalipun.
Pertanyaannya adalah jika yang ada
hanya Tuhan, lalu bagaimana kita memaknai yang lainnya ? selain Tuhan disebut
sebagai tajalli atau manifestasi. Maksudnya bahwa karena yang ada hanya Tuhan
maka selain-Nya adalah bayangan diri-Nya semata.
Berikut ini adalah beberapa ayat dan
riwayat yang menjelaskan tentang ketidakterbatasan dan ketunggalan ;
Surah
Al-Hadid ; 3 ;
Dia-lah
yang Awal dan Akhir dan Zahir dan Bathin
Ayat
diatas menjelaskan bahwa awal adalah akhir dan akhir adalah awal. Zahir adalah
batin dan batin adalah zahir. Awal yang tidak sesuai dengan akhir itu bukan
awal, akhir yang tidak sesuai dengan awal itu bukan akhir. Zahir yang tidak
sesuai dengan batin itu bukan zahir, batin yang tidak sesuai dengan zahir itu
bukan batin. Maksudnya bahwa pintu manapun kita masuk pasti ada Dia. Pada pintu
awal ada Dia, pada pintu akhir ada Dia, pada pintu zahir ada Dia, dan pada
pintu batin ada Dia. Jika demikian, maka Dia tak terbatas dan karena
ketidakterbatasan-Nya hadir dalam segala entitas. Maka tentunya yang ada hanya
diri-Nya.
Surah
Annisa ; 126
Apapun
yang di langit dan di bumi adalah dari diri-Nya dan Allah meliputi segala
sesuatu
Ayat
diatas menunjukkan bahwa pemilik hakiki adalah Allah swt karena Allah swt
meliputi segala sesuatu. Prinsip ‘meliputi segala sesuatu’ kembali kepada
prinsip surah Al-Hadid;3.
Surah
Al-Baqarah ; 115
Kemanapun
engkau hadapkan wajahmu maka disitu ada wajah Allah.
Ayat
diatas menunjukkan bahwa Allah swt hadir dalam segala realitas sehingga
kemanapun hadapkan wajah kita maka disitu ada wajah Allah swt. Ayat diatas
sesuai dengan perkataan Imam Ali as ; aku tidak melihat sesuatu terkecuali
sebelumnya,bersamanya, setelahnya aku melihat Allah swt.
Surah
Al-Mujadilah ; 7
Tiada
pembicaraan rahasia antara tiga orang melainkan Dia-lah yang keempatnya, dan
tiada lima orang melainkan Dia-lah yang keenamnya. Dan tiada pula pembicaraan
antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak melainkan Dia ada bersama
mereka dimanapun mereka berada.
Ayat
diatas menunjukkan bahwa Allah swt adalah keempat dari yang tiga dan keenam
dari yang kelima dan seterusnya. Dalam ayat lain pada surah Al-maidah ; 73
Allah swt berfirman ; sungguh kafir orang yang mengatakan bahwa Allah swt
adalah ketiga dari yang tiga. Oleh karena itu, jika kita mengatakan bahwa
Allah swt keempat dari yang tiga maka perkataan tersebut adalah perkataan
tauhid, namun jika mengatakan bahwa Allah swt ketiga dari yang tiga maka
perkataan ini adalah perkataan kufur. Maksudnya bahwa Allah swt adalah satu
akan tetapi satu yang tak berbilang yang menunjukkan ketidakterbatasan diri-Nya
dan kehadiran diri-Nya dalam segala realitas. Dalam surah Al-Hadid; 4 Allah swt
berfirman ; dan Dia bersama kalian dimanapun kalian berada.
Surah
Al-Anfal ; 17
Bukan
engkau yang melempar jika engkau melempar akan tetapi Allah lah yang melempar.
Surah
Al-Baqarah ; 186
Jika
seorang hamba bertanya kepada-Ku, ketahuilah bahwa Aku sangat dekat.
Surah
Al-Waqiah ; 85
Dan
kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu akan tetapi kalian tidak melihat.
Surah
Qaf ; 16
Dari
kami lebih dekat dari urat lehernya.
Imam
Ali as ; Dia tinggi dalam kerendahannya dan Dia rendah dalam ketinggiannya.
Dia didalam sesuatu tapi tidak bercampur dan Dia diluar dari sesuatu tapi tidak
berpisah.
Tasybih
dan Tanzih
Tuhan yang tak
terbatas meniscayakan diri-Nya hadir dalam segala ruang dan mengalir dalam
segala entitas yang ada. Kemanapun kita hadapkan wajah kita maka disitu ada
wajah Tuhan. Prinsip ketidakterbatasan ini meniscayakan adanya taysbih
(penyerupaan) Tuhan dengan makhluk seperti melihat, mendengar, berbicara, datang,
tangan, mata dan lainnya, sifat-sifat tersebut adalah sifat yang berlaku sama pada
makhluk dan Tuhan.
Pada saat yang sama,
ketidakterbatasan Tuhan juga meniscayakan tanzih (penyucian) dari sifat-sifat
makhluk yang terbatas. Tanzih adalah mensucikan Tuhan dari sifat-sifat yang
terbatas dan tak sempurna. Maksudnya bahwa Tuhan tidak bisa dibatasi oleh satu
batasan tertentu seperti para penyembah berhala. Meskipun Tuhan hadir dalam
segala sesuatu termasuk pada berhala tersebut, akan tetapi Tuhan tidak bisa
dibatasi hanya pada satu wadah tertentu sebagaimana pernyataan para maksumin; tiada
Dia kecuali Dia. Juga seperti perkataan Ibn Arabi; engkau bukan Dia tapi
Dia adalah engkau, namun Dia adalah Dia dan engkau adalah engkau. Oleh
karena itu, ketidakterbatasan Tuhan juga meniscayakan tasybih dan juga
meniscayakan tanzih. Bahkan setiap ada tasybih pasti ada tanzih dan setiap ada
tanzih pasti ada tasybih. Dalam Qur’an kedua hal tersebut tidak pernah terpisah
dan yang lebih menarik lagi karena makna dari Qur’an adalah penyatuan atau
penggabungan. Seperti pada surah syura ayat 11 mengatakan; tidak ada satupun
yang menyamai-Nya, dan Dialah yang Maha-Mendengar lagi Maha-Melihat. Tidak
ada satupun yang menyamai-Nya adalah tanzih dan Dia yang Maha-Mendengar lagi
Maha-Melihat.
Tujuan
para Sufi Menyaksikan bahwa Segalanya adalah Dia
Sebagaimana
dijelaskan sebelumnya bahwa para sufi berangkat menuju Tuhan dengan qalbunya.
Qalbu adalah inti atau hakekat manusia. Jika dirinya berangkat dengan qalbunya
maka seluruh hakekat dirinya berangkat menuju Tuhan. Jika demikian maka seluruh
hakekat dirinya menyaksikan Tuhan sebagaimana lantunan do’a arafah Imam Husein
as.
Namun untuk mempersiapkan qalbu
berangkat menuju Tuhan awalnya tentu sulit namun selanjutnya akan terasa mudah.
Kesulitan ini karena kita belum terbiasa melakukannya, namun jika terbiasa
melakukannya maka yang ada hanya kemudahan dan kesulitannya akan hilang.
Contohnya seperti olahragawan yang berlatih dengan mengangkat alat-alat berat.
Pada awal dia berlatih tentunya teramat sulit, namun setelah berselangnya waktu
benda yang 100 kilo tersebut dengan mudah diangkat. Namun ada perbedaan antara
latihan berolahraga dan latihan suluk. Setelah melewati kerumitan maka dengan
keterbiasaan maka akan mendapatkan kemudahan, akan tetapi pada alat berat yang
beratnya 100 kilo tetap saja ada, beratnya tetap tinggal karena alat tersebut
adalah materi. Namun pada suluk setelah melewati kerumitan maka yang ada hanya
kemudahan karena suluk adalah non-materi.
Dalam suluk (berjalan menuju Tuhan)
terdapat beberapa stasiun yang mesti dilewati. Para sufi menjelaskan tingkatan
stasiun tersebut berbeda-beda, sesuai dengan tingkatan maqam suluknya. Dalam kitab
aushaful ashraf karya Nashiruddin Thusi menjelaskan terdapat 24
tingkatan maqam stasiun; diawali dengan iman, kemudian istiqamah, selanjutnya
secara berurutan niat, benar (shidq), senantiasa menginginkan Tuhan,
ikhlas, khalwat, tafakkur, takut, berharap, sabar, bersyukur, iradah, syauq
(iradah yang sangat kuat), cinta, makrifat, yakin, diam, tawakkal, ridha,
taslim, tauhid, ittihad (penyatuan), dan wahdat (ketunggalan).
Tuesday, March 12, 2013
Plato
Dalam filsafat Plato
ada tiga dasar pemikiran penting yang menjadi ciri khas pemikirannya. Ketiga
dasar pemikiran ini selanjutnya dikritik oleh muridnya Aristoteles. Ketiga
pemikiran tersebut sebagai berikut:
Teori Idea-Idea
Menurut Plato, segala
apa yang ada di alam indrawi ini, baik itu substansi maupun aksiden, hakekatnya
terdapat di alam lain. Manusia yang ada di alam ini ibaratnya seperti
bayangan-bayangan dari hakekat-hakekat yang ada di alam sana. Misalnya seluruh
manusia yang hidup di alam indrawi ini berasal dari satu hakekat dan berasal
dari asal yang sama yaitu berasal dari alam sana. Manusia hakiki dan hakekat
manusia adalah manusia di alam sana. Begitu juga dengan entitas-entitas
lainnya.
Plato menyebut
hakekat-hakekat di alam sana dengan idea. Sebagian filsuf muslim
menerjemahkan idea ini ke dalam filsafat Islam dengan mitsal. Keseluruhan
hakekat-hakekat tersebut di alam sana disebut dengan mutsul (jamak dari
kata mitsal) oleh filsuf muslim. Ibn Sina sebagai pengikut aliran
paripatetik menolak keras teori ini sedangkan Suhrawardi sebagai pengikut
aliran iluminasi sangat fanatik teori idea ini. Mirdamad dan Mulla Sadra adalah
dua filsuf yang sangat mendukung teori ini. Namun terminologi yang mereka
gunakan berbeda dengan Plato, bahkan Suhrawardi pun menggunakan terminologi
yang berbeda dengan Plato. Salah satu filsuf lainnya yang sangat mendukung
teori ini adalah Mir Fendereski yang merupakan salah satu filsuf pada priode
dinasti Safawiyah. Berkenaan dengan teori ini Mir Fendereski menulis syair :
Bentuk di alam
bawah ini jika dengan tangga makrifat
Naiklah ke atas,
hakekat dirinya satu saja
Perkataan ini
tak kan dipahami secara lahiriyah
Meskipun anda
al-Farabi atau Ibn Sina
Ruh Manusia
Plato meyakini bahwa
ruh manusia sebelum menyatu dengan badan telah diciptakan dan berada di alam
ide. Kemudian setelah badannya tercipta, ruhnya menyatu dengan badannya. Mulla Sadra
menerima gagasan Plato mengenai keberadaan segala sesuatu sebelum turun ke alam
realitas eksistensi. Namun pendekatan serta terminologi yang digunakan Sadra
berbeda dengan Plato. Karena ada parameter lain yang digunakan dalam hal ini
yaitu terminologi ruh, nafs, dan badan jismani.
Teori Pengingatan
Kembali
Teori ini bisa dianggap
sebagai konsekwensi atau turunan dari kedua teori Plato sebelumnya. Teori ini
oleh Plato disebut dengan ‘pengingatan kembali’. Maksudnya sebelum manusia menyatu
dengan badannya di dunia, ruhnya telah diciptakan dan telah ada di alam ide. Ketika
manusia berada di alam ide, manusia telah menyaksikan segala sesuatu yang ada
di alam sana. Karena di alam ide tak ada tabir antara satu entitas dengan
entitas lainnya. oleh karenanya apa yang diketahui di alam dunia ini adalah
pengingatan kembali atas apa yang diketahui sebelumnya di alam ide. Namun ketika
ruh menyatu dengan badan, badannya menjadi hijab atau tabir sehingga ruhnya tak
lagi terkoneksi dengan cahaya di alam ide. Akibatnya manusia lupa atas apa yang
diketahui sebelumnya. Saking lupanya, ketika manusia mendapatkan pengetahuan
seolah baru pertama kali ia mendapatkan pengetahuan tersebut. Untuk keluar dari
persoalan ini, manusia mesti berusaha menghilangkan tabir atau hijab tersebut
dengan dialektika pemikiran metode rasional atau dalam pandangan Suhrawardi
berusaha meraih cinta kepada kebaikan mutlak melalui tazkiyah dan penyucian
diri.
Sunday, March 3, 2013
Tajalli Ontologi
Tajalli Ontologi ini adalah salah satu karya Prof. DR. Syd Ahmad Fazeli. Alhamdulillah, kami telah diberikan kepercayaan menerjemahkan karya beliau ke dalam bhs Indonesia. Namun tulisan ini hanya salah satu bagian saja. beberapa bagian lain telah dimuat di Jurnal Mulla Sadra. selanjutnya akan diterbitkan secara utuh oleh penerbit Sadra Press. Judul aslinya tasybih dan tanzih dalam pandangan Ibn Arabi.
Sebelum melanjutkan pembahasan ini, kami ingin mengingatkan bahwa batasan pembahasan dalam pembahasan kali ini adalah tajalli eksistensial dan ontologis, bukan tajalli syuhudi sebagaimana yang dialami oleh para Arifin. Dalam sistem hirarki alam, proses realisasi takwiniyah alam penciptaan dibagi menjadi dua bagian : busar naik (qaus shu’ud) dan busar turun (qaus nuzul). Terpisah dari busar naik dan busar turun, setelah manusia turun dari watan hakekatnya dan keluar dari wilayah immanen dan kemudian selanjutnya secara gradual hadir dalam alam parsial, maka manusia tersebut dimungkinkan untuk mulai mengembangkan dirinya sejauh kemampuan wujud dirinya dari wujud mutlak dalam mengarungi keragaman ilmu yaqin, ‘ainul yaqin, dan hingga naik pada puncaknya yaitu haqqul yaqin.
Yang dimaksud dengan tajalli dalam pembahasan ini adalah tajalli eksistensial dalam pemaknaan ‘mutlak yang terlimitasi’, sedangkan tajalli syuhudi yang didapatkan oleh para Arif dalam sair suluknya tidak termasuk pembahasan kami. Walaupun koneksitas syuhud seorang salik dalam mengarungi kesempurnaan ( naik ke atas ) adalah tajalli itu sendiri dan pada puncaknya sampai pada tajalli zati, akan tetapi yang ditemukan seorang Arif memberikan justifikasi akan kemutlakan tajalli. Namun dalam proses takwini pluralitas, wujud pluralitas-pluralitas secara terperinci didahului akan ketiadaan realitas ( ‘adam tsubut ) diri mereka yang memberikan identitas akan tajalli ontologis.
Penciptaan dan Peniadaan dalam Sistem Tajalli
Setelah kami menjelaskan inti sistem manifestasi dalam menganalisa alam pluralitas, sekarang kita sampai pada pembahasan selanjutnya bahwa ketika sistem ini menjelaskan bahwa segala sesuatu merupakan penampakan dari Al-Haqq – dalam artian bahwa Al-Haqq itu sendiri yang hadir dalam inti tiap sesuatu dalam wadah limitasi dikarenakan prinsip kemutlakannya – lalu bagaimana menjelaskan penciptaan dan peniadaan sesuatu ?
Pembahasan sebelumnya dalam makalah ini menjelaskan bahwa berdasarkan pemikiran Urafa, tiap sesuatu memiliki dua tahapan ; immanen dan manifestasi.
Tahapan immanen menjelaskan bahwa seluruh hakekat-hakekat berada dalam zat secara peleburan ( melebur dalam zat ( indimaji ) ). Penakbiran ‘ wujud ‘ dalam zat juga semata-mata dikarenakan sempitnya bahasa. Pada hakekatnya apa yang ada dalam zat adalah aspek-aspek kumulatif yang didalamnya antara satu dengan lainnya adalah identik. Seperti antara ‘ ilmu ‘ dan ‘ kudrat ‘ satu sama lain adalah identik dan sama. Setelah hakekat-hakekat yang terlebur ini terperinci berkat persoalan tajalli, maka hakekat-hakekat tersebut keluar dari immanen dan kemudian nampak dan terperinci di alam syahadah. Proses seperti ini dalam Irfan Teoritis disebut dengan penciptaan (ijad).
Proses peniadaan kebalikan dari yang dijelaskan diatas. Dalam artian bahwa dalam busar naik (qaus shu’ud) takwini yang terperinci secara detail terangkat dan seluruh limitasi-limitasi kembali ke prinsip kemutlakan dirinya. Limitasi-limitasi dari dasar penampakannya kembali ke dasar intinya yang tersembunyi dimana hal tersebut akan membentuk proses ‘ peniadaan ‘;
" ایجاده للاشیاء ، اختفا ؤه فیها مع اظهاره ایَاها ،واعدامه لها فی القیامة الکبری ظهوره بوحدته وقهره ایَاها بأزالة تعیَناتها وسماتها وجعلها متلاشیة کما قال : لمن الملک الیوم لله الواحد القهار ، و کل شیء هالک إلاَوجهه ، و فی الصغری [1]، تحولَه من عالم الشهادة الی عالم الغیب . [2]
Penciptaan dalam Dirinya
Penciptaan sesuatu-sesuatu tidak akan bertambah kepada kemutlakan tak terhingga dengan kemutlakan maqsami disebabkan karena – sebagaimana yang telah kami sebelumnya – penciptaan sesuatu bukanlah sesuatu yang lain terkecuali penampakan-penampakan secara rinci dan limitasi kesempurnaan-kesempurnaan mutlak. Oleh karena itu Mutlak bertajalli pada inti yang terdalam dalam jiwa limitasi, bukan Mutlak bertajalli pada sudut tertentu dan limitasi bertajalli pada sudut lain sehingga terjadi perbedaan diantara mereka.
Oleh karena itu dengan tajalli dan penciptaan, Mutlak akan menampakkan dirinya dalam bentuk limitasi, bukan sesuatu yang ditambahkan padanya.[3] Dalam kata lain penciptaan dan penampakan adalah sesuatu dalam Mutlak, bukan sesuatu yang berbeda dengannya dan atau diluar darinya :
یا خالق الاشیاء فی نفسه أنت لما تخلقه جامع
تخلق مالا ینتهی کونه ف یک ،فأنت الضیق الواسع[4]
Unitas, Pluralitas, Urafa
Sebelumnya dijelaskan bahwa alam adalah penampakan (mazhar) Tuhan. Oleh karena itu setiap sesuatu adalah Haqq yang terlimitasi dalam inti sesuatu tersebut.[5] Maksudnya bahwa dari sisi limitasi maka dirinya adalah makhluk, dan dari sisi Haqq maka penampakan dan jelmaan ini adalah Haqq. Sekarang, jika seseorang hanya melihat sisi identitas makhluknya semata maka dia belum melewati seluruh hakekat yang ada. Begitupun sebaliknya, jika yang dia saksikan hanya idenditas Haqq semata maka dia akan mengingkari pluralitas, dan olehnya pula maka dia belum memahami dua sisi dari alam pluralitas. Urafa adalah mereka yang bisa menempatkan pada posisinya masing-masing, baik identitas Haqqnya maupun identitas makhluk yang majemuk. Maksudnya mereka tidak pernah menganggap keabsurditasan (nothing) pluralitas alam, namun pada saat yang sama mereka juga meyakini bahwa pluralitas tersebut wujudnya tidak independen, akan tetapi mereka adalah Haqq yang terlimitasi.
Dalam kata lain, jika seseorang belum memulai menjalani perjalanan suluk Irfani, maka yang dia lihat hanya pluralitas semata dan tentunya limitasi-limitasi yang dia saksikan tidak bermuara pada unitas (wahdat) dan kembali kepada kemutlakan. Jika seseorang hanya bisa sampai pada safar (perjalanan) pertama dari keempat safar Irfani yang ada, maka yang dia saksikan hanya unitas semata dan akan mengingkari pluralitas. Kedua golongan diatas sama-sama tidak memiliki kesempurnaan dalam mengarungi Haqq, dan letak titik perbedaannya bahwa pada golongan pertama belum memulai suluk Irfani, sedangkan yang kedua baru sampai dipertengahan jalan. Urafa adalah mereka yang bisa menempatkan Haqq dan khalq (makhluk) pada tempatnya masing-masing. Dia menempatkan Zat Haqq bebas dari segala limitasi, termasuk limitasi kemutlakan, pada saat yang sama meyakini pluralitas sebagai tajalli dan kehadiran mutlak dalam inti limitasi-limitasi :
" انظرایّهاالسالک طریق الحق ماذاتری من الوحدة والکثرة جمعاً و فرادی ، فان کنت تری الوحدة فقط ، فانت مع الحق وحده لا رتفاع الاثنینیة ، وإن کنت تری الکثرة فقط ، فانت مع الخلق وحده ؛ و ان کنت تری الوحد ة فی الکثرة محتجبة و الکثرة فی الوحدة مستهلکةً ، فقد جمعت بین الکمالین وفزت بمقام الحسنین " [6]
" کان الاوّل حال اهل الکمال المحبوبین المعتنی بهم الذین لایحجبهم جلال الحق عن جماله، کالمحجوبین بالخلق عن الحق ؛ ولاجماله عن جلاله ، کالمحجوبین بالحق عن الخلق وهم المهیّمون الباقون فی الجمع المطلق ..."
Kemudian, dalam melanjutkan pembahasan selanjutnya, mahjub disisi Haqq :
" شهود الحق فی عین الخلق والخلق فی عین الحق جمعاً ، من غیراحتجاب بأحدهما عن الآخر"[7]
Tajalli dan Nama ( ism )
Nama (ism) dalam bahasa Irfan adalah Zat yang disertai dengan sifat tertentu. Jelas bahwa setiap nama tertentu dibatasi dengan nama tertentu lainnya. Oleh karena itu ketika nama dalam konteks irfan dalam hal ini Mutlak yang terlimitasi, atau dalam kata lain ketika dari maqam Mutlak bertajalli dalam wadah limitasi-limitasi, maka tajalli adalah keluarnya zat dari kemutlakannya dan turun pada maqam llimitasi-limitasi, kemudian sebagai konsekwensinya penampakan (zuhur) Zat dalam inti nama tertentu. Dengan memperhatikan secara seksama pembahasan sebelumnya, kita dapat memahami keselarasan antara ‘ tajalli ‘ dan ‘ ism ‘ yang merupakan hakekat nama-nama tertentu, dimana dalam tahapan sebelumnya entitas tersebut melebur dalam zat dan kemudian muncul secara terperinci serta membentuk nama-nama secara terperinci.
Berdasarkan analisa yang diberikan dalam sistem tajalli akan nama, terlihat dengan jelas bahwa terincinya yang telah melebur sebelumnya serta terjadinya perincian nama-nama tertentu menjelaskan sebuah proses yang memiliki dua aspek, aspek pertama berkaitan dengan Zat dan aspek lainnya berkaitan dengan nama tertentu. Oleh karena itu disini terdapat sebuah hakekat relasi (idhafah) dan dalam konteks ini Mulla Sadra menyebutnya dengan relasi iluminatif (idhafah isyraqiyah), bukan relasi kategorik (idhafah maquli). Maksudnya bahwa sebelum relasi tersebut eksis maka namapun tidak ada dan bahkan dengan adanya relasi tersebut maka nama mendapatkan bentuknya.[8] Terjadinya kontra diantara relasi-relasi iluminatif tersebut mengakibatkan adanya bilangan dan pluralitas. Melalui analisa yang jeli akan melihat pluralitas tersebut sebagai relasi iluminasi Haqq, dia tidak akan melihat hakekat pluralitas tersebut berhadap-hadapan dengan Zat. Konsekwensi pandangan seperti ini membuahkan hasil yang banyak dalam dimensi akhlak. Mengoyak limitasi-limitasi partikular dan sampai kepada sumber yang agung dan hakekat mutlak sebagai poin penting yang jelas yang memancar dalam puncak pandangan seorang salik. Walaupun dia menyadari bahwa dirinya tidak akan mungkin sampai pada inti hakekat.[9] Dari hal ini kita bisa memaknai Tauhid Hakiki sebagai ‘ pengoyakan limitasi-limitasi ‘ :
‘ sebuah tanda bahwa dirimu berasal dari pondok tauhid (kharabat) ‘
‘ bahwa tauhid adalah pengoyakan limitasi-limitasi (asqath al-idhafah) ‘
Lahiji dalam mengomentari bait diatas, pertama-tama menafsirkan ‘ kharabat ‘ kepada maqam fana pluralitas. Lahiji mengatakan bahwa :
‘ Zat Haqq adalah segala sesuatu itu sendiri dari sisi tajalli dan penampakannya dalam aspek-aspek eksternal (mazahir) ... dan dari sisi bahwa Zat Haqq adalah tajalli dan penampakannya dalam bentuk diri-Nya, maka ada relasi wujud pada diri-Nya. Oleh karena itu kapan saja relasi-relasi tersebut dimusnahkan, atau meniadakan setiap gambaran sesuatu dalam cermin dalam batasan dirinya sehingga tidak ada yang dia saksikan terkecuali Haqq itu sendiri, maka dia telah menemukan makna hakekat tauhid yaitu pengoyakan limitasi-limitasi ;
‘cahaya-cahaya keindahan-Mu memancar pada setiap kesempurnaan’
‘pada kegelapan pun hingga alam menjadi subur’
‘ Engkau adalah segala sesuatu yang ada dibalik pakaian’
‘wujud itu terkadang jatuh disini dan disitu’[10]
Ism ( Name ) dan Musamma ( The Named ) ; keidentikan dan difrensiasi
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa tajalli dan keluarnya Zat dari maqam kemutlakannya adalah justifikasi eksistensi yang terlimitasi, dimana limitasi adalah ism dan Zat adalah musamma. Dalam pembahasan yang berkaitan dengan nama ( ism ) yang telah dibahas sebelumnya bahwa yang dimaksud dengan nama adalah hakekat eksternal dan realitas, dan kata (lafaz) merupakan ekspresi dari ismul-ism. Oleh karena itu musamma dalam bahasa irfan bukanlah musamma yang sebatas kata semata, bahkan Zat Mutlak Haqq itu sendiri yang bertajalli dengan menerima relasi iluminasi dalam bentuk nama (ism). Oleh karena itu selama Zat hadir dalam inti pluralitas dengan kehadiran eksistensi maka ism dan musamma identik satu sama lain dan dari sisi bahwa Zat tidak dibatasi pada manifestasi tertentu maka ism dan musamma satu sama lain berbeda :
" الاسم ، المسمّی من حیث الذات والاسم غیرالمسمّی من حیث مایختص به من المعنی الذی سیق له "[11]
Pembahasan ini juga biasanya dibahas dalam perspektif ‘ penyatuan antara eksoterik (zahir) dan manifestasi (mazhar) ‘, akan tetapi dikarenakan pembahasan tersebut diperlukan pendahuluan yang cukup panjang, maka kami tidak akan membahas perspektif tersebut lebih lanjut.[12]
Analogi-Analogi Tajalli
Untuk memahami tajalli dalam konteks ‘ ithlaq maqsami Zat ‘, dalam irfan nazari biasanya menggunakan beberapa analogi dimana masing-masing dari analogi tersebut memberikan kata kunci pada batasannya sendiri. Dalam kesempatan ini kami akan menjelaskan secara ringkas sebagian dari analogi tersebut ;
Cermin
Jika hakekat yang satu berada dihadapan beberapa cermin, hakekat yang satu tersebut memiliki bentuk yang berbeda-beda.[13] Identitas yang ada dalam cermin adalah identitas ‘ the others ‘ dan tidak independen. Namun setiap cermin dalam batasan wujudnya sendiri merupakan jelmaan dari hakekat yang satu tersebut.
" فعالم الطبیعة صورفی مرآة واحد ، لابل صورة واحدة فی مرایا متعددة "[14]
Analogi ini banyak kita temukan dalam buku-buku irfan[15]. Sebagian analogi ini dituangkan dalam bentuk syair :
‘ketika cinta menampakkan dirinya, terbakarlah alam’
‘cukuplah engkau adalah cermin-cermin dari sesuatu-sesuatu’
‘dari setiap cermin, engkau akan bertemu dengan diri-Nya’
‘kemana saja matamu memandang, engkau akan melihat-Nya’[16]
" ومالوجه الاّواحد غیرانّه اذاانت عددت المرایا تعدداً "[17]
Jiwa
Analogi lainnya dalam memudahkan kita memahami ‘ tajalli dalam konteks ithlaq maqsami ‘ adalah analogi jiwa. Analogi ini telah kami isyaratkan sebelumnya, namun dalam kesempatan kali ini pembahasannya lebih pada aspek tajalli jiwa pada berbagai fakultas jiwa.
Jiwa manusia adalah suatu zat yang memiliki potensi mendengar, melihat, dst, dan tentunya jiwa itu sendiri yang hadir dalam inti pendengaran, penglihatan, dst. Ketika jiwa secara terperinci belum turun pada inti potensi tersebut, jiwa tentunya memiliki seluruh potensi tersebut tapi belum secara terperinci ( tafshil ), dan ketika muncul secara terperinci maka potensi tersebut satu sama lain saling terpisah. Pendengaran, penglihatan, dst, bukan sesuatu yang terpisah dari jiwa. Akan tetapi jiwa itu sendiri yang menampakkan dirinya dalam bentuk pendengaran, penglihatan :
" فذکرانّ هویّته هی عین الجوارح التی هی عین العبد . فالهویّة واحدة والجوارح المختلفة "[18]
Bayangan[19]
Bayangan adalah sebuah hakekat yang tidak terpisah dari sang pemilik bayangan. Bahkan dalam zat bayangan tersirat makna ‘ saya adalah bayangan dari seseorang ‘. Adanya perbedaan cahaya yang memancar pada sang pemilik bayangan mengakibatkan munculnya bayangan yang beragam :
" فمااوجد الحق ، الظّلال ... الاّدلائل لک علیک و علیه لتعرف من أنت ومانسبتک الیه ومانسبته الیک "[20]
Bayangan, bagi dirinya sama sekali tidak memiliki hukum, akan tetapi hukum-hukum sang pemilik bayangan menjelma dalam inti bayangan. Mulla Ali Nuri menukil analogi tersebut dari Imam Baqir as :
" الم ترالی ظلّک ، شیئ ولیس بشیئ "[21]
Ruh dan Jasad
Berdasarkan penjelasan Mulla Shadra tentang jiwa, tubuh manusia merupakan jelmaan dari ruhnya. Gagasan tersebut digunakan dalam irfan sebagai analogi dalam menjelaskan pembahasan tajalli :
" فأنت له (حق) کالصورة الجسمیة لک ، وهولک کالروح المدبّرلصورة جسدک "[22]
Shurah (bentuk) bermakna mazhar (manifestasi). Qaishari menegaskan bahwa sebagaimana tubuh anda merupakan manifestasi anda (jelmaan dari ruh anda), maka anda pun merupakan manifestasi dari eksistensi Haqq.[23] Berdasarkan penafsiran ini, hubungan antara ruh dan tubuh adalah bahwa tubuh adalah ruh itu sendiri yang ada dalam inti tubuh dan tentunya hal ini mengingkari keindependenan tubuh.
Analogi diatas dijelaskan dalam syarah Golsyaniroz dalam bait berikut ini :
‘Arif adalah mereka yang berasal dari inti segala entitas’
‘yang dia saksikan hanya Haqq, ketika dia melihat entitas’
‘Haqq seperti jiwa, sedangkan alam seperti tubuhmu’
‘semuanya jelas seperti teluk di alam ini’[24]
Ombak dan Lautan
Ombak adalah lautan itu sendiri yang muncul dalam bentuknya yang lain :
“ pluralitas dan perbedaan bentuk ombak-ombak dan gelembung-gelembung tidak menjadikan lautan mejadi plural ...
" فالبحربحرعلی ماکان فی قدم انّ الحوادث امواج وأنهار
لایحجبنک اشکال یشاکلها عمن تشکل فیها فهی أستار”[25]
Cahaya dan Kaca-Kaca Berwarna
‘ aku dan engkau, secara eksistensi adalah aksiden zati ‘
‘ kita semua adalah pancaran rincian-rincian eksistensi ‘
Cahaya yang memancar pada kaca-kaca yang berwarna tentunya akan terpecah-pecah dan beraneka ragam , akan tetapi cahaya kuning adalah cahaya itu sendiri yang berwarna kuning yang tercerai dari warna biru. Cahaya murni memiliki seluruh warna tersebut dalam dirinya secara ‘ indimaji ‘ (melebur) dan hakekat warna-warna yang beragam adalah cahaya murni itu sendiri yang muncul dalam warna tertentu :
‘ entitas-entitas adalah kaca-kaca yang beragam ‘ ‘yang memancar padanya wujud matahari ‘
‘ setiap kaca yang merah, kuning, dan abu-abu ‘ ‘dalam matahari pun, semua warna itu ada‘[26]
Universal dan Partikular
Tabiat (nature) dengan makna sebuah hakekat yang meliputi dingin, panas, lembab, kering adalah bukan hanya sekedar sebuah hakekat semata yang meliputi keempat hal tersebut. Panas adalah tabiat itu sendiri yang memancar dalam wadah tertentu, begitu pula dengan tabiat-tabiat lainnya :
" وماالّذی ظهر غیرها (طبیعت) ؟ وماهی عین ماظهرلاختلاف الصورباالحکم علیها ، فهذاباردیابس وهذاحاریابس فجمع بالیبس ، وأبان بغیرذلک "[27]
Analogi-analogi lain dalam menjelaskan tajalli dibawah naungan pembahasan ithlaq maqsami seperti ‘api dan korek api’,[28] pancaran akal,[29] angka,[30] suara dan pemilik suara,[31] wol dan air,[32] namun demi memperhatikan keluasan pembahasan maka kami tidak akan membahas lebih jauh analogi-analogi tersebut.
Irfan, Tasawwuf, dan Filsafat
Abstrak
Makalah ini bermaksud untuk menjelaskan pembahasan irfan secara garis besar dan diperuntukkan bagi mereka yang sama sekali tidak pernah bersentuhan dengan pembahasan irfan sebelumnya. Dalam makalah ini, selain menjelaskan beberapa tema-tema penting dalam irfan tapi juga berusaha menjelaskan beberapa istilah irfan. Fokus makalah ini menjelaskan bangunan pemikiran irfan Ibn Arabi sebagai peletak pertama bangunan dasar irfan teori.
Kata kunci ; irfan, wujud, wahdatul wujud, zat, Al-Haq, ta’ayyun awwal, ta’ayyun tsani, tajalli, insan kamil.
Muqaddimah
Sebelum kami menjelaskan lebih jauh, ada baiknya jika kita mengetahui letak persamaan dan perbedaan antara istilah irfan dan tasawwuf. Mungkin ada yang membedakan kedua istilah tersebut berdasarkan mazhab yang ada, bahwa irfan mewakili kaum syi’ah sedangkan tasawwuf mewakili kaum sunni. Mungkin juga ada yang membagi dalam terma lain bahwa irfan dibangun berdasarkan terma-terma filosofis sedangkan tasawwuf non filosofis.
Diantara teori pemilahan irfan dan tasawwuf yang ada, kami memilih pemilahan yang ditawarkan oleh Murtadha Muthahhari bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan antara irfan dan tasawwuf. Irfan adalah tasawwuf dan tasawwuf adalah irfan itu sendiri. Perbedaan ini muncul dari sudut pandang seseorang terhadap seorang Sufi. Jika yang kita saksikan pada seorang Sufi adalah sistem alam pemikirannya maka pada hakekatnya kita sedang menyaksikan aspek irfani dari Sufi tersebut, namun jika yang kita saksikan pada seorang Sufi aspek sosialnya – seperti bagaimana prilaku kesehariannya, cara berpakaian, tingkah laku, dst – maka yang sedang kita saksikan pada Sufi tersebut adalah aspek tasawwufnya.[1]
Berdasarkan hal diatas, pada diri seorang Sufi terdapat dua aspek sekaligus, pertama adalah sisi irfannya dan yang kedua adalah sisi tasawwufnya. Sisi irfan menjelaskan aspek pandangan dunia seorang Sufi, menjelaskan tentang bagaimana pemikiran dia tentang wahdatul wujud, konsep tajalli dan tentang manusia yaitu insan kamil. Sisi tasawwuf menjelaskan aspek sair suluknya yang terbingkai dalam prilaku kesehariannya. Pembahasan kita kali ini menjelaskan tentang irfan teori yaitu menjelaskan aspek pemikiran dari seorang sufi. Oleh karena itu kata yang tepat yang kita gunakan saat ini adalah irfan.
Dari hal diatas kita bisa melihat pembagian besar dalam irfan, yaitu irfan teori dan irfan amali (tasawwuf). Irfan teori adalah sebuah penafsiran akan eksistensi – dalam hal ini wahdatul wujud – beserta konsekwensinya yang diperoleh melalui syuhud dan mukasyafah. Sedangkan irfan amali (tasawwuf) menjelaskan proses yang harus dijalani manusia sehingga sampai pada puncak tauhid (wahdatul wujud). Dalam irfan amali seorang Sufi senantiasa berusaha menjalani ‘takhallaqu bi akhlaqillah’ [berakhlak dengan akhlak-akhlak Ilahiyah]. Segala perbuatannya dijalani dalam ruang lingkup syariah dan melalui syariah (zahir) tersebut masuk kedalam inti hakekat (bathin). Tapi disini harus dipahami bahwa terminologi akhlak berbeda dengan terminologi akhlak yang dipahami oleh seorang sufi. Akhlak yang biasanya dipahami oleh kaum awam adalah bermakna memperindah diri dengan sifat-sifat hasanah. Seperti bagaimana seseorang memperindah diri dengan sifat malu, sifat dermawan, rendah diri, dst. Sedangkan akhlak dalam terminologi irfan tidak bermakna memperindah diri, akan tetapi bermakna perjalanan manusia dari satu titik terendah menuju titik yang paling puncak yaitu wahdatul wujud yang mereka pahami sebagai puncak ketauhidan. Akhlak dalam irfan adalah gerak dari satu stasiun menuju stasiun lainnya, dari gerak kesadaran, menuju taubat hingga sampai pada puncak tauhid yaitu wahdatul wujud. Akhlak dalam irfan bersifat dinamis, sedangkan selainnya bersifat statis.
Secara garis besar pembahasan irfan membahas dua tema penting yang menjadi poros seluruh pembahasan irfan. Kedua persoalan tersebut adalah tauhid dan muwahhid. Yang dimaksud dengan tauhid oleh kaum Sufi adalah wahdatul wujud. Para Sufi meyakini bahwa wujud hanya layak dinisbahkan kepada Al-Haqq. Selain Al-Haqq hanyalah nama-nama-Nya dan manifestasi-Nya saja yang secara esensi nama-nama tersebut tidak memiliki wujud yang independen. Konsekwensi dari prinsip wahdatul wujud ini meniscayakan penafian wujud selain Al-Haqq dan hal ini akan semakin menyulitkan ketika menjelaskan relasi antara Al-Haqq dan selain Haqq.
Relasi antara Al-Haqq dan selain Al-Haqq dalam irfan diselesaikan dengan prinsip tajalli. Tajalli hanyalah bayangan diri-Nya yang beraneka ragam. Keaneka ragaman ini bergantung pada bentuk-bentuk cermin yang ada. Cermin menampakkan wajah-Nya bergantung pada potensi dan bentuk yang ada pada cermin. Yang menarik dalam terminologi ini bahwa kita bisa menemukan banyak teks-teks dalam hadits dan qur’an yang menggunakan terminologi bayangan tersebut dengan istilah tanda. Bahkan penamaan didalam surah pun dijelaskan dengan istilah ayat (tanda). Karena itu dalam pandangan dunia irfan segala sesuatu selain Al-Haqq adalah tanda-tanda tentang diri-Nya (kemana pun wajahmu menghadap maka engkau akan menemukan wajah-Nya. Al-Baqarah; 115).
Pembahasan kedua dalam irfan menjelaskan tentang konsep insan kamil (muwahhid = seseorang yang mampu menampung hakekat wahdatul wujud). Insan kamil dalam irfan merupakan penampakan Al-Haqq yang paling sempurna. Cermin yang paling sempurna diantara cermin yang ada adalah insan kamil. Konsep ini sejalan dengan apa yang ada dalam hadits ‘khalaqa adam ‘ala shuratih’ bahwa Tuhan menciptakan manusia sesuai dengan bentuk-Nya, atau dalam hadits lain dijelaskan ‘laulak lama khalaqtul aflak’ (jika bukan engkau wahai Muhammad maka aku tidak akan menciptakan langit dan bumi). Berdasarkan hal ini insan kamil merupakan batin atau ruh alam semesta, sedangkan alam semesta adalah badan atau tubuh insan kamil.
Perbedaan Irfan dengan Filsafat
Irfan sebagaimana filsafat berusaha menjelaskan tiga hal utama ; Tuhan, Alam, dan manusia. Akan tetapi masing-masing menjelaskan sesuai dengan pondasi bangunan pemikirannya. Berikut ini beberapa perbedaan tersebut ;
- Metode
Metode yang digunakan dalam filsafat dalam menjelaskan hakekat yaitu melalui argumentasi. Filsafat berangkat dalam menyelusuri hakekat melalui akalnya. Sedangkan dalam irfan metode yang digunakan adalah kasyf dan syuhud melalui qalbunya. Seluruh eksistensi dirinya berangkat menuju Tuhan. Dalam filsafat dengan ilmu hushuli, sedangkan irfan dengan ilmu hudhuri.
- Objek Pembahasan
Objek pembahasan yang dibahas dalam filsafat adalah eksistensi qua eksistensi ‘wujud bima hua wujud’ atau wujud sebagaimana wujud itu sendiri. Maksudnya bahwa dalam filsafat, pluralitas eksistensi masih diakui walaupun wujud pada hakekatnya hanya satu (annal wujud fi wahdatihi ‘ainul katsrah wal katsrah ‘ainul wahddah = bahwa wujud dalam kesatuannya adalah pluralitas dan pluralitas adalah kesatuannya itu sendiri). Sedangkan dalam irfan objek yang dibahas adalah Al-Haqq dimana Al-Haqq adalah wujud itu sendiri dan wujud adalah Al-Haqq. Irfan menafikan adanya pluralitas dalam wujud. Al-wujud hanya dinisbahkan kepada Tuhan dan selain Tuhan adalah fatamorgana.
- Hirarki Alam
Filsafat menjelaskan bahwa alam ini adalah akibat dari Tuhan dimana Tuhan sebagai sebab sedangkan alam ini sebagai akibatnya. Filsafat dalam menjelaskan hirarki alam eksistensi masih menggunakan prinsip kausalitas dan dalam prinsip kausalitas ini meniscayakan adanya pluralitas wujud, paling minimal ada dua wujud. Wujud sebab yakni Tuhan dan wujud akibat yaitu selain Tuhan. Tapi dalam irfan hirarki alam semesta dijelaskan dengan pendekatan asmaulhusna, bahwa selain Tuhan hanyalah penampakan dari nama-namanya. Oleh karena itu dalam irfan wujud tidak memiliki gradasi akan tetapi yang bergradasi adalah nama-nama Tuhan. Dalam irfan segala persoalan diselesaikan dengan pendekatan asmaulhusna.
Dari perbedaan hal diatas kita bisa menyaksikan adanya perbedaan pandangan dunia yang cukup signifikan. Perbedaaan ini berasal dari perbedaan metodologi yang kemudian mempengaruhi cara pandang seseorang terhadap segala sesuatu.
Sebagaimana yang telah kami ungkapkan sebelumnya bahwa hirarki alam dalam irfan memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dengan bentuk hirarki alam dalam fakultas filsafat. Berikut ini adalah hirarki alam dalam irfan ;
Zat Al-Haqq (maqam ghaib al-ghuyub)
Ibn Arabi meyakini bahwa zat Al-Haqq adalah maqam yang tak tersentuh. Tidak satupun yang bisa sampai kepada maqam zat. Hal ini ditegaskan dalam do’a Rasulullah saw ; ma ‘araftuka haqqa ma’rifatik wa ma’abadtuka haqqa ‘ibadatik (aku tidak mengetahui diri-Mu sebagaimana hakekat diri-Mu dan aku tidak mungkin menyembah-Mu sebagaimana hakekat ibadah itu sendiri). Hal ini menjelaskan bahwa baik akal tidak mungkin sampai kepada hakekat diri-Nya maupun syuhud tidak mungkin sampai dalam menyaksikan diri-Nya. Oleh karena itu maqam zat adalah maqam penafian atas segala identias diri-Nya. Dia adalah tanpa nama, tanpa definisi, tanpa ikatan, dan bahkan menafikan ikatan tanpa … itu sendiri. Karena itu dalam irfan maqam zat bukan objek pembahasan. Nah sekarang, hakekat Al-Haqq yang tersembunyi tidak akan diketahui tanpa dijelaskan oleh diri-Nya sendiri. Kuntu kanzan makhfiya fa ahbabtu anu’raf, fakhalaqtul khalq likai u’raf ; Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi maka aku cinta untuk dikenal, maka aku mencipta agar aku dikenal. Cinta disini menunjukkan maqam zat Al-Haqq. Hal ini menunjukkan bahwa ketika zat ingin menyaksikan kesempurnaannya sendiri dalam maqam zatnya, untuk menyaksikan kesempurnaan tersebut bisa melalui dua cara. Cara pertama adalah tanpa perantara apapun dan yang kedua adalah melalui perantara sesuatu dan sebaik-baiknya perantara adalah cermin karena cermin lah yang bisa menunjukkan segala hakekat yang ada sebagaimana adanya. Menyaksikan keindahan diri melalui cermin jauh lebih indah dari pada menyaksikan diri tanpa cermin, dan karena indah dan keindahan adalah merupakan hakekat diri-Nya maka terciptalah cermin tersebut, dimana cermin dalam istilah irfan adalah tajalli. Oleh karena itu tajalli pertama disebut dengan maqam Ahadiyah yang sangat identik dengan Al-Haqq. Para Sufi menyebut Ahadiyah ini dengan Hakekah Muhammadiyah.
Tafsir Irfani surah al-fatihah [disadur dari beberapa buku tafsir irfani]
Tafsir ini disadur dari beberapa kitab tafsir irfani atau tafsir sufi. Khususnya kitab tafsir Abdul Razzaq Kasyani yang biasanya dikenal dengan tafsir Ibn Arabi.
Sebagaimana dimaklumi bahwa surah alfatihah disebut dengan surah al-fatihah yaitu pembukaan, dan Bismillahirrahmanirrahim adalah pembukanya, dan pembukanya pembuka adalah Bismillah. Realitas alam ini muncul dengan perantara asma Ilahi. Maksudnya asma Ilahi merupakan sebab munculnya alam. Dalam Bismillahirrahmanirrahim, ada 3 asma Tuhan, yaitu Allah yang disebut ismul jami' (yaitu Nama yang meliputi seluruh nama2; surah al-isra;110), Arrahman, sifat umum yg meliputi dunia dan akhirat, Arrahim sifat khusus yang dikhususkan pada akhirat. Karena itu segala realitas alam ini muncul dengan Bismillahirrahmanirrahim atau tiga asma Ilahi tersebut, yaitu Allah dan kemudian terinci dengan Arrahman dan Arrahim. Bismillah (bi ismi Allah), Jadi ada 'ba' ada 'ism' dan ada 'Allah swt'. Kenapa tdk langsung (bi Allah = Billah) tapi memakai perantara 'ism' ? Karena untuk membedakan sumpah (billah) dan selain sumpah (bismillah).
Pada bismillah ada asma Zat yaitu Allah swt, dan segala sesuatu berasal dari asma Zat tersebut, karena itu, manusia mesti mengawali sesuatu dengan bismillahirrahamanirrahim agar segala yg dilakukan memiliki pondasi Ilahiyah. Yaitu kesadaran bahwa sebuah perbuatan itu akan memiliki awal dan akhir jika didahului dengan bismillahirrahmanirrahim. Oleh karena itu, selain manusia, asma-asma Tuhan yang lain juga bertawasshul pada asma Allah swt; misalnya dalam do'a bismillahi-syafi, bismillahi-kafi, dan seterusnya. Karena itu ism Allah adalah maqam martabah uluhiyah yang meliputi seluruh kesempurnaan, seluruh entitas, suluruh asma-asma dan sifat-sifat Ilahiyah lainnya. Maka seluruh realitas alam adalah bentuk-bentuk dari ism Allah dan manifestasi-manifestasinya.
Bismillah yaitu bi ism Allah, seharusnya diantara huruf ' ba' dan 'sin' disitu ada alif, namun pada ayat tersebut tidak ada 'alif', jadi seharusnya tulisannya bi ismi Allah, bukan bismi Allah. Sebagaimana dalam surah al-alaq 'bi ismi rabbik', dalam surah al-alaq huruf alifnya tetap terjaga. Sebagian mufassir menjelaskan bahwa huruf 'ba' adalah badal (pengganti) dari 'alif'. Pengganti disini maksudnya bahwa 'ba' digerakkan oleh 'alif', karena itu 'alif' seharusnya tidak ditengah karena 'alif' sebagai penggerak atau kuasa Ilahiyah, Jadi 'alif' mesti di depan (awal). karena itu 'Bismillah' maknanya adalah 'dengan' nama Allah. Maksudnya 'ba' disini bermakna perantara dari 'alif' dimana 'alif' sebagai hakekat pemberi eksistensi. Jadi 'alif' adalah pemberi zat realitas eksistensi, dan 'ba' pemberi sifat sehingga dibawah huruf 'ba' ada titik. Titik disini adalah segala entitas-entitas alam. Berdasarkan hal ini, Maka 'ba' meliputi tiga hal; bentuk, titik, dan gerak. Maksudnya bentuk 'ba' adalah alam malakutiyah, titiknya adalah alam jabarut, dan gerak adalah alam syahadah (materi). Alhamdulillahi rabbil 'alamin; (segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam.) Kapan pujian itu berlaku ? Misalnya saya memuji si fulan, ketika ada sesuatu perbuatan yang baik dan indah keluar dari dirinya. Karena itu, pujian dilekatkan pada suatu perbuatan yang baik dan indah. Dalam 'al-hamdulillah', huruf 'alif dan 'lam' pada 'al', bisa bermakna 'ahd dan bisa juga bermakna 'istighraq'. Jika 'al' pada 'al-hamdulillah' bermakna 'aHd maka bermakna bahwa yang paling layak memuji Allah swt adalah hanya para makshumin dan para waliyullah. Jika bermakna 'istighraq' maka segala bentuk pujian dan apapun objek yang dipuji pasti kembali kepada Allah swt. 'al' pada makna kedua (istighraq) sejalan dengan beberapa ayat Qur'an, misalnya pada surah al-isra;44 (tidak ada sesuatu apapun terkecuali bertasbih dan memuji kepada Allah swt) karena itu jika ada sesuatu maka sesuatu tersebut mesti bertasbih dan memuji kepada Allah swt, tasbih dan pujiannya tentu sesuai dengan kadar eksistensinya. Kenapa demikian, karena segala sesuatu secara ontologi sadar bahwa Allah swt menciptakan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya ciptaan sebagaimana dalam surah assajdah;7. Oleh karenanya setelah basmalah; bahwa tiga asma pada basmalah menunjukkan bahwa segala sesuatu mewujud dengan ketiga asma tersebut maka segala pujian tentu hanya kepada Allah swt, dan karenanya pula Allah swt adalah rabbul 'alamin karena meliputi segala realitas alam semesta. Maksudnya bahwa Allah swt tidak hanya menciptakan segala realitas alam dengan basmalah, tapi menguasai dan memeliharanya, dimana menguasai dan memelihara ini adalah karekteristik dari 'Rabb' karena itu Rabbul 'alamin. Arrahmanirrahim; dua sifat Arrahman dan Arrahim terulang dalam surah alfatihah yaitu setelah Bismillah dan kedua setelah al-'alamin. Sebagian penafsir menjelaskan bahwa pengulangan ini bukan berarti menunjukkan ada makna yg beda antara yang pertama (setelah bismillah) dan yang kedua (setelah 'alamin). Karena itu pengulangan ini berfungsi sebagai ta'kid (penegasan) saja. Sebagian penafsir ada yang menjelaskan rahasia antara yang pertama dan yang kedua. 1) sebagian mengatakan, pengulangan ini berfungsi agar manusia senantiasa ikut mengulang-mengulang dalam qalbunya yaitu menjadikan dua asma tersebut sebagai zikirnya sehingga dirinya akan diliputi hidayah umum (Arrahman) dan hidayah khusus (Arrahim). Karena dengan pengulangan (zikir) tersebut akan memberikan efek eksistensi didalam diri. Coba perhatikan anak bayi, melalui pengulangan akhirnya ia pun bisa melafazkan kata-kata. 2) Arrahman dan Arrahim yang pertama dibawah naungan langsung asma Allah swt. Kemudian Arrahman dan Arrahim yang kedua dibawah naungan Rabbil 'alamin setelah alhamdu. Karena itu Arrahman dan Arrahim yang pertama berkaitan dengan penciptaan dan yang kedua setelah penciptaan, maksudnya setelah kita memuji Tuhan (mensyukuri Tuhan) barulah kemudian kita mendapatkan Arrahman atau Arrahim. Karena itu Nabi Adam as, setelah beliau bersin beliau mengucapkan alhamdulillah, kemudian langsung di jawab oleh Allah swt 'semoga Allah merahmatimu wahai Adam' (rahimakallah ya adam). Malikiyaumiddin ; Pemilik hari akhir. Kata maliki pada ayat tersebut dibaca dalam beberapa bentuk, ada yg baca maaliki (dengan alif) sehingga maknanya; Allah swt dengan Rahman dan Rahimnya pemilik hari kiamat dimana pada saat itu tak ada lagi makhluk yg mengaku sebagai pemilik. Kemudian ada juga yg baca maliki (tanpa alif) sehingga maknanya Allah swt dengan Rahman dan Rahimnya pemilik dan penguasa pada hari kiamat dimana pada hari itu, pemilik dan penguasa hanya milik-Nya. Jika demikian, pertanyaannya adalah atas dasar apa pemilik dan penguasa dikhususkan pada hari kiamat ? Bukankah Dia pemilik segalanya dan pemilik segala sesuatu ? Lalu kenapa hanya hari akhir ? Alasannya karena akhirat adalah alam hakekat, alam dimana hijab-hijab telah tersingkap (yauma tublassarair ; hari dimana semua rahasia-rahasia tersingkap), karena itu diayat lain Allah swt berfirman; limanil mulkul yaum (siapakah pemilik hari (kiamat) ini ? Kemudian Allah swt sendiri menjawab 'lillahil wahidil qahhar (hanya milik Allah-lah Yang Maha Esa Lagi Maha Perkasa) karena tidak ada seorang pun yg mengaku sebagai pemilik pada hari kiamat. Namun hal ini berbeda pada alam dunia, alam dunia adalah alam iktibari, alam simbolik. Maksudnya dijelaskan dengan perantara, misalnya bahasa atau simbol lainnya. Oleh karena itu, Meskipun secara ontologi (takwini) dunia dan segala sesuatu milik Allah swt, namun secara tasyri'I (ikhtiyar) manusia bisa saja mengaku memiliki sesuatu didunia ini sebagaimana yg kita saksikan pada namrud dan fir'aun. Namun diakhirat kelak, mereka akan sadar bahwa apa yg mereka yakini sebagai pemilik sesuatu di alam didunia semuanya hanya semu belaka. Disana mereka akan sadar bahwa pemilik hakiki hanya Allah swt. Maka pemilik hakiki hanya Allah swt. Iyyaka na'budu. Dalam bahasa arab, semestinya kata kerja lebih dahulu dari pada subjek. Karena itu secara kaidah semestinya na'budu iyyaka. Namun jika dibalik, berarti ada makna pengkhususan, maka maknanya; hanya kepadaMulah kami menyembah. Maksud dari ayat ini, setelah kita sadar (dengan kesadaran suluki) bahwa pemilik hakiki (maliki yaumiddin) hanya Allah swt, baik secara zat, sifat, dan perbuatan, maka pada saat itu tentu manusia menyaksikan bahwa hanya kepada-Nyalah manusia menyembah. Karena Dia lah pemilik hakiki. Setelah manusia sadar bahwa baik zat, sifat, dan perbuatan adalah milik Allah swt, berarti dirinya sadar bahwa dirinya bergantung secara totalitas kepada Allah swt. Maka pada saat itu pula manusia akan mengatakan bahwa hanya Engkau lah yg layak disembah, bukan karena yang lain.
Wa iyyaka nasta'in. Dengan adanya kesadaran suluki tersebut, bahwa Dia lah hakekat pemilik dan oleh karenanya manusia bergantung secara totalitas kepada Allah swt sehingga manusia menyadari bahwa Dia lah yang layak disembah, maka hanya kepada-Nyalah manusia meminta pertolongan. Maksudnya, dalam memenuhi kebutuhan sehari-sehari, manusia tentu berhadapan dengan sesuatu diluar dirinya, pada saat itu manusia mungkin saja terpengaruh dengan kenikmatan-kenikmatan dan kelezatan materi sehingga kesadaran suluki yg manusia dapatkan kembali pudar, maka hanya kepada-Nyalah manusia meminta pertolongan agar kesadaran suluki tersebut senantiasa hadir, sehingga manusia senantiasa hadir pada Ilahi, baik dalam kesendiriannya maupun bersama makhluk.
Ihdinasshirathalmustaqim; sebelum menjelaskan, kami ingin mengutip penjelasan Allamah Thabataba'I mengenai hidayah. Menurut beliau, hidayah itu ada dua, hidayah internal (dalam diri) dan hidayah eksternal (diluar diri). Hidayah internal adalah hal-hal yg bersifat fitrawi; yaitu akal dan qalbu. Sedangkan hidayah eksternal yaitu Qur'an dan para Makshumin. Dua hidayah tersebut mesti terkoneksi, Maksudnya, jika fitrah (hidayah internal) manusia dicederai dengan ketertarikan pada material maka akan menyebabkan dirinya tidak bisa mendapatkan hidayah eksternal. Karena fitrah adalah jembatan menuju eksternal. Sebaliknya, jika fitrah manusia terjaga (suci) maka dirinya mudah terkoneksi dengan hidayah eksternal. Berdasarkan hal ini, kesesatan itu ada dua, ada internal (fitrah yang telah terikat pada materi) dan eksternal (setan dan bala tentaranya). Jika fitrah manusia mati maka dirinya sangat mudah menerima keburukan-keburukan eksternal. [Tunjukkanlah kami ke jalan yg lurus, yaitu jalan orang2 yg telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yg dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yg sesat] ayat Ihdinasshirathalmustaqim setelah iyyakana'budu wa iyyakanasta'in. Pertanyaannya mengapa ayat ihdinasshiratal mustaqim setelah ayat iyyakana'budu wa iyyakanasta'in. Padahal kita bisa menyembah Allah swt setelah kita mendapatkan hidayah dari-Nya. Dalam kata lain, penyembahan mesti diawali sebelumnya dengan hidayah. Oleh karena itu, jika ihdinasshirathalmustaqim setelah ayat iyyakana'budu wa iyyakanastain maka hidayah yg dimaksud disini adalah hidayah yg terus menerus hidup di dalam fitrah manusia. Karena jika fitrah ini mati maka tak ada jalan menuju hidayah realitas eksternal. Inilah rahasia mengapa Qur'an mengatakan zalikal kitabu la rayba fihi Hudan lilmuttaqin. Qur'an itu petunjuk bagi org yang bertaqwa, karena syarat ketaqwaan mesti memiliki fitrah yang sehat. Jika fitrahnya tdk sehat maka dia tdk memiliki ketaqwaan dan jika tidak memiliki ketaqwaan maka jalan menuju Qur'an itu tertutup. Karena, jika dengan fitrah yg kotor mencoba memaknai Qur'an, maka alih-alih ia mendapatkan hidayah, yang ia dapatkan justru kesesatan. Lihat bagaimana marksisme menafsirkan Qur'an. Qul huwallahu ahad memaknai 'ahad' dengan masyarakat komunal.
Tunjukkanlah (hidayahilah) kami jalan yg lurus. Dari ayat lain dapat dipahami bahwa ada jalan lain selain jalan shirathal mustaqim yaitu jalan syaitan. Misalnya pada surah yasin;60-61. Dijelaskan 'janganlah menyembah syaitan' . . . 'Sembahlah Aku, sesungguhnya ini jalan yg lurus (shirathal mustaqim)'. Dari ayat ini dapat dipahami bahwa 'menyembah' bermakna sebuah jalan. Dan karena menyembah itu bisa pada Allah dan juga bisa pada syaithan, maka jalan pun ada dua, ada jalan lurus yaitu menyembah Allah swt dan ada jalan sesat yaitu menyembah syaithan. Namun sebenarnya pembagian pada dua jalan ini hanya iktibari (tidak hakiki) karena yg ada hanya shirathal mustaqim. Karena itu dalam ayat itu dijelaskan bahwa sesungguhnya syaitan adalah musuhmu yg nyata. Namun karena manusia tertipu oleh syaitan, maka manusia tdk menganggapnya sebagai musuh, bahkan syaitan nampak dalam bentuk sosok yang dekat dengan diri kita (seperti teman, sahabat, dst). Oleh karena itu, jika manusia mengetahui hakekat syaitan bahwa syaithan adalah musuh yg nyata bagi manusia maka tak mungkin manusia menyembahnya. Karena tidak mungkin manusia menyembah musuhnya. Oleh karena itu, secara hakiki yang ada hanya ada shirathal mustaqim. Dari sini dapat dipahami bahwa shirathal mustaqim adalah jalan Allah swt. Karena itu Shirathal mustaqim adalah jalan Allah swt. Maksud dari jalan Allah swt adalah tauhid. Jadi jalan lurus ini bisa juga diartikan dengan jalan yang satu (maksudnya hanya ada satu jalan) yaitu jalan tauhid. Jadi makna ayat 'ihdinasshirathal mustaqim' yaitu tetapkanlah kami atas hidayah dan teguhkanlah kami dengan istiqamah (mustaqim disini berasal dari kata istiqamah) pada jalan yang satu. Kemudian jalan yg satu ini dijelaskan pada ayat selanjutnya 'shirathallazina an'amta alaihim' yaitu jalan yang diberikan nikmat atas mereka, yaitu para anbiya,syuhada, shiddiqin, dan para auliya. Mereka semua diberikan nikmat khusus rahimiyah yaitu makrifat, mahabbah, dan hidayah dikarenakan tauhid hakiki yang mereka miliki.
Ghairil maghdhubi alaihim (bukan jalan mereka yg dimurkai) wa la dhallin (bukan pula jln mereka yg sesat). Dari beberapa hadits yang dinukil, maksud dari ghairil maghdhubi alaihim adalah orang-orang yang hanya melihat aspek lahiriyah. Dan maksud dari wa la dhallin adalah orang-orang yang hanya melihat aspek batin. Maksud dari orang-orang yang pertama yaitu mereka yang mencukupkan dirinya pada jalan lahiriyah semata namun mereka terhijabi pada jalan nikmat rahimiyah dan pada nikmat qalbu. Sedangkan maksud dari orang-orang yang kedua adalah mereka yang hanya berjalan pada batin tanpa aspek lahiriyah yaitu mereka yg lalai dari lahiriyah.