Sunday, December 30, 2018
Tafsir Sufi Surah Demi Masa, Wal Ashri
Saturday, December 29, 2018
Fenomenologi Mal dan Ideologi
Friday, December 28, 2018
Saat Satu-Satunya Kemewahan adalah Kesederhanaan
Saturday, November 24, 2018
Selamat Hari Guru, Guruku!
Kata Guru selalu membawa kita ke masa kanak-kanak. Masa yang paling indah dengan segala bentuk kepolosan dan keluguan. Saat masih kanak-kanak dahulu, kita tak mampu melihat kekanak-kanakan kita. Kita hanya tahu setelah melewati masa kanak-kanak.
Saat dewasa dan mencoba menengok masa kecil kita dahulu, mungkin sebagian dari kita akan tertawa, melihat bagaimana kelakuan kita saat masa kecil dahulu. Bahkan boleh jadi, ada sebagian dari kita yang mengalami trauma dengan masa kecilnya yang hanya akan memberikan kesedihan dan air mata saat kita menengoknya kembali saat ini.
Tapi intinya masa itu adalah masa kepolosan dengan segala bentuk keluguannya. Benak kita belum diisi dengan banyak hal dan kita pun belum bisa belajar banyak hal. Kita baru saja menyelesaikan belajar banyak huruf dan dari situ akhirnya kita bisa merangkai kalimat. Dan dari kalimat itu, kita mulai menyusun beberapa proposisi dalam menyampaikan pesan.
Dan di sanalah kita mulai belajar tentang guru. Sebab dia yang pertama kali mengajarkan kita tentang huruf-huruf dan nama-nama. Oleh karenanya, pada umumnya guru pertama kita adalah orang tua kita sendiri, entah itu ibu atau ayah. Berbahagialah bagi mereka yang memiliki orang tua sekaligus sebagai gurunya. Sebab kriteria guru sejati ada padanya. Mengajar tanpa pamrih, penuh kasih, sepenuh hati, sebab ibu kita hanya menginginkan agar kita mampu sampai mandiri, bukan yang lain.
Guru selanjutnya adalah yang pertama kali mengajarkan kita tentang makna. Makna dibalik proposisi dan sebuah kalimat. Makna yang ada dibalik relasi subjek dan predikat dalam sebuah kalimat. Saya bersyukur punya guru yang mengajarkan makna-makna di balik simbol. Di sana kita bisa bertanya sepuasnya dan sebebas-bebasnya. Sebab sang guru hanya mengarahkan pertanyaan kita dan akhirnya kita mampu menemukan jawabannya sendiri. Sebab kitalah penentu dalam setiap relasi subjek dan predikat, apakah meng-afirmasi atau negasi.
Guru selanjutnya adalah guru kehidupan yang mengajarkan kita tentang makna hidup dan kehidupan. Sungguh merugi melalui hidup ini tanpa pemaknaan. Melewati setiap momen tanpa pemaknaan adalah kehidupan yang kering tanpa ada aroma kehidupan di dalamnya.
Guru saya mengajarkan bahwa makna hidup yang paling indah adalah 'memberi'. Memberi apa yang kita mampu beri. Bukan pada jumlahnya namun pada esensi memberi. Sebab pada akhirnya apa pun yang kita miliki di dunia ini tak kan bersama kita dalam menapaki jalan kematian. Jadi mengapa mesti kita menaruh apa yang kita miliki di kedalaman sumur yang gelap gulita?!
Guru yang paling istimewa adalah guru yang mengajarkan makna derita dan penderitaan. Derita adalah sesuatu yang sangat personal. Saat derita datang, tak ada yang mampu memahaminya kecuali kita sendiri. Tak mudah melewati derita kecuali saat kita memahami bahwa setiap derita membawa pesan tertentu. Sebab itu kata Rumi, "dengarkanlah pesan itu".
Maulana Rumi memberikan pemaknaan luar biasa kepada saya tentang makna derita dalam melewati setiap penderitaan. Saya tumbuh dengan penderitaan dan akhirnya bisa memaknainya dengan tawa hari ini bersama Maulana Rumi, entah esok hari, tapi minimal hari ini saya mampu melewatinya dengan pemaknaan. Kata Rumi, "bahagialah mereka dimana akhir dari tangisnya adalah tawa".
~ Muh Nur Jabir ~
Wednesday, October 31, 2018
Wittgenstein: Filsuf Tak akan Bisa Berdusta
Saat usia remaja, Wittgenstein menghabiskan waktunya menjadi seorang guru, mengajar anak-anak sekolah dasar. Suatu ketika saat sedang mengajar, salah satu anak kelasnya berbuat ulah. Saat itu Wittgenstein kehilangan kendali, tak kuasa mengontrol emosinya. Anak itu dipukul olehnya sekeras mungkin, hingga pingsan. Wittgenstein panik dan membawa anak itu ke ruangan kepala sekolah.
Wittgenstein akhirnya diintrogasi oleh pihak berwajib. Pertanyaan demi pertanyaan diajukan kepada dirinya soal penyebab anak itu pingsan. Ia memilih mengelak dengan berbohong. Kebohongan demi kebohongan ia lakukan agar bisa bebas dari tuduhan terhadap dirinya.
Hari itu adalah hari terakhir Wittgenstein mengajarkan sesuatu kepada murid-muridnya. Dan menjadi hari pertama belajar filsafat. Lalu menyimpulkan, "seorang filsuf yang berbohong pada orang lain, bagaimana mungkin dalam memahami hakikat, jujur pada dirinya sendiri?".
Kita semua paham, pengakuan atas kelakuan buruk yang telah kita lakukan, membutuhkan keberanian. Apalagi kelakuan yang akan membuat harga diri kita, jatuh seketika. Membuat orang lain tak lagi percaya terhadap kepribadian kita. Wittgenstein kembali menyimpulkan, "pengakuan adalah jalan agar terhindar dari ketertipuan atas diri sendiri".
Bagi Wittgenstein, filsafat sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Sokrates, yaitu usaha kontemplasi pemikiran dalam menguji kejujuran atas diri sendiri. Seolah Wittgenstein ingin mengatakan kepada kita, jika kita tak belajar mengakui sebuah kebenaran, bagaimana mungkin kita bisa berbicara tentang kebenaran?
Kekhawatiran besar Wittgenstein, bukan soal menerima kesalahan dan memohon maaf pada orang lain. Persoalan utamanya adalah bagaimana kita bisa bebas dari ketertipuan atas diri sendiri, lalu beranjak untuk mengubah diri. Melalui pengakuan akan memudahkan kita sampai pada hal tersebut. Sebab dalam pengakuan kita mencoba melatih diri untuk sampai pada kesempurnaan dan kebenaran.
Melatih diri bertahun-tahun akan memberikan hasil yang berarti daripada belajar bertahun-tahun tanpa dibarengi dengan pelatihan atas diri sendiri. Sebab itu, inti filsafat adalah melatih diri agar mampu memahami makna kebenaran.
Tuesday, October 30, 2018
Mengapa Mesti Ada ‘Polisi-Tidur’?
Cinta ala Nietzche atau Rumi, Pilih Mana?
Bagi mereka yang akrab dengan tulisan-tulisan Nietzche dalam berbagai karyanya, biasanya akan menyimpulkan, Nietzche sangat tidak suka dengan cinta. Ia menentangnya dan boleh jadi ada yang menyimpulkan kalau Nietzsche sangat benci dengan cinta.
Namun ada hal yang perlu kita pertanyakan, cinta yang mana yang tidak disukai oleh Nietzsche dan cinta seperti apakah itu?
Kalau kita bertanya lebih dalam, kita akan tahu sebenarnya Nietzsche tidak menentang segala bentuk cinta. Ia menentang jenis cinta ‘keawaman’ dan tentu cinta yang bersifat politik. Tapi memang benar, segala bentuk cinta dalam pandangan Nietzsche adalah kegelapan. Karena menurutnya, cinta tak kan pernah paham tentang kasih sayang kecuali kebergantungan dan kemelekatan. Suatu gelora yang mengisi dan selanjutnya merenggut eksistensi manusia.
Cinta yang hanya mampu merenggut manusia hanya akan membuat sang pecinta tak kan mampu melihat yang lain kecuali cinta itu sendiri. Bagi Nietzsche, cinta seperti ini adalah kebodohan karena seseorang tak mampu lagi melihat kekasihnya. Jadi apa guna cinta jika kekasih tak terlihat dan tak bisa disaksikan?
Cinta dalam politik pun demikian halnya, bahwa cinta adalah penyatuan dengan orang-orang faqir, orang-orang yang lemah, dan pinggiran. Sebuah masyarakat yang mencoba menyebarkan cinta agar seluruh lapisan masyarakat menjadi satu warna, bagi Nietzsche adalah satu bentuk kezaliman. Karena orang-orang akan menerima segala bentuk penderitaan atas dasar cinta.
Kata Nietzsche, “siapa saja yang membuatmu ketakutan, lenyapkanlah cintamu padanya”. Artinya memiliki cinta, sama saja meninggalkan nalar dan membuat seseorang tergila-gila dan menjadi gila. Oleh sebab itu cinta adalah sumber kegilaan agar sampai kepada kewarasan. Cinta adalah kewarasan yang berangkat dari kegilaan.
Namun bagi Nietzsche, cinta lebih agung dari kebergantungan dan kemelekatan. Cinta berakar dari syahwat dan gelora. Begitulah seharusnya hubungan yang sejati dan terjadi secara alamiah dengan alam. Cinta seperti ini akan menghasilkan berbagai ragam warna. Sudah seharusnya kita memaknai hakikat sebagai sesuatu yang kita rasakan dan kita saksikan. Dan syahwat merupakan dasar utama dalam menjalin hubungan dengan tabiat (nature).
Adapun aspek lain dan merupakan hal yang paling penting dalam persoalan cinta, Bagi Nietzsche, adalah keinginan untuk berkuasa. ‘Will to power’ pada hakikatnya bukan untuk kekuasaan itu sendiri namun agar bisa menyempurna sebagai binatang yang memiliki nalar. Kemudian dari sana akan melahirkan manusia baru yakni manusia yang lebih kuat karena mendasarkan cintanya pada tabiat dan syahwat.
Cinta dalam pandangan Nietzsche adalah cinta yang didasari atas syahwat. Orang-orang yang mengejar cinta karena cinta itu sendiri dapat dikatakan sebagai pelarian diri, bukan jalan menuju diri sendiri. Oleh sebab itu, cinta mesti didasari dengan syahwat.
Apakah cinta yang dimaksud sebagai gelora yang hadir saat seseorang sedang mengalami jatuh cinta, tak lebih dari urusan syahwat dan tabiat semata? Pengalaman seseorang dalam menjalani cinta lebih layak menjawab pertanyaan tersebut. Misalnya pengalaman Rumi tentang cinta jutsru menjauh dari soal syahwat. Cinta sejati justru tidak mungkin diraih dengan syahwat, kata Rumi.
Cinta Rumi bukan cinta biasa, bahkan bukan perkara yang mudah dilukiskan. Cinta yang begitu transenden. Unsur cinta yang paling utama justru terletak pada kegergantungan dan kemelekatan. Sebab itu cinta seperti ini tak kan terwakilkan oleh kata-kata.
Kata Rumi:
Apa pun yang aku tafsirkan tentang cinta,
Aku malu dengan tafsiranku,
saat sampai di singgasana cinta,
Meskipun bahasa sebagai penjelas,
Namun cinta tanpa bahasa akan lebih jelas,
Langkah pena begitu laju dalam melukiskan sesuatu,
Namun saat sampai pada kata cinta,
Pena pun patah dan terhenti.
Maulana Rumi menempatkan cinta sebagai karekteristik dari sifat Ilahiyah. Tak satu pun manusia yang mampu memahami hakikatnya. Hanya dengan jatuh cinta, manusia mampu memahami rasanya. Namun tetap saja tak mungkin diekspresikan. Meski demikian, cinta mampu dikenali melalui karekteristik-karekteristiknya.
Hakikat cinta bukan insaniyah tapi Ilahiyah, bahkan penciptaan alam semesta didasarkan pada cinta. Jika tak ada cinta maka alam semesta pun tak kan mungkin ada. Cinta mengalir di seluruh alam semesta. Bahkan menurut Rumi, nilai seseorang bisa diukur pada apa yang dicintainya.
Berbeda dengan Nietzsche, Rumi justru menempatkan cinta pada kebergantungan dan kemelekatan. Kata Rumi:
Cinta adalah lidah api,
Akan membakar segalanya kecuali Kekasih.
Cinta adalah api di mana api tersebut justru berasal dari Kekasih. Berkat Kekasih sehingga pecinta memiliki api di dalam dirinya yang terus bergelora setiap saat dan memurnikan serta mensucikan cinta yang hadir di dalam dirinya. Jika cinta seperti ini yang hadir di dalam diri seseorang maka seluruh pandangannya telah menjadi milik Kekasih sehingga tak mampu lagi melihat yang lain kecuali sang Kekasih.
Kata Rumi, ketenggelaman seseorang di dalam cinta Kekasih akan membantu dirinya bebas dari ke-aku-an sebab ke-aku-an dirinya menemukan kehidupan baru yakni kehidupan yang semakin transenden. Suatu bentuk kehidupan yang sudah tidak ditemukan lagi tanda-tanda keangkuhan, egoisme, peperangan, dan kebencian.
Tapi Rumi juga mengingatkan pada kita, bahwa cinta seperti ini hanya bisa terjadi jika objek cinta kita adalah Ilahi, bukan pada makhluk yang memiliki keterbatasan seperti manusia. Jika cinta adalah Ilahi sekaligus Kekasih maka tak ada jalan lain selain jalan kefanaan untuk menemukan cinta seperti ini. Oleh sebab itu, Rumi mengingatkan kita melalui salah satu syairnya yang indah:
Mengapa sejak awal cinta itu luka?
Agar memutuskan segala yang ada di luar.
Sebab satu-satunya yang diinginkan cinta hanya Kekasih, bukan yang lain yang ada di luar sana.