“Mengapa ada orang yang berjalan tanpa alas kaki, sambil
mengitari pinggiran jalan-jalan kota. Kira-kira apa yang sedang ada di benak
mereka? Mengapa mereka seolah tak pernah peduli dengan kehidupan kemegahan
orang-orang moderen?” pertanyaan ini selalu hadir, setiap kali melihat
orang-orang Baduy menelusuri keramaian sudut-sudut kota Jakarta.
Pertanyaan tentang “apa yang ada di benak mereka”
hampir-hampir tak kan pernah terjawab dengan baik, terkecuali ada saat, kita
benar-benar mampu hadir di dalam kehidupan mereka.
Pengalaman adalah guru terbaik. Pengalaman tak hanya
memberikan pengetahuan, tapi yang lebih penting, membuahkan aroma dan cita
rasa. Salah satu pesan di dalam filsafat jawa menjelaskan, “roso, boso”, rasa
adalah bahasa. Kalau kata orang-orang Sufi, “ilmu adalah kehadiran”. Orang-orang
yang tak hadir, hakikatnya tak mengetahui. Karena orang-orang yang tak hadir
tak mampu merasakan cita rasanya.
Kegiatan Omah Budaya Wulangreh, “Be Baduy” adalah satu
kegiatan yang dirancang untuk mencoba mendekati kehidupan orang-orang Baduy
secara dekat dan tanpa ada jarak. Kita dihimbau selama sehari semalam menjadi orang
Baduy. Tanpa alas kaki, tanpa listrik dan teknologi, tanpa sabun dan sampo,
tanpa kamar mandi sebab ‘kali atau sungai’ satu-satunya pilihan dalam
melepaskan hajat-hajat kita.
Meskipun sehari semalam tak kan mewakili kehidupan
orang-orang Baduy yang sudah berlangsung lama. Entah sudah berapa lama. Tapi tugas
saya hanya mencoba mendekati kehidupan mereka, sedekat hembusan udara
sepoi-sepoi yang menembus pori-pori tubuh.
* * * *
*
Subuh hari, saat malam berangsur-angsur meninggalkan
kegelapannya, saya bersama rombongan berangkat menuju tempat yang paling hening
di singgasana orang-orang Baduy. Dan kira-kira sejam mendekati tempat tujuan,
mata kita mulai dimanjakan dengan keindahan alam. Gunung, sawah, pepohonan,
ciutan burung, dan udara yang masih segar tanpa polusi. Seluruhnya menjadi satu
kesatuan yang paling utuh, membentuk nada-nada simfoni keindahan alam.
Kami memutuskan membuka kaca jendela mobil. Mematikan
mesin pendingin dan menghidupkan angin sepoi-sepoi yang menembus masuk ke
ruangan mobil yang kami tumpangi. Angin sorgawi yang sesekali menebarkan aroma
tanah. Dan terkadang mencium wangi asap dedaunan yang sengaja dibakar di
rumah-rumah warga.
Jalan yang kami lalui, sesekali melewati pendakian, lalu
penurunan. Seperti menelusuri tanah perbukitan. Luas jalan tak begitu luas. lebar
jalan selebar dua kendaraan roda empat. Jadi kadang mesti tiba-tiba harus
berhenti sejenak, karena lubang-lubang jalanan begitu besar. Terkadang jalan
terbaik ialah harus membiarkan kendaraan lain yang sedang berpapasan agar bisa
melintas terlebih dahulu.
Satu pertanyaan kembali melintas di benakku. Mengapa disepanjang
perjalanan ini, saat mendekati singgasana Baduy, tak ada satu pun orang-orang
Baduy yang saya saksikan? Mengapa justru sudah sedekat ini, tapi tak satu pun
orang-orang Baduy melintas di jalanan?
Hingga saat kami benar-benar tiba di lokasi Baduy. Tempat
pemberentian akhir kendaraan. Tempat terakhir menggunakan alas kaki. Sepatu,
sendal, dan kaos kaki mesti dikembalikan ke singgasana ke moderenan sebab di
sini hanya memperkenankan alas kaki yang paling purba, telapak kaki kita
sendiri. Di tempat inilah saya bisa menyaksikan kehidupan ‘Baduy Luar’.
Awalnya kikuk, tak tahu mesti bagaimana melangkah tanpa
alas kaki di atas tanah liat yang bebatuan. Tapi saat berpapasan dengan orang Baduy,
saya mulai belajar bagaimana cara mereka melangkah dan menginjakkan kaki. Karena
kontur tanah yang berbukit, sesekali mesti berpegangan pada ranting atau batu agar
tidak kepeleset, apalagi sampai jatuh.
Dan kami terus berjalan, tanpa alas kaki, menelusuri
jalan-jalan yang hanya bisa dijalani oleh para pejalan menuju Baduy dalam yang
paling terdalam dengan kedalamannya. Sejenak benakku seketika hening, terkesima
oleh keindahan kupu-kupu dan capung-capung yang menari-nari bagai peri, seolah
ingin menyertai setiap langkah keheningan. Seolah mereka sedang bercerita
tentang kejernihan air dan keaslian ekosistem yang belum terjamah sama sekali
oleh keserakahan manusia.
Setelah berjalan kurang lebih satu jam, kami tiba di
jembatan bambu. Jembatan inilah sebagai pemisah antara Baduy dalam dan Baduy
luar. Di Jembatan inilah pemisah antara tradisi dan modernitas, antara
keramaian dan keheningan, antara kemegahan dan kesederhaan.
Rasa haru dan hening saat pertama kali kaki-kaki
menyentuh jembatan bambu ini. Seolah baru kali ini benar-benar memiliki
kesadaran menyatu dengan alam. Keheningan diri dan keramaian simfoni alam
melalui suara gemercik air yang tak pernah berhenti. Arus air sungai yang tak
begitu deras, saat menerpa bebatuan, dedaunan dan ranting-ranting pohon di
pingggiran sungai, mampu menghasilkan suara keindahan keheningan.
* * * *
*
Akhirnya kami tiba di lokasi yang
dimaksud. Di rumah salah satu warga Baduy dalam. Kami langsung bergegas ke
sungai. Mencuci telapak kaki yang telah dipenuhi dengan lumpur.
Saat pertama kali mencelupkan
kaki di pinggir sungai, rasa lelah dan capek seketika sirna, terbayar dengan
kejernihan air sungai dan dinginnya air memberikan relaksasi ke seluruh tubuh. Sambil
membersihkan kaki, sesekali memandangi dasar sungai yang nampak terlihat dengan
mata telanjang.
Usai membersihkan kaki. Saya kembali
ke rumah Aki (tempat kami menginap). Dan sebelum masuk rumah, kaki mesti dibersihkan
lagi dengan air yang telah disediakan di halaman rumah. Saat berada di dalam
rumah, pilihan terbaik adalah merebahkan
diri sejenak, sambil mengamati rumah yang didesain dari bambu. Rumah panggung
bambu yang tanpa paku.
Hal yang ditunggu-tungu akhirnya
datang juga. Makan siang sudah siap. Nasi, sayuran, lalapan, sambel dan ikan
kering. Menu mereka setiap hari memang seperti ini. Entah mengapa, makan siang
waktu itu masih terasa hingga kini. Makan siang yang sesederhana mungkin namun
nikmatnya tak terkira. Boleh jadi karena pengaruh lelah ditambah dengan lapar
yang membuat segalanya terasa nikmat.
Kata Maulana Rumi:
Sungguh, lapar adalah Sultan dari segala obat.
Semayamkan lapar dalam jiwa,
Jangan anggap ia sebagai kehinaan.
Lapar menjadikan segala yang tak menyenangkan,
Jadi menyenangkan.
Tanpanya, segala yang menyenangkan tertolak.
Tuhan menganugerahkan lapar kepada orang-orang pilihanNya,
Sehingga mereka menjadi singa-singa perkasa.
Lapar memberikan kenikmatan,
Bukan makanan manis yang segar,
Lapar menjadikan roti Barley lebih manis dari gula.
Usai makan siang, masing-masing dari
kami mencari tempat rebahan yang paling nyaman. Saya memilih di sudut teras
agar mampu memandangi pohon-pohon yang tinggi. Menyaksikan bulir-bulir air
hujan yang mengalir dari atas atap hingga jatuh ke tanah. Atap rumah yang
terbuat dari daun-daun dan ranting pohon sagu.
Seketika suasana menjadi hening. Tawa dan bicara sesekali terhenti sejenak.
Seolah semua menikmati keheningan yang paling hening. Menyadari betapa
keindahan, kemurnian, kesejukan, kesederhanaan, kepolosan, dan kejernihan bisa
bersatu padu merangkai makna-makna menembus ruang dan waktu. Dan hanya
menyisakan satu pertanyaan, “selama ini kita dimana?”
* * * *
*
Menjelang maghrib. Di sini, gradasi kegelapan begitu nyata. Kita
benar-benar bisa menyaksikan bagaimana cahaya sirna dan kegelapan datang secara
perlahan-lahan. Tak ada penerang listrik yang menerangi kehidupan orang-orang
sini. Karena orang-orang Baduy dalam sendiri yang tak menginginkan keberadaan
listrik. Seolah mereka menyadari, seketika listrik masuk, berarti sama saja
menyerah kepada kehidupan modernitas.
Maghrib usai. Malam sudah mulai menampakkan dirinya dalam kegelapan. Makan malam
bersama ditemani dengan satu penerangan cahaya dari sumbu api dengan bahan
bakar minyak goreng yang sudah tidak digunakan lagi. Seperti biasa, usai
menyantap makan malam, masing-masing kembali mencari sandaran. Menghayati kegelapan
sebagai satu-satunya cahaya.
Malam itu kami berdiskusi tentang orang-orang Baduy, tentang keheningan diri
hingga pengenalan diri, sambil menyaksikan kunang-kunang mengitari pepohonan
dan dedaunan. Kami melewati malam dalam kebersamaan dengan keheningan. Menyelusuri
makna-makna jiwa yang terjerat dalam kepalsuan kebisingan kota.
Malam yang semakin malam. Dingin mulai menyelimuti keheningan jiwa. Sebagian
dari kami mencoba menembus dinginnya malam dengan menelusuri anak sungai. Meniru
orang-orang Baduy yang mencari ikan di malam hari dengan sebilah golok. Memang agak
sulit memahami, bagaimana ikan yang hanya sebesar ibu jari, justru ditangkap
dengan sebilah golok. Dan itu pun dilakukan di kegelapan malam hari.
Bagi kita orang kota yang
terbiasa terang dengan pencahayaan lampu, saat lampu padam, mungkin sebagian
dari kita akan merasa sesak nafas. Segera mencari lilin agar bisa melihat
sesuatu dalam kegelapan. Sebab kita tak kan pernah bisa memahami bagaimana
melihat sesuatu di dalam kegelapan malam. Saat satu-satunya cahaya adalah
kegelapan. Kata Suhrawardi, “gelap adalah cahaya dengan intensitas cahaya yang
sangat rendah”.
* * * *
*
Waktu pun berganti. Malam mulai
meninggalkan kemegahannya dalam gelap. Cahaya matahari mulai menampakkan
dirinya menyinari keindahan tanah Baduy. Tak terlihat lagi kedap-kedip cahaya kunang-kunang.
Di pagi hari. Orang-orang Baduy
sudah nampak sibuk. Ada yang mengambil air di sungai. Ada yang langsung ke
ladang. Saya turut menyertai mereka mengambil air di sungai. Bambu manjadi alat
yang cukup praktis untuk mengambil air dari sungai. Saat bambu ditenggelamkan
ke sungai, air akan masuk ke ujung bambu yang sengaja dilubangi.
Saat pagi hari, khususnya di
pedesaan, umumnya kita akan melihat anak-anak berseragam putih-merah berjalan berbaris
di pinggiran jalan menuju sekolah. Tapi di Baduy dalam, pemandangan seperti itu
tak kan pernah ditemukan. Anak-anak di sini tak bersekolah. Tak ada proses
pembelajaran secara formal. Anak-anak tak diajarkan bagaimana cara membaca dan
menulis.
Sekolah mereka adalah alam
semesta. Guru mereka kedua orang tua mereka sendiri. Sejak kecil, mereka sudah
menemani Ayah ke ladang atau menemani Ibu ke sungai. Atau menemani kedua orang
tua mereka ke hutan mencari sayuran dan tanam-tanaman.
Di pagi yang indah itu, kami
diberi kesempatan berjalan-jalan menelusuri anak-anak sungai dan sesekali
melewati pepohonan yang lebat dan tinggi, tanaman yang menjalar, dan
batu-batuan yang besar seperti memasuki area hutan. Meskipun menurut mereka,
jalur yang kami lalui bagi mereka belum termasuk bagian dari hutan.
Di sepanjang jalan, si Aki
menjelaskan tanaman dan pepohonan yang kami jumpai. Menjelaskan satu persatu khasiat dan kegunaannya.
Bukan Cuma itu, bahkan mengajarkan bagaimana cara memakannya. Satu hal yang tak
pernah saya lupakan, menjumpai satu tanaman, dan cara memakannya pun cukup
unik. Mulut kita mesti langsung mengunyah tanaman tersebut tanpa memetiknya
terlebih dahulu. Mulut kita yang langsung memetik dan sekaligus mengunyahnya.
Akhirnya saya mengerti, hal yang
paling penting bagi anak-anak mereka adalah menerima pengetahuan secara
langsung dan turun temurun dari nenek moyang mereka. Mereka tak pernah menuliskan
pengetahuan mereka. Satu-satunya jalan menjaga tradisi Baduy adalah dengan mewariskan secara langsung apa yang mereka
tahu ke anak cucu mereka.
* * * *
*
Perjalanan ini menyisakan satu pertanyaan penting dalam
diri saya, manakah kehidupan yang sebenarnya? Apakah kehidupan Baduy atau
kehidupan moderen? Apakah hidup dalam tradisi purba lebih memberikan arti
kemanusiaan kita atau hidup di jantung modernitas lebih memberi arti dan makna
kehidupan?
Menurut saya, intinya adalah bagaimana kita mampu menemukan
kesejatian diri kita sendiri. Kita mesti memahami hidup dalam kepalsuan dan
hidup dalam kesejatian. Menemukan kepalsuan diri akan membantu kita memahami
hidup dalam kesejatian diri. Oleh karena itu, hidup dalam kebaduyian atau
kemoderenan, keduanya tak kan memberikan jaminan terhadap diri kita dalam
menemukan kesejatian dan kepalsuan. Tanpa ada penyelaman dan penggalian terhadap
diri kita sendiri, pada akhirnya semuanya akan sama saja.
Tapi hidup di
jantung arus modernitas bukan hal yang mudah. Persaingan dan percepatan dalam
segala aspek kehidupan adalah problem utama manusia moderen. Kedua hal tersebut
tak kita temukan dalam kehidupan Baduy. Sebab mereka lebih mengagungkan
kepolosan, ketulusan, kesederhanaan, dan yang paling utama kehidupan yang
menyatu dengan alam semesta. Namun sebaliknya dalam kehidupan moderen, persaingan
dan percepatan justru pemicu menjebak manusia dalam kepalsuan, memaksa manusia
hidup dalam keserakahan, paradoks, ambigu, dan berujung dengan keterasingan.
Sebab itu, kita mesti bersyukur sesyukur-syukurnya. Tuhan
masih menyisakan kepada kita hingga saat ini, kehidupan orang-orang Baduy. Sebab
kita bisa bercermin kepada orang-orang Baduy atas nilai-nilai kemanusiaan yang
kita junjung selama ini. Apakah benar nilai-nilai itu masih melekat kepada kita
atau sudah terasing digilas oleh arus modernitas yang meniscayakan persaingan
dan percepatan.
Saya masih ingat pesan indah orang-orang Baduy kepada
kaum mereka sendiri. Kata salah satu dari mereka, “saya tidak takut anda
berjalan-jalan melihat dunia luar, namun yang aku takutkan kalau anda sudah
tidak memahami, siapakah jatidiri kalian sebenarnya? Karena pada saat itu, anda
tidak akan tahu lagi kemana jalan pulang”.
Orang-orang Baduy tetap memilih kemurnian dan
kesederhaan. Bahkan satu-satunya kemegahan yang mereka miliki adalah
kesederhaan itu sendiri.
Terima Kasih
Muhammad Nur Jabir