Kebencian adalah bagian dari hakikat,
Keindahan hanya imajinasi semata.
Henry Charles Bukowsky
Sepertinya kita akan sulit memahami pernyataan Charles Bukowsky. Tapi sebelumnya, lebih baik menempatkannya sebagai pernyataan atau perkataan satire. Lebih tepatnya sebagai pernyataan ironi atas refleksi suatu potret kehidupan.
Kita akan mudah memahaminya jika keindahan sebagai hakikat dan kebencian sebagai imajinasi. Namun itu idealnya, seharusnya, dan semestinya. Sebab fitrah manusia memang demikian, cinta pada keindahan, keadilan, dan kebenaran. Tapi satu sisi kita mesti menyadari bahwa kita hidup di dunia. Kenyataan terkadang memberikan jawaban sebaliknya.
Tapi bagaimana menggambarkan kebencian sebagai bagian dari hakikat? Saya ingin mengajak dan melihat bagaimana dunia sekitar kita yang sangat sulit “menerima” yang lain. Kita sulit menerima jika orang lain berbeda dengan diri kita. Kita akan lebih senang jika orang lain seperti diri kita. Mengikuti cara kita memandang dan memaknai kehidupan ini. Mengapa? karena kita selalu saja berpikir telah menemukan mata air kebenaran. Kita telah mereguknya dan merasakan kebagiaan mata air tersebut. Begitu bahagianya sehingga menganggap mereka yang tak merasakan mata air kebenaran yang kita reguk sebagai orang-orang yang tersesat dalam menjalani kehidupan ini. Dan hingga akhirnya serta secara perlahan-lahan menganggap cara pandang kita sebagai satu-satunya neraca kebenaran. Kita adalah kebenaran dan selain kita adalah kesesatan.
Pada saat itulah, kita akan heran melihat orang lain. Heran mengapa mereka memililih jalan yang tak sesuai dengan cara pandang kita. Bahkan boleh jadi kita jijik saat melihat mereka melakukan ritual yang berbeda dengan ritual kita. Dan akhirnya kita tak mau lagi melihat mereka. Kita lebih asyik bersama dengan kelompok kita sendiri. Kita akan menutup pintu rumah kita rapat-rapat agar tak lagi terlihat ritual yang mereka lakukan. Saat kita membuka pintu itu kembali, perasaan kita kepada orang lain bukan hanya jijik, tapi kita mulai membenci mereka. Kita memilih memutuskan silaturrahim. Memutuskan pertemanan kita di FB. Meng-unfollow mereka di twitter dan instagram. Memblock Whatsapp mereka.
Sekarang pertanyaannya, ada berapakah cara pandang orang di dunia ini? Mungkin kita akan menjawabnya, jumlahnya sebanding dengan aliran pemikiran yang ada di dunia ini. Namun jika ingin menjawabnya secara lebih detail, sebenarnya jumlahnya sebandingan dengan jumlah manusia. Sebab meskipun kita berada dalam satu aliran tapi kita punya penafsiran dan pemahaman sendiri. Nah sekarang bayangkan jika setiap orang melakukan hal yang sama, menganggap pandangannya sebagai satu-satunya neraca kebenaran dan membenci pandangan orang lain yang berbeda dengan kita. Tentu kita akan mulai saling memangsa. Benar kata Hobbes, saat itu manusia adalah serigala.
Mungkin kita terlalu lama asyik dengan rumah kita sendiri. Tak punya kesempatan mendengarkan dan memahami orang lain. Tak mau tahu mengapa orang lain memiliki cara pandang yang berbeda dengan kita. Kita lupa bahwa setiap orang berproses menjadi diri mereka sendiri. Mereka juga punya nalar sendiri sebagaimana kita menggunakan nalar kita sendiri. Orang lain juga membangun neraca kehidupannya sendiri sebagaimana kita membangun neraca kehidupan kita sendiri.
Sebab itu jangan sampai kita berubah menjadi Zombie. Manusia tanpa nalar yang hanya siap memangsa karena keinginannya hanya memangsa. Manusia Zombie adalah manusia yang berjalan dengan tanpa kesadaran dengan langkah yang tertatih-tatih dengan mulut penuh darah akibat memangsa.
Karena jika kita berubah menjadi manusia Zombie akan menegaskan apa yang dikatakan oleh Charles Bukowsky, “kebencian adalah hakikat sedangkan keindahan hanya imajinasi”